x

Hakim Agung Muhammad Syarifuddin mengucapkan sumpah jabatan saat dilantik sebagai Ketua Mahkamah Agung di Istana Negara, Kamis, 30 April 2020. Antara/Sigid Kurniawan/POOL

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 1 Mei 2020 07:22 WIB

Pelantikan Ketua MA Baru, Tak Jemu Berharap Keadilan kepada Para Hakim Agung

Dengan atribut 'agung' yang bersanding dengan 'hakim'--yang bermakna bijaksana, keadilan sosial yang diharapkan masyarakat luas seyogyanya bukan sekedar impian yang hanya ada di ruang hampa. Kepekaan akan rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat mestinya sudah terasah di hati para hakim yang berpredikat 'agung'.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Setiap kali ada pejabat baru dilantik dan diambil sumpah, apa lagi untuk jabatan sepenting Ketua Mahkamah Agung, selalu berkumandang kata-kata seperti harapan, angin segar, atau ini lho sekian persoalan yang dihadapi pejabat baru. Dan seterusnya. Ketika masa jabatan pejabat ini berakhir, ungkapan serupa kembali bermunculan. Harapan, angin segar, tantangan. Memang sih, harapan perlu dipelihara agar kita tidak putus asa. Terus apa?

Jika ungkapan yang sama kembali bermunculan, apakah itu berarti bahwa harapan tersebut tidak terpenuhi oleh pejabat sebelumnya, bahwa ternyata tidak ada angin segar yang bertiup, dan tantangan sebelumnya tidak terjawab dan terselesaikan? Kelirukah jika dijawab, sepertinya memang begitu. Yah, kita memang lebih suka berharap dan kurang berikhtiar agar harapan itu terwujud.

Lagi-lagi, ungkapan serupa juga muncul setelah Muhammad Syarifuddin dipilih oleh hakim-hakim agung lainnya dan kemudian disumpah menjadi Ketua Mahkamah Agung, menggantikan M. Hatta Ali. Namanya berharap, tentu saja boleh-boleh saja. Apakah harapan itu bakal terpenuhi atau tinggal harapan semata, yang diperbarui, kita bisa melihatnya nanti saat pengganti Syarifuddin dilantik. Jika harapan itu diungkapkan lagi, ya artinya harapan itu belum terwujud.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang pengamat mengatakan bahwa ada lima tantangan yang dihadapi Ketua baru MA. Apapun tantangannya, hal yang paling asasi yaitu terpenuhinya rasa keadilan masyarakat, khususnya untuk perkara-perkara yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Contohnya korupsi dan suap-menyuap.

Persepsi bahwa para hakim agung berbaik hati kepada para koruptor dengan mengurangi hukuman memang dapat diperdebatkan. Namun, setidaknya, suara para hakim agung memang tidak sepenuhnya kompak dalam memandang kasus-kasus korupsi dan suap yang seringkali menarik perhatian masyarakat luas. Perbedaan itu terlihat antara lain dalam penetapan vonis oleh hakim agung Artidjo, yang kini duduk sebagai anggota Dewan Pengawas KPK, dan hakim agung Syarifuddin yang baru saja dilantik menjadi Ketua MA.

Ketika masih menjadi hakim agung, Artidjo Alkostar kerap menjatuhkan hukuman yang lebih berat dibandingkan pengadilan di bawahnya. Kasus kasasi yang ditangani Artidjo kerap, jika bukan selalu, berujung pada penambahan hukuman kepada pesakitan. Misalnya, politikus Angelina Sondakh yang semula dihukum 4 tahun 6 bulan, hukumannya diperberat jadi 12 tahun. Hukuman atas Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, diperberat dari 4 tahun menjadi 7 tahun. Sayangnya, atau anehnya (?), Artidjo tidak pernah menempati posisi Ketua Mahkamah Agung. Terlalu galak?

Bagaimana dengan hakim agung Syarifuddin? Setelah di tingkat kasasi Angelina diganjar hukuman penjara 12 tahun oleh majelis yang dipimpin Artidjo, dalam peninjauan kembali alias PK, dengan majelis yang diketuai Syarifuddin, hukuman Angelina dikurangi menjadi 10 tahun.

Syarifuddin juga memangkas hukuman Cahyadi Kumala alias Swie Teng di tingkat PK dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun penjara. Bos Sentul City tersebut dinyatakan terbukti menyuap Bupati Bogor Rachmat Yasin agar mendapatkan izin pembangunan perumahan di kawasan Sentul. (Lihat antara lain: https://news.detik.com/berita/d-3781911/selain-oc-kaligis-ini-vonis-para-terpidana-yang-disunat-syarifuddin)

Mungkinkah hakim agung Syarifuddin bersama hakim agung lainnya punya pertimbangan yang berbeda dengan hakim agung Artidjo waktu itu? Mungkin saja. Mungkin pula ada bukti baru yang disodorkan dan dianggap meringankan. Wallahu 'alam.

Walaupun begitu, pengurangan hukuman oleh hakim agung yang lain menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa para hakim agung bersikap baik hati kepada para koruptor dan pelaku-penerima suap, padahal para koruptor semestinya dihukum berat. Tentu saja, persepsi saja tidak akan mengubah keputusan para hakim agung yang memiliki kebebasan dalam memutus perkara. Semuanya kembali kepada kepekaan hati nurani para hakim sendiri.

Jika harapan yang sama dikemukakan lagi kini, apakah rasa keadilan masyarakat belum terpenuhi? Rasanya, harapan yang sama, yang diulang-ulang itu merupakan ekspresi yang amat mudah dimengerti apa maknanya. Dengan atribut 'agung' yang bersanding dengan 'hakim'--yang bermakna bijaksana, keadilan sosial yang diharapkan masyarakat luas seyogyanya bukan sekedar impian yang hanya ada di ruang hampa, melainkan seharusnya sudah nyata senyatanya.

Betapapun, kepekaan akan rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat mestinya sudah terasah di hati para hakim yang berpredikat 'agung'. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler