x

kisah ramadan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 8 Mei 2020 08:56 WIB

Saat Tradisi Lebaran Tak Dapat Dilakukan, Bersiaplah dengan Pengendalian Perilaku dan Mental

Ramadan dan Idul Fitri di tengah corona, alkibatkan semua tradisi Lebaran tak dapat dilakukan, karenanya perilaku dan mental masyarakat perlu disiapkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mental yang kuat-sehat, menuntun perlaku yang benar dan cermat.

(Supartono JW.07052020)

Ramadan Tak Biasa (RTB) di tengah pandemi corona, kini sudah memasuki hari ke-14, yang juga bertepatan dengan Hari Raya Umat Budda, Hari Raya Waisak, Kamis, (7/5/2020). 

Bagi umat muslim, masih ada separuh jalan Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriyah akan tiba. Namun, di tengah situasi pandemi yang terus menyebar, selain tradisi ibadah Ramadan yang sudah diharuskan dilaksanakan di rumah, kemudian tradisi mudik pun di larang, maka ada beberapa tradisi lain yang sejak sekarang masyarakat wajib menyiapkan diri, terutama secara psikologis (perilaku dan mental) karena juga akan bernasib sama seperti ibadah Ramadan dan Mudik. 

Perilaku dan mental

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejatinya, akibat corona, perilaku dan mental umat muslim, tetap saja masih sulit diubah sesuai aturan yang diterapkan pemerintah dan fatwa MUI, karena masih tetap memaksakan diri beribadah Ramadan ke Masjid. Pun tetap dengan berbagai cara, berupaya lolos dari titik chekpoint petugas mudik agar dapat sampai ke kampung halaman. 

Nampak jelas bahwa perilaku dan mental masyarakat masih sangat memprihatinkan, karena mengabaikan semua anjuran dan peraturan demi pencagahan corona. 

Padahal, bila corona telah usai, tentu persoalan ibadah dan mudik akan kembali normal. Tidak ada yang memungkiri, bahwa dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri, umat Islam di seluruh penjuru dunia juga memiliki caranya sendiri, tergantung budaya dari masing-masing negara. 

Khususnya di Indonesia, Hari Raya Idul Fitri identik dengan Hari Lebaran. Saat tiba Hari Lebaran, bahkan bukan hanya umat Islam yang turut merayakan, karena  sepanjang bulan Ramadan, seluruh masyarakat yang beragama lain, turut kecipratan rezeki melalui berbagai usahanya. 

Karenanya, semua masyarakat menyambut Idul Fitri dengan bahagia serta merayakannya dengan tradisi-tradisi yang telah mengakar dan membudaya. Tradisi dan budaya tersebut sudah terjadi dan dilakukan secara turun-temurun sebagai warisan budaya yang tidak terkikis oleh modernisasi zaman. 

Tradisi dan budaya kita

Setelah tradisi ibadah Ramadan dan Mudik dilarang, maka masyarakat juga wajib menyiapkan diri secara perlaku, sikap, dan mental, karena beberapa tradisi dan budaya lainnya pun tentu tak akan dapat dilaksanakan, di antaranya: 

Pertama, pawai takbiran. Tradisi ini tidak pernah absen. Malam Lebaran selalu ditandai dengan kumandang takbir untuk merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Nah, tradisi untuk menyemarakkannya sekaligus sebagai tanda bersyukur, masyarakat melakukan takbir keliling dengan menggunakan kendaraan maupun sekedar berjalan kaki. 

Dalam tradisi ini, hal yang sangat menonjol adalah, rasa kekeluargaan dan kebersamaan masyarakat sangat terlihat dan menjadi momentum mempererat hubungan dan tali silaturahmi. Gelora kumandang takbir, diiringi tabuhan bedug yang berirama, membikin suasana malam lebaran semakin menyentuh hati dan mengharukan. Menariknya, dalam tradisi Pawai Takbiran ini, setiap daerah di Indonesia, memiliki ciri khas masing-masing. Ada yang sambil mengadakan perlombaan, yaitu semua jenis kendaraan yang ikut konvoi takbiran dihias dengan berbagai bentuk seperti ketupat, masjid, Ka"bah dll, sehingga sangat memberikan kesan mendalam dan sulit terlupakan. 

