x

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim di Sukabumi, Jawa Barat, Rabu 8 Juli 2020. (ANTARA/HO- Humas Kemendikbud)

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 4 Agustus 2020 13:02 WIB

Haruskah Nadiem Makarim Menyudahi Program Organisasi Penggerak? (Oleh Moh Shofan)

Adanya organisasi abal-abal yang ikut numpang makan di program inilah menimbulkan persepsi program ini tergesa-gesa direalisasikan. Ditambah tidak lolosnya beberap organisasi yang lebih jelas kiprahnya di bidang pendidikan. Anggota DPR dan KPK meminta agar Nadiem mengevaluasi program ini. Bahkan, muncul desakan untuk menyudahi program ini. Apakah tuntutan itu realistis?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Moh Shofan, Direktur Riset MAARIF Institute

Menjelang sepertiga akhir bulan Juli 2020, media massa riuh dengan pemberitaan Program Organisasi Penggerak (POP). Banyak media memberitakan kejanggalan program rintisan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sehingga membuat banyak orang mencaritahu apa itu POP?

POP adalah sebuah program yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, yang berfokus meningkatkan kualitas kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan. Dengan mengalokasikan dana Rp 595 miliar per tahun, Kemendikbud menarget 5.000 tenaga pendidik dan kependidikan di 5.000 PAUD, SD dan SMP meningkat kompetensinya, hingga tahun 2022 nanti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendidikan di Indonesia memiliki karakter beragam dan sejarah yang panjang. Penyeragaman kurikulum yang sudah berlangsung berpuluh tahun belakangan ini, hanya membuat sekolahan seperti pabrik yang memproduksi barang yang sama, dengan bahan baku yang berbeda. Tanpa ada wujud peningkatan kompetensi lulusannya. Kemendikbud pernah menyampaikan temuan hampir 20 tahun, Indonesia masih belum berhasil meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil skor Programme for International Student Assessment (PISA), peningkatan level hasil belajar di Indonesia belum memadai.

Menurut Nadiem, sekolah sebagai tempat utama terjadinya interaksi guru dan siswa, harus melakukan perubahan. Perubahan yang diharapkan akan mereformasi pendidikan di Indonesia, sehingga terwujud pendidikan terbaik bagi seluruh siswa Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan mulia itu, dalam POP Kemendikbud melibatkan Organisasi Masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan. Apa pasal? Banyak dari organisasi di bidang pendidikan yang sudah melakukan peningkatan kualitas pendidikan dan tidak meminta bantuan dari pemerintah.

Melalui POP, Kemendikbud ingin mendukung organisasi-organisasi yang sudah berusaha meningkatkan kualitas pendidikan. Dana Rp 595 miliar per tahun akan digunakan Kemendikbud untuk memberdayakan program-program unggulan dari organisasi yang lolos seleksi POP. Mengingat besarnya anggaran yang akan didapat oleh organisasi yang berpartisipasi dalam program ini, Kemendikbud melakukan seleksi cukup ketat. Proses identifikasi kelayakan, evaluasi teknis, dan evaluasi keuangan hingga verifikasi organisasi yang terlibat sudah berlangsung sejak tanggal 16 Maret 2020 hingga 30 Juni 2020. Sejauh ini, dari 4.464 Ormas yang mengajukan proposal, terdapat 156 Ormas yang lolos seleksi evaluasi.

Riuhnya pemberitaan POP di penghujung bulan Juli, ditengarai protes masyarakat pada beberapa Ormas yang lolos seleksi POP. Selain itu, untuk sebuah program yang akan menyerap anggaran besar di tengah pandemi Covid-19, beberapa pihak menilai POP terkesan terlalu tergesa untuk direalisasikan.

Untuk isu yang pertama, masyarakat memprotes lolosnya sejumlah yayasan besar seperti Sampoerna dan Tanoto Foundation yang semestinya tak perlu lagi mendapat dana pemerintah. Selain itu, protes digulirkan atas masuknya berbagai organisasi yang tak diketahui persis rekam jejaknya. Pemberitaan ini pun direspon oleh kedua yayasan besar itu, dengan bantahan, bahwa dana yang akan mereka pakai dalam POP nantinya tidak murni dari pemerintah. Mereka mengklaim sudah menyiapkan dana mandiri, untuk membantu pemerintah mensukseskan program ini.

Keluarnya Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU, dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) PP Muhammadiyah dan belakangan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari program ini, menambah bahan bagi mereka yang sejak awal menaruh sentimen negatif pada Menteri Pendidikan yang menghabiskan pendidikannya di luar negeri. Padahal, keluarnya tiga organisai yang lama berlanglang buana mewarnai pendidikan di Indonesia ini lebih ditengarai dengan dugaan adanya organisasi abal-abal dalam 156 ormas yang lolos program ini. Secara isi, tentu program ini punya tujuan yang sama dengan ketiga organisasi tersebut. Menciptakan iklim pendidikan yang merata tanpa harus menyeragamkan secara keseluruhan. Sehingga akan terwujud merdeka belajar seperti yang sering dilontarkan Nadiem.

Dugaan adanya organisasi abal-abal yang ikut numpang makan di program inilah, yang menimbulkan persepsi program ini tergesa-gesa untuk direalisasikan. Ditambah lagi tidak lolosnya beberap organisasi yang lebih jelas kiprahnya di bidang pendidikan. Beberapa anggota DPR dan KPK pun angkat suara, agar Nadiem segera mengevaluasi program ini. Bahkan, desakan untuk menyudahi saja program ini pun muncul. Mereka ini berdalih lebih baik Kemendikbud fokus pada keberlangsungan pendidikan di masa pandemic ini, alih-alih bersibuk pada program yang cukup menguras anggaran negara.

Haruskah program ini disudahi saja? Jawabannya tidak. Soal adanya indikasi organisi abal-abal yang lolos dalam program ini, barangkali tidak bias dijadikan alat untuk membubarkannya begitu saja. Berbagai isu yang muncul di permukaan ini bahkan sudah dalam tahap pembenahan oleh Kemendikbud. Respon cepat Nadiem dan jajarannya, patut diapresiasi. Untuk sebuah program dengan deadline dua tahun, yang bertujuan memutus rantai bobroknya pendidikan yang hanya menghasilkan produk kurikulum tanpa diimbangi dengan kualitas lulusan yang jelas, program ini harus didukung semua pihak. Proses evaluasi lanjutan dikatakan akan melibatkan pakar pendidikan dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan lembaga negara.

Lalu bagaimana dengan Organisasi yang memutuskan keluar dari program ini? Tentu saja Kemendikbud tidak bias dan (tentunya) tidak boleh memaksakan organisasi itu, untuk berpartisipasi dalam POP. POP hanyalah kendaraan untuk mewujudkan keberlangsungan pendidikan di Indonesia yang lebih baik, dengan ikut serta memberikan dukungan dan mengorganisir organisasi yang sudah (lebih dulu) bergerak di bidang pendidikan. Jika pun, mereka memutuskan untuk keluar dari POP, pastinya mereka bukan tidak ingin mendukung semakin baiknya pendidikan. Justeru keberadaan mereka di luar POP malah bisa jadi pembanding sejauhmana program ini bisa bicara untuk mereformasi pendidikan menjadi lebih baik dan sejauhmana suntikan dana itu akan digunakan untuk memaksimalkan program unggulan dari organisasi yang terlibat dalam POP.

Bagaimana dengan kebocoran dana yang sangat berpeluang terjadi? Begini, diakui atau tidak, apapun program pemerintah, dari kementerian manapun rawan sekali untuk dicuri pendanaannya. Pengalaman Nadiem dalam menjalankan dan mengontrol keuangan beberapa perusahaan rintisan (startup) akan dibuktikan dalam program ini. Program yang akan melibatkan banyak organisasi dengan alokasi dana yang besar menuntut ketelitian dan kecermatan yang tinggi.

Tentu, sebagai warga yang baik, membiarkan Kemendikbud bekerja sendirian bukanlah suatu tindakan yang elok. Segala bentuk temuan celah sangat mungkin bisa segera sampai ke Mas Menteri untuk segera ditindaklanjuti. Termasuk organisasi abal-abal yang barangkali mengalamatkan diri di sekitar kita atau penyalahgunaan dana yang kita jumpai. Patut ditunggu perkembangan dari program ini, setelah proses evaluasi dan perbaikan dari berbagai koreksi dan dugaan yang sudah mengudara. Dan patut ditunggu (juga) peran yang diambil organisasi baik yang terlibat dalam program ini atau tidak. Sejauhmana program ini akan memberi dampak untuk program unggulan yang sudah mereka canangkan.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler