Indonesia sudah memasuki bulan ke-2 terinfeksi Covid-19 setelah pemerintah secara "resmi" mengumumkannya Maret lalu. Saya tidak ingat pasti sejak kapan teman-teman yang rutin berkantor bekerja dari rumah karena saya adalah pekerja lepas di bidang kreativitas pengelolaan acara. Mungkin sekitar pertengahan Maret karena saat itu adalah saat saya menerima kabar pertama tertundanya pelaksanaan acara yang saya dan tim rancang, hanya dua hari sebelum acara di mana persiapan sudah mencapai 90% berlangsung.
Kabar yang selanjutnya diikuti oleh kabar-kabar senada. Ditunda hingga batas waktu tak tentu, atau bahkan dibatalkan. Baik proyek acara yang telah kami menangkan pitch-nya maupun yang setengah jalan. Alamak sedihnya!
Di bulan pertama saya menganggap fenomena Covid-19 adalah "kesempatan" setelah setahun hari-hari saya dipenuhi pekerjaan yang tentu membuat sisi manusia saya lainnya tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Waktunya istirahat, naruh kepala di kulkas biar adem, canda saya waktu itu kepada rekan sejawat.
Saya memang baru hitungan belasan bulan bekerja lepas setelah belasan tahun sebelumnya bekerja inhouse untuk sejumlah agensi dan perusahaan pengelola acara di Jakarta. Sungguh, saya menikmatinya. Bekerja meski tidak dengan bayaran yang rutin adalah zona tidak nyaman yang mengandung candu bagi saya.
Saya bisa bebas memaparkan diri saya dengan sumber-sumber ide yang tidak bisa secara bebas saya akses di belakang meja kerja kantor. What a life!
Seharusnya mudah diduga, dinamika tersebut membuat saya rindu setelah dua minggu tanpa brief baru. Tapi tunggu, di sini saya tidak akan membahas sisi personal itu, mungkin nanti di tulisan lainnya.
Selanjutnya: Dinamika pekerja kreatif dan apolitis
Ikuti tulisan menarik Rudolf Tambunan lainnya di sini.