Kedua, tradisi halal bi halal. Makna halal bi halal adalah saling bermaafan di hari lebaran dan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Kata halal bi halal merupakan kata dari Bahasa Arab, namun orang Arab tidak akan mengerti maknanya karena halal bi halal ini hanya ada di Indonesia dan merupakan kreasi sendiri orang Indonesia. 

Selain itu, halal bi halal bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar sesama manusia. Jadi walaupun merupakan kata kreasi tersendiri dari orang Indonesia, hakikat halal bi halal adalah hakikat ajara Al-Quran. Sejatinya, meski di sebut kreasi asli Indonesia, belum ada sumber sahih terkait tradisi halalbihalal ini. 

Dari beberapa literasi, tradisi ini diungkap sebagai kreasi kolaborasi antara Kiai Wahab Hasbullah dengan Bung Karno (1948). Kisahnya, saat itu, mereka berdua mencari solusi atas ancaman kelompok DI/TII dan PKI. Kiai Wahab mengusulkan silaturahmi nasional. Bung Karno menganggap ide itu bagus, namun istilahnya harus dimodifikasi agar menarik lalu diusulkan istilah Halalbihalal. 

Esensi halalbihalal adalah siturahmi, dan tradisi ini sudah mengakar jauh dari leluhur Nusantara. Uniknya lagi, di Indonesia kita tidak menjumpai ucapan yang sama dengan yang menjadi tradisi di Arab. Ucapan yang populer di sini adalah minal aidin wal faizin yang memiliki arti menjadi orang-orang yang kembali dan menang, saling mengunjungi teman, tetangga, dan sanak saudara untuk saling ber maaf-maaf-an. 

Ketiga, Tunjangan Hari Raya (THR) atau bingkisan Lebaran. Tradisi unik juga unik. Ada THR untuk dibagikan kepada anak kecil, biasnya berupa uang kertas baru dengan berbagai model hiasan atau kemasan. Ada THR yang ditunggu para karyawan. 

Melansir dari gajimu.com, THR adalah hak pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja menjelang Hari Raya Keagamaan berupa uang. 

Kemunculannya pertama kali pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Tepatnya pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo (1951) dan memiliki program untuk meningkatkan kesejahteraan pamong pradja yang kini dikenal dengan sebutan Pegawai Negeri Sipil (PNS). 

Berikutnya, tepatnya tahun 1994 pemerintah baru secara resmi mengatur perihal THR secara khusus lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. 

Keempat, Ziarah ke Makam. Tradisi ini juga senantiasa dilakukan oleh masyarakat. Budayanya, seusai salat Idul Fitri,  biasanya warga akan berduyun menuju untuk berziarah ke makam leluhur, orangtua, dan kerabatnya, untuk mendoakan arwah mereka. Tujuan antara lain untuk bisa mengambil pembelajaran dan mengingat kematian, bukan kepada tujuan lain yang menyesatkan. 

Itulah tradisi-tradisi Ramadan dan Idul Fitri di Indonesia, yang kemungkinannya tidak akan dapat di lakukan pada tahun ini. Sejak sekarang masyarakat sudah harus mempersiapkan diri dan wajib iklas dan legowo, bahwa semua tradisi itu sementara tidak dapat dilaksanakan karena demi pencegahan pandemi corona. 

Sebagai latihan, kini masyarakat sudah mulai terbiasa dalam dua minggu pertama Ramadan melakukan ibadah salat, tarawih, tadarus, itikaf, ngabuburit dll di rumah. Lalu, juga tidak ada lagi tradisi saur on the road. Disusul peraturan pelarangan mudik. 

Sebagian besar masyarakat juga sudah mulai terbiasa dengan melakukan komunikasi dengan sanak saudara melalui sambungan telepon dan sambungan videocall.

Namun, andai saja semua tradisi itu kembali dapat dilakukan, tentu karena seizin Allah, sebab pandemi corona bisa saja telah usai sebelum Lebaran. Aamiin. 

Semoga, masyarakat dan seluruh umat Islam, semakin menyadari, ikhlas, rela hati, berbesar hati, dengan penuh kesadaran diri, menjadi individu pencegah pandemi corona. 

Legowo menerima keadaan dan siap dengan perilaku yang baik serta mental yang kuat, karena tradisi ibadah Ramadan dan Idul Fitri tidak dapat terlaksana. Yakin, masyarakat akan mampu mengendalikan perilaku dan mentalnya dalam situasi ini. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu