x

Nadiem Makarim melempar senyuman ke arah wartawan setibanya di Istana Negara, Jakarta, Senin, 21 Oktober 2019. Nadiem mengatakan jika Presiden Joko Widodo memintanya menjadi salah satu menteri. Terkait posisinya sebagai CEO Go-Jek, pria lulusan Harvard itu menyatakan telah melepaskannya hari ini juga. TEMPO/Subekti

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 25 Oktober 2019 11:33 WIB

Menanti Ide ‘Out of the Box’ Nadiem Makarim

Menjadi mendikbud merupakan kepercayaan besar sekaligus tantangan besar bagi Nadiem, serta pertaruhan yang mahal bagi kita. Nadiem dituntut mampu menjawab keraguan banyak pihak yang kini menantikan pemikiran out of the box yang mungkin ia tawarkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai figur paling muda di kabinet baru, 35 tahun, Nadiem Makarim menjadi salah satu menteri yang paling disorot publik. Terlebih lagi, ia memegang kementerian yang sangat penting: pendidikan dan kebudayaan. Ini menepis dugaan banyak orang bahwa ia akan ditempatkan di pos yang aromanya dekat-dekat dengan  teknologi.

Banyak orang terkejut, mengapa Presiden menempatkan figur yang bukan ‘orang pendidikan’, seperti yang juga diakui sendiri oleh Nadiem. Wajar bila banyak orang ragu apakah Nadiem mampu memenuhi tanggung jawabnya. Boleh dibilang ia melompat dari zona nyamannya: dari bisnis ke pendidikan. Di lingkungan bisnis, Nadiem relatif leluasa untuk bergerak cepat. Di dunia pendidikan, untuk melakukan perubahan, Nadiem dihadapkan pada tantangan birokrasi dan kultural.

Sebagian orang mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekedar teknologi digital, juga bukan sekedar persoalan vokasi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan lapangan kerja. Aspirasi ini patut didengar karena didasari oleh keprihatinan yang lebih mendasar mengenai ‘manusia Indonesia seperti apa yang ingin dihasilkan sistem pendidikan kita’. Sekedar terampil? Semata bisa langsung bekerja?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahwa mungkin Nadiem ditunjuk karena ia sudah terbukti mampu membangun perusahaan yang berbasis teknologi digital, itu bagus-bagus saja. Ia barangkali dapat berkontribusi dalam memajukan sistem pendidikan kita melalui pemanfaatan teknologi untuk peningkatan kualitas belajar, administrasi, model pembelajaran, hingga terintegrasinya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Nadiem mungkin punya gagasan out of the box mengenai hal itu, dan ini yang kita tunggu.

Nadiem juga sudah berbicara tentang penguatan link and match—gagasan yang dulu dipopulerkan oleh Wardiman Djojonegoro, Mendikbud 1993-1998 sebagai upaya menyambungkan kompetensi lulusan sekolah dan perguruan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja. Tapi, mengelola dunia pendidikan bukanlah semata soal mempersiapkan kompetensi yang harus dikuasai, melainkan juga membangun lingkungan belajar bagi generasi baru agar mampu menjawab tantangan di masa depan.

Teknologi  hanyalah alat dan sarana, sedangkan link and match mesti dilihat sebagai strategi jangka pendek, yang jika tidak berhati-hati akan terjebak ke dalam pengertian vokasi saja atau siap kerja. Menghadapi tantangan perubahan yang serba cepat dan mendasar, yang sedang berjalan maupun semakin intensif di masa depan, secara mendasar lebih diperlukan pendidikan yang menyiapkan manusia pembelajar yang agile [cerdik dan cepat belajar], responsif terhadap perubahan, paham tentang apa yang harus dilakukan, serta kreatif dalam berpikir dan bekerja. Manusia seperti ini lebih siap menghadapi tantangan ketimbang lulusan yang hanya menguasai kompetensi tertentu yang dibutuhkan pasar kerja, sebab pasar bisa berubah kapan saja.

Sebagai orang muda yang dianggap berhasil membangun bisnis berbasis teknologi digital, Nadiem diharapkan mampu mentransfer semangatnya ke dunia pendidikan. Ya, spirit belajar hal-hal baru, tidak tabu melontarkan ide-ide baru yang gila sekalipun, tidak takut salah untuk mencoba sebagai tahap menemukan kebenaran, mindset yang terbuka terhadap hal-hal yang positif, dan lainnya. Pendeknya, ini kembali kepada pendidikan karakter—sesuatu yang tergerus dari pendidikan kita selama ini, yang lebih banyak menjejalkan beragam pengetahuan.

Menjadi mendikbud merupakan kepercayaan besar sekaligus tantangan besar bagi Nadiem, serta pertaruhan yang mahal bagi kita. Lantaran itu, Nadiem dituntut mampu menjawab keraguan banyak pihak yang kini menantikan pemikiran out of the box yang mungkin ia tawarkan. Di luar isu-isu besar terkait kebaruan cara berpikir, Nadiem akan dihadapkan pada soal-soal rutin yang boleh jadi akan menyita waktunya seperti administrasi, birokrasi, regulasi, maupun mencari titik temu dari tarikan berbagai kepentingan.

Nadiem mengaku akan menjadi murid yang baik untuk mempelajari lebih dulu ‘jeroan’ dunia pendidikan. Tantangan pribadinya ialah waktu yang terus berjalan. Saya percaya, bahwa Nadiem sudah tahu persis bahwa agility merupakan unsur penting bagi siapapun yang ingin mengubah lingkungan sekitar di zaman yang serba cepat berubah ini. Ia mestinya sudah tahu kapan bersikap luwes dan kapan tegas menghadapi tantangan baru yang berbeda dari lingkungan bisnisnya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

5 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB