x

Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. [TEMPO/DR/Rully Kesuma; Promah~9]

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 13 Mei 2020 18:21 WIB

Renungan Bulan Mei, Catatan Reformasi 1998 dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan (Oleh Didik Sasono Setyadi)

Meskipun tidak seeperti bulan Agustus, namun bulan Mei adalah bulan yang sangat berarti bagi perjalanan bangsa Indonesia. Diawali 2 Mei (hari Pendidikan Nasional) hingga tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 yang ditasbihkan hari lahir Pancasila. Di era kemerdekaan lagi-lagi bulan Mei terjaid perubahan sistem perpolitikan di Indonesia (1988), dari era otoritarian Orde Baru, masuk ke era demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan bagian pertama

 

Meskipun tidak seeperti bulan Agustus, namun bulan Mei adalah bulan yang sangat berarti bagi perjalanan bangsa Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diawali dengan tanggal 2 Mei, sebagai hari Pendidikan Nasional, 20 Mei hari Kebangkitan Nasional, disamping hari Buruh (1 Mei), hari Kebebasan Pers Sedunia (3 Mei), hari Palang Merah Sedunia (8 Mei), yang tidak boleh terupakan adalah tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dimana Badan Penyelidik Usaha -Usaha Kemerdekaan Indonesia melaksanakan Sidang membahas dasar Negara Indonesia, sehingga pada 1 Juni 1945 lahirlah Pancasila.

Ketika Indonesia sudah merdeka pun, lagi-lagi bulan Mei 1998, tepatnya pada pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi peristiwa yang menjadi awal dari perubahan sistem perpolitikan di Indonesia, dari era otoritarian Orde Baru, masuk ke era demokrasi.

Pada tanggal 12 Mei 1998, gugur pemuda-pemuda bernama Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendrawan Sie, sebagai korban peristiwa Tragedi Trisakti, karena mereka semua adalah Mahasiswa kampus Trisakti dan gugur di Kampus tersebut.

Peristiwa memilukan di bulan Mei itu berlanjut hingga 18 Mei 1998 ketika Mahasiswa menduduki Gedung MPR-DPR, dan akhirnya memaksa Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dan baru saja diangkat kembali pada bulan Maret 1998 harus berhenti dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Peristiwa di bulan Mei ini juga menyulut kekacauan sosial dan bernuansa rasial yang terjadi pada tanggal 13 – 15 Mei 1998, namun hingga sekarang kekacauan dan kejahatan terhadap kemanusiaan itu masih menyisakan misteri hingga saat ini.

Peristiwa Mei 1998 adalah peristiwa kelam tentang politik kekuasaan yang ternyata bisa begitu kejam kepada bangsanya sendiri. Peristiwa Mei 1998 merupakan rangkaian dari peristiwa-peristiwa sebelumnya yang dipengaruhi oleh Geopolitik Internasional.

Runtuhnya Uni Sovyet beserta sekutu-sekutunya (Negara-negara Komunis di Eropa Timur anggota Pakta Warsawa), telah mendorong berbagai aktivis pro kebebasan di dunia untuk menyuarakan tuntutannya. Demikian juga daerah-daerah yang merasa terjajah oleh etnis lain, ideologi dan politik lain seakan mendapatkan obat kuat untuk bersemangat memperjuangkan nasibnya sendiri, terlepas dari bayang-bayang hegemoni etnis, ataupun ideologi lain yang membungkam kebebasan mereka.

Uni Sovyet adalah negara multi etnis, multi ras dan multi agama. Kerusuhan Azebaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh semakin menjadi-jadi menyusul krisis di Uni Soviet yang bermula pada akhir tahun 80 an yang kemudian berlanjut hingga bubarnya Uni Sovyet pada tanggal 26 Desember 1991, serta diawali dengan runtuhnya Tembok Berlin pada bulan November 1989.

Group Music Scorpion mengabadikan peristiwa itu dengan lagi Wind of Change, pada tahun 1991 yang menjadi spirit bagi dunia untuk melakukan perubahan melawan kekuatan politik kekuasaan yang menindas/membungkam kebebasan warga negaranya.

Gerakan Pro-Demokrasi melawan pemerintahan otoriter di negara-negara totaliter yang dahulu dianggap tidak mungkin, ternyata banyak yang berhasil meskipun di China kandas (ingat peristiwa Tiananmen dimana Kelompok Pro-Demokrasi dihabisi / dibantai oleh Militer di lapangan tersebut).

Stigmasi bahwa Militer selalu pro pada penguasa otoriter terjadi dimana-mana, termasuk di Indonesia, dimana sejak ada Orde Baru militer Indonesia memang masuk sebagai kekuatan politik di legislatif dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta tentunya di barisan eksekutif pusat sampai daerah dengan alasan untuk membendung paham komunis agar tidak masuk ke dalam supra struktur politik pemerintahan negara. 

Istilahnya saat itu ABRI adalah sebagai stabilisator dan dinamisator dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Alahasil maka ketika gerakan pro-demokrasi merebak maka milikiter (ABRI) pun dianggap menjadi bagian dari sistem yang harus dilawan oleh gerakan pro demokrasi.

Kondisi ini dipahami oleh elit-elit militer yang sudah pasti mengalami friksi-friksi akibat perubahan arah angin yang dihembuskan oleh Presiden Soeharto pasca eranya Benny Moerdani, dimana Soeharto dianggap lebih banyak memberikan angin kepada kelompok Islam baik di barisan sipil maupun militer. Faisal Tanjung, R. Hartono dan kawan-kawan mulai menggusur militer barisan Benny Moerdani di tubuh ABRI saat itu. Sementara Soeharto yang sudah cukup sepuh diyakini tidak mampu lagi mengontrol / menjadi pendamai dari konflik-konflik laten diantara sesama para perwira elit militer serta militer dengan sipil, apalagi sipil dengan sipil.

Pergolakan separatis di Aceh memanas, hingga pemerintah menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (1990 – 1998), gerakan tuntutan kemerdekaan di Timor Timur (ingat peristiwa Santa Cruz 1991) semakin menguat dengan dukungan-dukungan dari Negara asing. Video-video dan foto-foto ABRI menghadapi tuntutan separatis Aceh serta kemerdekaan Timor Timur menyebar ke berbagai Negara, sehingga semakin menimbulkan antipati organisasi-organisasi serta tokoh-tokoh HAM dunia pada pemerintahan Indonesia.

Kondisi ini diperburuk lagi dengan kondisi politik sipil dimana tokoh-tokoh politik sipil yang berpotensi mampu menghimpun kekuatan yang tidak sejalan dengan garis politik Cendana diberangus. Soerjadi, Ketua Umum PDI yang tidak diduga-duga oleh Istana ternyata mampu mendongkrak perolehan suara yang signifikan (diduga berkat bantuan elemen elit militer), sehingga akhirnya harus “diatasi”. Namun, ternyata dari Kongres PDI 1993 di Surabaya malah Megawati anak dari Presiden Soekarno yang naik menjadi Ketua Umum PDI. Alhasil terjadilah peritiwa berdarah yang terkenal dengan nama Kudatuli (Dua Puluh Tujuh Juli 1996).

Selain PDI, Partai Poitik satunya lagi yaitu PPP sudah “dimainkan” juga. Djailani Naro yang sempat “offside” karena berani mencalonkan diri menjadi Wapres, pada tahun 1989 telah terlebih dahulu digusur dan digantikan oleh Ismail Hasan Metareum yang “sejuk”.

Tak hanya parpol, ormas Islam terbesar NU pun ikut diobok-obok, dengan adanya Muktamar Cipasung 1994 dimana Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketua PBNU dan cucu Pendiri NU malah tidak boleh masuk dalam arena Muktamar.   

Catatan buruk lainnya tentang militer adalah dengan hilangnya beberapa aktivis Mahasiswa dan Pemuda serta LSM yang dianggap membahayakan Orde Baru.  

Pemerintah Orde Baru yang sentralistis, juga dianggap telah menciptakan kesenjangan yang luar biasa antara Jawa dan Non Jawa, antara Perkotaan dan Perdesaan, sehingga wajar bila selain tuntutan akan demokrasi, maka tuntutan Otonomi Daerah pun menggema dimana-mana.

Soeharto dianggap sebagai simbol musuh bersama (common enemy) bagi gerakan Pro Demokrasi, sehingga sistem yang menopang kekuasaan Soeharto, antara lain sistem hukum Konstitusi UUD 1945 yang tidak memberikan batasan masa jabatan Presiden, yang mengukuhkan MPR sebagai lembaga yang “mengebiri” kedaulatan rakyat dituntut untuk dirombak (diamandemen) guna menghindari munculnya “Soeharto-soeharto” lagi pada masa mendatang.    

