x

Cover buku Perjalanan Anak Bangsa

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 3 November 2019 08:25 WIB

Anak Bangsa dalam Kelindan Persoalan Identitas

Pola pengasuhan, peran keluarga, sekolah, lingkungan yang mempengaruhi pengungkapan diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Perjalanan Anak Bangsa

Penyunting: Aswab Mahasin, Ismet Natsir dan Thamrin Hamdan

Tahun Terbit: 1985 (Cetakan II)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: LP3ES                                                                                                        

Tebal: xxxii + 370

ISBN:

 

Buku ini memuat 18 kisah perjalanan anak manusia yang ditulis sendiri oleh pelaku. Perjalanan sejak masa lahir, masa kanak-kanak, masa remaja dan saat dewasa. Kisah hidup yang mengungkap tentang bagaimana pola asuh anak dalam keluarga, sekolah dan lingkungan pergaulan. Kisah tentang anak-anak yang dibesarkan dalam masa pergolakan, anak-anak dari kelompok subetnis, seperti keluarga Samin dan mereka yang terpaksa besar di luar lingkunag keluarga.

Meski ada 18 kisah, saya hanya membaca secara mendalam dua kisah, yaitu kisah nomor 16 dan kisah nomor 19. Kedua kisah ini berhubungan dengan topik Tionghoa Indonesia. Itulah sebabnya saya membacanya dengan lebih mendalam.

Dalam pengantar, sudah dijelaskan bagaimana proses penyunan buku ini. Pengantar juga menyarikan peran ayah-ibu, kakek-nenek, paman dan keluarga besar (extended family), peran sekolah dan guru, peran lingkungan dan situasi sejarah yang menjadi konteks kisahnya. Para penyunting juga menemukan bahwa banyak dari penutur kisah hidup ini berubah pola hidupnya saat mereka berpindah dari desa ke kota. Mereka pada umunnya mengubah cara hidup untuk menyesuaikan lingkungan kota yang berbeda dengan kondisi dimana mereka saat berada di desa.

Kisah tentang Tongki terdapat di kisah nomor 16. Tongki adalah anak pribumi asli yang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia dinyatakan sebagai seorang WNA. Mengapa bisa demikian? Ternyata Tongki lahir dari seorang anak pengemis Jawa yang diadopsi oleh seorang imigran dari Tiongkok yang cukup kaya. Kakeknya yang ia sebut sebagai Kungkung merantau ke Jawa karena situasi yang sulit di Shangtung.

Setelah hidup dengan sangat hemat, Kungkung berhasil menjadi orang yang cukup berada. Namun Kungkung tidak segera mempunyai anak. Maka saat dilihat seorang pengemis yang membawa dua anak kecil, ia meminta anak kecil laki-laki untuk dipungutnya menjadi anak. Anak pengemis Jawa ini kemudian diberi nama Akew. Akew dibesarkan dalam keluarga Tionghoa totok. Akew menikah dengan seorang perempuan Tionghoa. Tetapi dia juga menikah dengan salah satu gadis buruh pabrik tapioka milik Akew. Tongki adalah anak Akew dengan perempuan Sunda buruh pabrik tersebut.

Akew tinggal bersama kungkungnya dan bersekolah di sekolah Tionghoa. Namun karena keluarga ini bangkrut, maka Tongki masuk ke sekolah negeri. Setelah diketahui latar belakangnya, Tongki mendapatkan diskriminasi. Apalagi saat itu orang Tionghoa dihubungkan dengan peristiwa G 30 S. Ia keluar dari sekolah. Setelah dibujuk oleh teman kakaknya, Tongki masuk ke sekolah Kristen.

Tragisnya, saat peristiwa dimana orang Tionghoa harus memilih kewarga-negaraan, kungkung Tongki memilih untuk menjadi WNA. Kungkung memilih untuk menjadi WNA karena takut kalau menjadi WNI akan diwajibkan untuk ikut berperang. Maka Tongki pun menjadi WNA, meski ia adalah anak seorang Jawa beribu Sunda yang sama sekali tidak memiliki darah Tionghoa.

Kisah kedua yang menarik adalah kisah Wisnu Wardhana. Wisnu Wardhana berasal dari keluarga berayah Tionghoa beribu blateran Jawa-Belanda. Wisnu Wardhana yang bernama asli Soentjwan itu dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Namun saat ia mulai sekolah orangtuanya bangkrut. Kebangkrutan ini disebabkan oleh kedatangan Jepang.

Kebangkrutan ini mebuat pertengkaran antara papa dan mamanya semakin sering terjadi. Kebangkrutan yang semakin parah membuat papa Wisnu Wardhana bekerja di Jakarta. Sehingga Wisnu Wardhana dibesarkan oleh ibu. Namun pekerjaan papanya di Jakarta tidak cukup untuk menopang kehidupan keluarganya. Keluarga Wisnu Wardhana sangat tergantung dari bantuan saudara-saudara ayahnya dan dari anak-anaknya yang sudah menikah.

Keluarga Wisnu Wardhana ini menarik. Sebab kakak-kakaknya banyak yang menikah dengan orang Jawa. Salah satu kakaknya menikah dengan seorang anggota Angkatan Laut yang bernama Mas Kamto. Mas Kamto ini banyak membantu kehidupan keluarga besar Wisnu Wardhana.

Kebingungan identitas ini membawa Wisnu Wardhana mencari identitas baru. Ia merasa bahwa ia harus menjadi Indonesia. Aktifitas organisasi kampus dan pengalamannya di sekolah membantunya untuk mengubah identitas diri sebagai Indonesia. Ia ingin menjadi sungguh-sungguh Indonesia seperti Soe Hok Gie. Ketika harus memilih jodoh, Wisnu Wardhana menjadi ragu apakah ia akan memilih perempuan Tionghoa atau tidak. Ia memutuskan untuk memberi kesempatan yang sama kepada semua gadis dari berbagai etnis.

Kisah Tongki dan Wisnu Wardhana menunjukkan bahwa peran pengasuhan waktu kecil, lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan dan sekolah sangat berpengaruh terhadap pribadi seseorang.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu