Istilah konflik kepentingan kerap mencuat dalam wacana publik. Kemunculan terkini terjadi ketika Adamas Belva Syah Devara, Staf Khusus Milenial (SKM) Presiden Jokowi, dianggap punya konflik kepentingan lantaran perusahaannya, Ruangguru, ikut serta dalam program Kartu Prakerja pemerintah. Di perusahaan yang akan memberi pelatihan secara online kepada peserta Kartu Prakerja ini, Belva duduk sebagai direktur utama atau lebih kerennya CEO.
Sebelum Belva, SKM lainnya, yaitu Andi Taufan Garuda Putra juga dianggap membuat gaduh setelah mengirim surat kepada para camat se-Indonesia dengan memakai kop resmi Sekretariat Kabinet RI. Seperti diberitakan media, dalam surat itu Andi meminta para camat agar mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri untuk melawan wabah virus Corona. Program edukasi ini dilakukan oleh perusahaan bernama PT Amartha Mikro Fintek, yang ternyata milik Andi Taufan. Masyarakat menyebutnya ada konflik kepentingan.
Entah bagaimana, Andi Taufan bisa memakai kop Sekretariat Kabinet untuk urusan dukung-mendukung kerja perusahaannya. Konflik kepentingan? Begitulah kelaziman sosial yang disepakati bahwa seorang pejabat publik jangan membawa serta kepentingan pribadi ataupun perusahaannya dalam urusan yang berkaitan dengan jabatan yang ia pegang. Bahkan ini juga menjadi aturan resmi yang wajib ditaati pejabat publik apapun. Aturan resmi, ya; praktik mah lain lagi ceritanya.
Tidak mudah memang mematuhi aturan tersebut, terlebih di zaman ketika banyak pejabat publik adalah sekaligus pengusaha dan sekaligus pula politikus. Ketiga jalur ini sebenarnya punya aturan main yang berbeda-beda, sehingga ketika ketiga peran ini berada dalam satu genggaman, konflik kepentingan pun sukar dihindari. Bahkan, tanpa menjadi politikus pun--tapi tetap bermain politik--seorang pejabat publik yang sekaligus pengusaha sukar menghindarkan diri dari godaan untuk bermain kepentingan. Maksudnya, mengusung kepentingan bisnisnya.
Belva dan Andi Taufan barangkali lagi bernasib apes saja di tengah aneka konflik kepentingan yang lalu lalang sehari-hari. Jam terbangnya masih kurang sehingga mudah dibidik. Banyak senior kedua pejabat publik muda ini--staf khusus milenial atau SKM itu juga pejabat publik, lho, dan digaji negara Rp 51 juta per bulan--yang mungkin juga mempraktikkan 'konflik kepentingan' tapi luput dari amatan masyarakat dan luput dari amatan jurnalis. Belva akhirnya memang memilih mundur dari jabatan SKM, tapi Ruangguru masih tetap ikut program Kartu Prakerja.
Nah, misalnya saja kalau ada pejabat yang menyewakan gedungnya untuk perusahaan negara, apakah itu bukan konflik kepentingan? Tapi pejabat-pejabat semacam ini lebih lihai ketimbang Belva dan Andi Taufan dalam hal cara bermain karena sudah lama makan asam garam dalam hal membuat apa yang secara esensial merupakan konflik kepentingan menjadi terlihat seolah-olah sebagai kepentingan yang seiring dan setujuan dengan kepentingan publik. Alhasil, tidak ada yang meributkan tindakannya. Kalaupun ada yang mempermasalahkan, sebentar juga reda. Selanjutnya aman-aman saja. Mulus-mulus saja.
Tentu saja diperlukan pengalaman untuk mengasah kompetensi mengubah 'konflik kepentingan' menjadi 'kepentingan yang seiring dan setujuan' dengan jabatan yang diemban. Jam terbang harus ditingkatkan terus. Keterampilannya mesti diasah dan tidak cukup dipelajari melalui kursus online yang bisa selesai dalam satu hari saja. Bahkan, dibutuhkan bakat dan seni tersendiri untuk mampu memoles konflik kepentingan agar terlihat indah dan menawan di mata masyarakat. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.