Tidak mengherankan kemudian ketika masuk tahun 1998 (bulan Mei), mengerucutlah tuntutan reformasi oleh Kelompok Pro Demoktasi yaitu enam (6) Agenda / Tuntutan Reformasi:

  • Adili Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya
  • Laksanakan Amandemen UUD 1945
  • Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
  • Laksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya
  • Tegakkan Supremasi Hukum
  • Ciptakan Pemerintahan Yang Bersih dari KKN

Soal korupsi, kolusi dan nepotisme serta lemahnya supremasi hukum, tak perlu dipertanyakan lagi, sudah sekali banyak deretan bukti-buktinya.

Tuntutan Reformasi 1998 sebenarnya adalah sebuah tuntutan pembaharuan sistem pemerintahan karena pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, dianggap telah jauh menyimpang dari kaidah-kaidah pemerintahan yang dipelajari di kampus-kampus di perguruan tinggi, baik itu dari aspek Ilmu Hukum, Ilmu Politik, Ilmu Administrasi bahkan Filsafat. Maka karena alasan itulah barisan kelas menengah terdidik, mudah sekali menerima gagasan gerakan Pro-Demokrasi.   

Pemerintah menurut Austin Ranney (1971) sebenarnya “The term of “government” is commonly used in two related but distinct senses: It sometimes refers to a particular aggregate of people, each with individual idio-syncracies, faults, and virtues and performing certain functions in particular society; it sometimes refers to a particular set of institutions, a series of accepted and regular procedures for performing the functions mentioned. We shall incorporate both senses, defining government as a body of people and institutions that make and enforce laws for a particular society. In the terminology of systems analysis, it includes both the authorities and their regularized patterns of behavior”, dimana hakekatnya suatu sistem pemerintahan itu esensinya meliputi manusia, organisasi, lembaga, aturan hukum, tata kelola dan perilakunya. 

Pemerintahan sebenarnya telah dipandang sebagai obyek ilmu pengetahuan jejaknya sudah ditemukan dari literatur-literatur yang terbit di Amerika pada tahun 1800 an. Dari sejarah lahirnya Ilmu Pemerintahan, diketahui bahwa ilmu ini sudah bertalian erat dengan disiplin-disiplin ilmu lain, mulai dari sosiologi, antropologi, hukum dan politik. 

Fenomena pemerintahan sendiri sebenarnya telah hidup pada zaman Yunani kuno, Romawi, Renaissance, hingga berkecamuknya perang dunia I dan II. Ilmu-ilmu pemerintahan yang berkembang pada saat itu disebut sebagai ilmu pemerintahan klasik dengan ciri yang menonjol berupa fenomena pemerintahan yang diharapkan yaitu tak lain untuk menjaga perdamaian, menghormati hak-hak sipil / hak-hak azasi dari ancaman peperangan ataupun penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah;   Baru setelah perang dunia II usai maka fokus ilmu pemerintahan bergeser dari masalah-masalah yang bersifat perlindungan terhadap ancaman fisik ke masalah-masalah berkaitan dengan politik dan ekonomi, dimana ilmu pemerintahan menjadi lebih akrab dengan ilmu administrasi publik, ilmu ekonomi, ilmu manajemen dan ilmu teknologi informasi.

Pada masa itulah disebut dengan era Ilmu Pemerintahan Kontemporer. Pada era Ilmu Pemerintahan Kontemporer ini fokus utamanya lebih pada birokrasi pemerintahan. “Ilmu pemerintahan banyak dipengaruhi oleh kondisi global dan tidak lepas dari hantaman teknologi informasi dan komunikasi yang melejit tanpa batas ruang dan waktu sehingga ruang lingkup urusan pemerintahan menjadi semakin lebar dan hampir sulit untuk dieliminasi secara rigid karena sangat beragam dan kompleks” (Hasan, 2011: 156) 

Yang sangat disayangkan, Pemerintahan Orde Baru meskipun telah mendirikan berbagai universitas baru yang memiliki Fakultas Hukum, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (termasuk Ilmu Administrasi, Sosiologi, Antropologi), serta Ilmu Budaya dan Filsafat dengan sederetan Guru Besarnya yang hebat-hebat ternyata dalam praktek kekuasannya mengabaikan prinsip-prinsip ilmu pemerintahan. 

Padahal dari zaman bahuela, sistem pemerintahan paling klasik pun itu tugas utamanya adalah menegakkan hukum dan melindungi hak-hak warga negaranya. Maka dari itu ketika tugas dan tujuan utama pemerintahan tidak terpenuhi, sudah pasti pemerintahan sangat mudah kehilangan legitimasinya. Pemerintahan menjadi tak memiliki lagi justifikasi ilmiah untuk dipertahankan.

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler