x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 10 Juni 2020 14:03 WIB

Wabah Corona dan Mengapa Kita tak Bisa Bertahan Hidup Sendirian

Di era internet dan media sosial, yang dianggap sebagai wujud kemajuan peradaban manusia modern, kita dibuat terhenyak oleh virus yang mampu memicu perdebatan sengit apakah virus ini tercipta secara alami ataukah buah konspirasi pihak-pihak tertentu. Pandemi ini menyediakan momen berarti bagi manusia untuk merenungkan kembali hidupnya, kini dan di masa depan yang dekat maupun jauh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Kali ini pelajaran kita tentang hidup dan kehidupan diberikan oleh virus corona atau yang secara spesifik dinamai Covid-19. Jasad renik yang tidak kasat mata telanjang ini telah menggemparkan jagat manusia--makhluk yang kerap menganggap dirinya paling mengerti tentang alam semesta dan lingkungan hidup sekitarnya, yang hayati maupun yang sosial.

Dalam tempo yang sangat singkat, jasad renik ini telah menimbulkan ketegangan politik, ekonomi, dan sosial, yang memaksa masyarakat manusia untuk bersikap rendah hati dan bersedia menarik pelajaran berharga darinya. Keangkuhan manusia dengan sikap meremehkan telah terbukti keliru, sebab membuat manusia terlambat merespons ancaman virus ini.

Di era internet dan media sosial, yang dianggap sebagai wujud kemajuan peradaban manusia modern, kita dibuat terhenyak oleh virus yang mampu memicu perdebatan sengit apakah virus ini tercipta secara alami ataukah buah konspirasi pihak-pihak tertentu. Pandemi ini menyediakan momen berarti bagi manusia untuk merenungkan kembali hidupnya, kini dan di masa depan yang dekat maupun jauh. Ada beberapa pelajaran yang diberikan oleh kejadian pandemi corona.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, perubahan tiba-tiba dapat terjadi kapanpun dan berawal dimanapun tanpa terduga (penganut teori konspirasi akan berkata bahwa pelaku konspirasi tahu mengenai kapan dan dimana ini). Pandemi Vovid-19 sejauh ini dipercayai berawal dari sebuah pasar di Wuhan, Cina. Perubahan ini mengejutkan dunia, sehingga negara-negara besar pun terlihat gagap dalam menanggapinya.

Meskipun wabah kerap terjadi dalam sejarah manusia, tapi kejadiannya yang mendadak tetap mengagetkan. Pandemi ini memperlihatkan betapa kita tidak berdaya menghadapi perubahan tiba-tiba. Kita tidak mampu melakukan konsolidasi sumber daya secara cepat ketika pandemi merebak, sebagian pihak meraba-raba seperti apa karakter virus ini, sebagian lagi langsung bertindak berdasarkan pengalaman menghadapi virus lainnya, namun sebagian lainnya bersikap meremehkan dan kurang waspada sehingga terlambat bertindak.

Kedua, manusia masa sekarang tetap memerlukan waktu untuk memahami sesuatu yang muncul tiba-tiba. Selama pandemi berbagai hasil studi yang tengah berjalan telah dipublikasikan. Terdapat beragam pemahaman mengenai virus ini, yang menandakan keterbatasan pengetahuan yang sudah dimiliki manusia.

Hal-hal baru selalu muncul dan menjadi tantangan yang membutuhkan jawaban cepat. Karena itu, kemampuan belajar cepat (agile to learn) menjadi kompetensi yang penting dikuasai, baik oleh individu maupun masyarakat dan bangsa. Taiwan adalah contoh entitas yang mampu segera bertindak karena belajar cepat berdasarkan pengalaman Taiwan menghadapi virus sejenis sebelumnya. Taiwan dianggap sebagai yang terbaik dalam merespons pandemi ini.

Ketiga, saling ketergantungan antarbangsa merupakan fakta yang tidak harus terus dipungkiri, walaupun juga tidak harus membuat sebuah negara bergantung kepada negara lain. Saling ketergantungan dapat dipahami sebagai kerjasama untuk menjaga bumi yang satu ini untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Banyak negara merasakan efek negatif dari kemunculan virus Corona di Wuhan, Cina. Sebuah peristiwa yang sangat lokal dengan cepat menyebar hingga skala global. Efek kupu-kupu tak terhindari dan menimbulkan dampak luar biasa yang memerosotkan pertumbuhan ekonomi semua negara. Kerjasama antarmanusia dan antarnegara menjadi kebutuhan demi menjaga kelangsungan hidup umat manusia.

Keempat, keinginan dan hasrat kita kepada yang materialistik jauh melampaui kebutuhan kita. Kuncinya ialah tidak berlebihan, kita harus melawan hasrat eksploitasi terhadap alam maupun terhadap manusia lainnya. "Tinggal di rumah" telah mengingatkan kita bahwa kebutuhan kita lebih sedikit daripada keinginan dan hasrat kita untuk berlebihan, mendominasi, maupun menghegemoni.

Kita harus menghentikan kebiasaan lama yakni membeli dan mengumpulkan apa saja lebih dari yang kita butuhkan. Selama ini kita cenderung serakah terhadap apa saja, menginginkan lebih dan bahkan jauh lebih banyak dari yang kita butuhkan. Makan hingga kekenyangan yang sangat. Minum hingga mabuk tumbang. Baju bergelantungan di lemari dan bertimbun di koper karena jarang dipakai. Kita mengklaim melakukan pembangunan, padahal kita mengeksploitasi alam dan merusaknya. Diksi monopoli, dominasi, maupun hegemoni--yang akrab dengan hasrat berlebihan untuk menguasai yang lain--mestilah dihentikan.

Kerjasama antar bangsa dan negara semestinya lebih didasarkan pada kebutuhan bersama untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat manusia di muka Bumi, bukan untuk melakukan dominasi bangsa yang satu atas yang lain. Prinsip ini semestinya juga berlaku bagi tataran masyarakat yang lebih terbatas, pada tingkat nasional hingga lokal. Prinsip ini barangkali terdengar naif, tapi sesungguhnya inilah pelajaran terpenting dari pandemi bahwa manusia yang merasa dirinya makhluk paling hebat tidak akan mampu bertahan sendirian. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu