x

Sejumlah anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan III 2019-2020 secara virtual yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 5 Mei 2020. Rapat ini beragendakan laporan BPK RI mengenai penyampaian Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 dan penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II Tahun 2019, laporan Badan Legislasi terhadap penyempurnaan rancangan peraturan DPR RI tentang tata tertib, serta laporan BURT terhadap pembahasan rancangan kerja anggaran DPR RI Tahun anggaran 2021. ANTARA/Galih Pradipta

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 26 Mei 2020 11:51 WIB

Pengesahan UU Minerba dan Tipisnya Jiwa Kesatria dalam Berpolitik

Secara diam-diam DPR mengesahkan Undang-undang Mineral dan Batubara. Pengesahan itu dilakukan mumpung rakyat masih sibuk dengan virus corona. Ini menunjukkan para politikus tak menunjukkan sikap kesatria dalam berpolitik. Mereka tak mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Mereka tak menggunakan cara-cara kesatria dalam menyusun berbagai aturan maupun undang-undang. Orang Jawa menyebut ini sebagai sikap slinthutan atau aji mumpung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Diam-diam, DPR sudah mengesahkan Undang-undang Mineral dan Batubara. Bahwa para anggota Dewan masih bekerja melanjutkan tugas legislasinya memang sudah semestinya, tapi ini tidak menghapus kesan bahwa mumpung rakyat masih sibuk dengan virus corona, ayo rancangan undang-undang kita bereskan segera.

Menyusun undang-undang bukanlah urusan substansi semata atau prosedur semata, melainkan mesti memperhatikan betul keduanya: substansi dan cara. Terkait substansi, apakah undang-undang yang akan dihasilkan itu memperhartikan aspirasi rakyat dan berpihak kepada kesejahteraan seluruh rakyat, atau hanya menyejahterakan segelintir orang. Terkait cara, apakah penyusunan undang-undang itu melibatkan rakyat selaku pemberi mandat politik kepada pemerintah dan DPR atau malah mengabaikannya?

Kecenderungan kuat bahwa pemerintah dan DPR ingin segera menyelesaikan sejumlah undang-undang di saat rakyat dicekam wabah Corona bukan lagi perkara tidak diindahkannya substansi demokrasi, yaitu adanya partisipasi aktif rakyat, dan bukan sekedar urusan fatsun atau tata krama politik. Ada hal lain yang patut dipertanyakan: apakah para politikus telah kehilangan sikap dan jiwa kesatria dalam berpolitik?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sikap kesatria dalam berpolitik itu semestinya ditunjukkan pada dipenuhinya substansi demokrasi, yaitu menyerap suara rakyat sebagai pemberi mandat politik serta menjalankan cara-cara pengambilan keputusan yang melibatkan rakyat. Sikap diam-diam dalam cara maupun kurangnya transparansi dalam hal materi rancangan undang-undang merupakan wujud pengingkaran terhadap substansi demokrasi.

Sikap kesatria dalam berpolitik itu semestinya ditunjukkan dengan sikap terbuka dalam menyampaikan materi dan redaksi rancangan undang kepada masyarakat luas. Jika kemudian rakyat mengritik dan memprotes, maka para politikus dan elitenya semestinya bersikap lapang dada sebagai wujud sikap kesatria yang tidak memandang dirinya pasti benar dan selalu benar. Jika rakyat memberi masukan maupun saran, maka sebagai kesatria para politikus juga mesti bersikap mau mendengarkan. Kesatria mesti punya hati yang lapang.

Sebagai kesatria, politikus harus berani mengakui apabila salah atau keliru, bukan hanya jika benar saja lantas berbicara lantang. Begitu pula, sebagai kesatria, para politikus mestinya berikap terbuka dalam menyelesaikan undang-undang: terbuka dalam hal materi dan terbuka dalam hal prosesnya. 

Sikap diam-diam menyelesaikan undang-undang di saat rakyat masih menghadapi berbagai persoalan dalam lingkungan yang dikepung Corona bukanlah wujud sikap kesatria. Orang Jawa menyebutnya sebagai slinthutan--melangkah dan bergerak diam-diam mumpung pikiran rakyat sedang tertuju pada persoalan lain sehingga rakyat tidak akan nggrecoki dengan kritik, protes, maupun masukan yang berbeda dengan kepentingan politikus dan sponsornya.

Berpolitik itu bukan berarti boleh melakukan apa saja sesuka hati dan mengabaikan tata krama atau fatsun alias etika. Dan etikanya bukan hanya basa-basi atau sekedar pencitraan sehingga terlihat oleh masyarakat seolah-olah bagaimana gitu... Sebab, berpolitik itu menyangkut hubungan dengan rakyat, yang berarti berurusan dengan hajat hidup orang banyak--bukan kepentingan segelintir orang.

Sebagai kesatria, para politikus mestinya ingat benar bahwa mereka terpilih untuk duduk di pemerintahan maupun DPR itu karena memperoleh mandat dari rakyat. Lantaran itu, tanggungjawab utama para politikus terutama kepada rakyat, bukan kepada para elite partai maupun elite lain, khususnya elit bisnis.

Bahwa politikus, apa lagi elite politik, punya kedekatan dengan para elit bisnis--bahkan sebagian politikus sekaligus merupakan elite bisnis, itu merupakan kenyataan yang sukar dipungkiri. Sebab, kekuasaan itu ibarat gula yang dari jauh pun semut-semut akan mencium aroma kelezatannya. Politikus yang berjiwa kesatria akan mampu bertahan terhadap godaan semut-semut itu maupun godaan kelezatan gula yang tersaji di hadapannya.

Dalam situasi seperti sekarang ini, rakyat ingin para politikus menunjukkan sikap kesatrianya dalam berpolitik dengan mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan menggunakan cara-cara yang kesatria dalam menyusun berbagai aturan maupun undang-undang. Sikap diam-diam atau slinthutan atau aji mumpung ketika ada wabah merupakan antitesis dari jiwa kesatria. Wallahu 'alam. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB