x

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto saat menyampaikan sambutan dalam pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) X Partai Golkar di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2019. Munas X Partai Golkar beragenda utama pemilihan Ketua Umum periode 2019-2024. TEMPO/M Taufan Rengganis

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 4 Desember 2019 14:10 WIB

Demi Para Elite, Kematangan Demokrasi Dikorbankan

Apapun halnya, pelajaran proses politik yang demokratis telah mengalami penghentian mendadak. Masyarakat hanya dapat menduga-duga apa yang telah terjadi, sebab seolah-olah ada tangan yang tidak terlihat [invisible hand] yang, ya itu tadi, seperti ditulis Koran Tempo, melemparkan mantra “Simsalabim”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di atas langit masih ada langit. Begitulah biasanya para empu persilatan bercerita kepada para murid-muridnya yang semakin meningkat kemampuan silatnya, tapi masih perlu ditambahi ilmu kearifan. Begitu pula agaknya dengan Bambang Soesatyo atau Bamsoet. Ketika ia mencalonkan diri, barangkali ia merasa jalannya akan mulus, terbukti ia punya keberanian untuk berkompetisi head-to-head dengan Airlangga Hartarto, ketua umum petahana Golkar.

Tapi pemeo tadi terbukti berlaku pada diri Bamsoet, bahwa jika dia anggaplah sudah berada di langit kedua dengan jabatan publik ketua MPR, ternyata masih ada yang duduk di langit keempat. “Saya tidak bisa menolak nasihatnya,” ujar Bamsoet seperti dikutip banyak media massa. Dalam hal ini, ‘nya’ dalam ujaran Bamsoet itu adalah yang duduk di langit lapis keempat, dan bukan mustahil ia membawa pesan dari langit lapis yang lebih tinggi lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengunduran diri Bamsoet dalam hitungan jam menjelang pembukaan Munas Golkar merupakan contoh konkret tentang betapa kepentingan para elite lebih mengemuka dibandingkan kematangan partai dalam berdemokrasi. “Simsalabim, mundurlah Bambang,” tulis Koran Tempo di berita utamanya halaman depan. Ada kesepakatan politik di balik pengunduran diri itu, begitu tulis Koran Tempo. Tentu saja, ini kesepakatan di antara para elite. Kabarnya, pendukung Bamsoet dijanjikan posisi strategis di partai dan Airlangga akan membenahi partai agar lebih demokratis.

Apapun halnya, pelajaran proses politik yang demokratis telah mengalami penghentian mendadak. Masyarakat hanya dapat menduga-duga apa yang telah terjadi, sebab seolah-olah ada tangan yang tidak terlihat [invisible hand] yang, ya itu tadi, seperti ditulis Koran Tempo, melemparkan mantra “Simsalabim”.

Bagi warga Golkar, peristiwa semacam ini bukanlah contoh praktik demokrasi yang baik, apa lagi dewasa. Sebagai partai yang sudah berumur 55 tahun, mestinya perbedaan pendapat dalam kompetisi merupakan hal yang wajar. Akhirnya, setelah pemilihan usai, mereka yang berkompetisi akan bersatu kembali di bawah bendera Golkar—dan itulah praktik yang lazim dijalankan di partai-partai politik yang sudah matang di manapun. Yang terpilih tidak jumawa dan merasa boleh melakukan apa saja yang ia inginkan, sedangkan yang tidak terpilih akan legawa serta tetap dihargai.

Yang mengkhawatirkan ialah bila kejadian semacam ini akan berulang kembali di masa mendatang saat Golkar memilih ketua umumnya lagi. Anak-anak muda Golkar lantas beranggapan bahwa inilah tradisi partai dalam memilih pemimpinnya. Mungkin pula, hal serupa dapat terjadi di partai-partai lain. Peristiwa semacam ini mengingatkan kita semua bahwa kepentingan para elite politik kerap kali lebih dikedepankan ketimbang kematangan berdemokrasi sebagai suatu proses.

Tampilnya kepemimpinan yang baru memang menambah ‘pekerjaan’ bagi pihak-pihak di luar partai, baik partai politik lain maupun pemerintah. Konstelasi politik mungkin sedikit berubah, tapi mungkin juga tidak. Jika ketua umum Golkar berganti, partai dan pemerintah mungkin harus saling beradaptasi dengan cara berkomunikasi yang berbeda dari sebelumnya, dan mungkin juga ada soal-soal lain yang harus dinegosiasikan kembali.

Dengan tidak berubahnya kepemimpinan Golkar, bagi pemerintah ini merupakan hal yang lebih mudah, sebab Airlangga juga duduk sebagai menko dalam kabinet Presiden Jokowi—begitu pula, beberapa pendukung Airlangga juga menjabat menteri. Inilah salah satu alasan yang mungkin masuk akal mengapa Jokowi memperbolehkan menterinya tetap menjabat ketua umum partai—lebih dari sekedar alasan ‘mereka bisa membagi waktu’ di antara dua jabatan itu. Selain Airlangga, ada Suharso Monoarfa, Ketua Umum PPP yang menjabat Ketua Bappenas, serta Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra yang menjabat Menteri Pertahanan.Wallahu ‘alam. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler