x

Cover Majalah Tempo yang menurunkan laporan utama berjudul "Pesta Benur Menteri Edhy".

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 8 Juli 2020 06:31 WIB

Terus Terang, Aku Belum Pernah Makan Lobster

Tentu saja dibutuhkan imajinasi yang cukup besar agar kita mampu mendulang anugerah laut dan mengubahnya jadi asupan bergizi bagi mayoritas masyarakat kita. Terus terang saja, kalau sekedar menjual benih lobster ke negara lain mah memang tidak membutuhkan imajinasi sehebat yang diperlukan untuk mewujudkan angan-angan itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku tidak tahu apakah lobster itu masih punya hubungan kekerabatan dengan udang. Bentuk fisiknya sih mirip-mirip, tapi dari segi ukuran, lobster jauh lebih besar. Mungkinkah udang itu cicitnya lobster? Entahlah, aku belum sempat googling, baru melihat foto pak menteri sedang memegang lobster sembari tertawa renyah. Mungkin pak menteri sedang membayangkan seekor lobster di atas pirang di meja makan.

Barangkali memang nikmat menyantap lobster. Berandai-andai memang nikmat, apa lagi sungguhan. Ah, jangankan lobster, makan udang saja jarang. Aku hanya bisa membayangkan bahwa lautan kita yang amat sangat luas itu sesungguhnya penuh dengan anugerah: beragam jenis ikan, udang dan lobster, kerang, rumput laut, bahkan hingga mutiara dan emas cair jauh di pedalaman laut. Sayangnya, aku hanya bisa membayangkan.

Aku rasa jutaan orang warga negeri yang dikelilingi laut ini senasib denganku: sangat jarang menyantap anugerah yang berlimpah di laut itu. Ikan-ikan berprotein tinggi itu amat jarang mampir ke atas meja makanku. Bahkan tak mudah menjumpai ikan-ikan laut itu di pasar dekat rumah. Kebanyakan ikan tawar, itu pun sudah tidak lagi segar sebab sudah berjam-jam berada di luar air.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku membayangkan, lagi-lagi hanya membayangkan—malu jadinya—ada banyak pedagang ikan laut di  pasar dekat rumah. Tentu, ikannya pun masih cukup segar sehingga tetap terasa nikmat setelah diolah di dapur. Aku juga membayangkan harganya terjangkau oleh kebanyakan rakyat kecil, sehingga warga di bawah ini bisa memperoleh asupan gizi yang baik dalam jumah yang cukup. Tahu dan tempe sebagai teman nasi di atas piring memang tetap nikmat, namun hidangan laut menawarkan gizi dan cita rasa tersendiri.

Dengan menyantap hidangan  laut, anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan juga memperoleh asupan gizi yang diperlukan agar menjadi pemuda/pemudi yang tangguh, sehat, kuat jasmani rohani, punya imajinasi yang hebat tentang Indonesia masa depan, dan seterusnya. Masa sih laut yang jauh lebih luas ketimbang daratan kita tidak menyediakan asupan yang cukup buat anak-anak  Indonesia? Ironis bila tidak.

Tentu saja dibutuhkan imajinasi yang cukup besar agar kita mampu mendulang anugerah laut dan mengubahnya jadi asupan bergizi bagi mayoritas masyarakat kita. Imajinasi itu misalnya saja bagaimana membawa lobster ke pasar-pasar tradisional, membawa ikan laut ke warung-warung nasi kita, mengolahnya jadi makanan beku yang penuh gizi--bukan cuma rasa yang enak  karena bumbu. Artinya, butuh imajinasi soal teknologi penyimpanan dan pengolahannya, distribusinya, penjualannya di pasar-pasar tradisional.

Terus terang saja, kalau sekedar menjual benih lobster ke negara lain mah memang tidak membutuhkan imajinasi sehebat yang diperlukan untuk mewujudkan semua angan-angan itu. Jadi, kalau sekedar mau dapat marjin ekonomi, ya memang itulah cara yang terbilang cepat. Tapi, sampai kapan mayoritas rakyat, termasuk aku, hanya bisa menyantap lobster di alam mimpi? >>

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler