x

Hoaks terkait COVID-19 harus dihadapi bersama di tengah pandemi ini

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 22 Oktober 2020 23:00 WIB

Mengatasi Hoax dengan Kejujuran

Apabila sumber informasi menyediakan informasi valid secara jujur dan transparan serta mudah diakses, maka kepercayaan masyarakat akan mudah terbangun. Masyarakat pun tidak akan mudah termakan oleh hoax, sebab ia sudah memiliki informasi akurat yang dapat diandalkan dari sumber yang jujur, akuntabel, kredibel, dan transparan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam kompetisi wacana di tengah masyarakat, tampaknya hoax menjadi amunisi yang dapat dimainkan sesuai tujuan produsennya. Di satu segi, hoax dijadikan bahan untuk mengacaukan pemahaman masyarakat mengenai suatu isu dengan memproduksi dan menyebarkan informasi yang kebenaran dan akurasinya tidak valid atau bahkan menyesatkan. Ada tujuan tertentu di balik upaya mengacaukan pemahaman publik ini, sesuai dengan kepentingan pihak yang memproduksi hoax.

Di segi lain, hoax dapat pula dijadikan bahan untuk menggoyahkan pandangan pihak tertentu sebagai tidak memiliki pijakan yang kuat. Dengan memberi cap hoax pada informasi yang dijadikan dasar suatu pandangan, fondasi pandangan tersebut dicoba digoyang. Upaya ini bukan hanya dapat membuat ragu pihak yang memegang pandangan tersebut, tapi sekaligus berpotensi membuat pandangan tersebut tidak memiliki kredibilitas di mata pihak lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam percaturan wacana dan narasi, yang tidak lepas dari relasi kuasa di antara berbagai unsur masyarakat dan negara, hoax berpotensi mengecoh dan bahkan menyesatkan masyarakat yang tidak cukup sadar mengenai apa yang sedang terjadi di lingkungannya. Sebagian orang ikut menyebarkan hoax melalui akun media sosial tanpa menyadari bahwa itu hoax, sebab ia mungkin tidak memiliki cukup sumber untuk menguji kebenaran informasi yang ia terima dan kemudian ia sebarkan. Mungkin pula karena ia percaya begitu saja dan tidak menaruh kecurigaan apapun terhadap informasi yang ia terima maupun dampaknya; atau ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menguji kebenaran informasi itu.

Dalam komunikasi, informasi dapat dinyatakan palsu setelah dibandingkan informasi lain yang validitasnya lebih dapat diandalkan dan dapat diuji kebenaran maupun akurasinya dengan cara tertentu. Tidak bisa diterima akal bila ada yang mengatakan bahwa berita atau informasi tertentu itu hoax karena saya mengatakan itu hoax—habis perkara. Harus ada penjelasan tertentu yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa suatu informasi dianggap hoax, bukan karena saya bilang hoax maka itu hoax—ini jelas sangat subjektif.

Landasan penting komunikasi ialah kepercayaan dan kemudian pemeriksaan dengan cara tertentu dan berdasarkan kaidah tertentu. Para jurnalis sejak awal belajar tentang bagaimana memeriksa sebuah informasi itu hoax atau benar atau sebagian benar. Bahkan, kebenarannya pun berjenjang, tidak selalu 100% benar, juga tidak senantiasa akurat. Salah satu bekal yang mesti dimiliki jurnalis dalam menjalankan tugas memverifikasi atau memeriksa kebenaran atau kesalahan suatu informasi ialah dengan bersikap skeptis atau kritis. Misalnya, dengan mengajukan sejumlah pertanyaan untuk mengujinya.

Ketika pemerintah mengatakan bahwa masyarakat sudah termakan hoax sehingga bersikap menolak RUU Cipta Karya, maka menjadi tugas pemerintah untuk menjelaskan bagaimana kesimpulan tersebut diperoleh. Tidak bisa dan tidak cukup hanya dengan mengatakan karena pemerintah bilang itu hoax, maka informasi itu sudah barang tentu hoax. Masyarakat memerlukan kejelasan apabila ini disebut hoax, lalu mana yang bukan hoax.

Pemerintah harus menjelaskan atas dasar apa informasi yang diperoleh masyarakat itu disebut hoax. Dan jika itu hoax, seperti apa informasi yang benar menurut versi pemerintah. Hal ini penting sebagai upaya mendudukkan perkara secara adil mengingat rujukan atau referensi informasinya harus sama. Kesamaan informasi rujukan itu harus sama di kedua belah pihak. Apabila rujukannya berbeda, maka satu pihak dapat mengatakan bahwa informasi pihak lain itu tidak valid atau bahkan merupakan hoax.

Tidak kalah penting ialah mengkaji mengapa ‘apa yang oleh pemerintah disebut hoax’ itu sampai dipercaya oleh masyarakat. Padahal kepercayaan adalah kunci dari komunikasi yang efektif. Kita, misalnya, dapat berkomunikasi secara baik dengan tetangga apabila kita percaya bahwa tetangga tersebut mengatakan secara jujur, tidak membumbui ataupun mengurangi, dan tidak memelesetkan informasi asli yang ia terima dan kemudian ia teruskan kepada kita. Ketika kepercayaan kepada tetangga itu tidak 100%, kita akan mencari sumber-sumber lain untuk membandingkan informasi.

Transparansi informasi merupakan bagian penting dari komunikasi untuk menghindari kesalahpahaman, menekan kecurigaan dan prasangka, dan membangun saling pengertian. Dasar dari transparansi ialah kejujuran, sebab dengan kejujuranlah transparansi informasi memiliki makna. Apabila informasi yang dibutuhkan masyarakat disediakan oleh pemilik informasi secara transparan, jujur, dan akurat, maka protes dan kegaduhan itu tidak akan sedemikian parah.

Ketika informasi yang beredar berubah-ubah dan masyarakat tidak memiliki pembanding dari sumber informasi yang valid dengan kualitas informasi yang akurat dan jujur oleh karena informasi dari sumber tersebut terbatas atau dibatasi, maka masyarakat berpotensi akan keliru bersikap. Jujur dan akurat itu berarti tidak ada informasi yang disembunyikan, dimanipulasi, disiasati, maupun dipilah-pilah mana informasi yang dipublikasikan dan mana yang disimpan untuk diri sendiri.

Apabila sumber informasi menyediakan informasi valid secara jujur dan transparan serta mudah diakses, maka kepercayaan masyarakat akan mudah terbangun. Betapapun pahit suatu informasi, apabila disampaikan secara jujur dan transparan, masyarakat lebih dapat menerimanya. Masyarakat pun tidak akan mudah termakan oleh hoax, sebab ia sudah memiliki informasi akurat yang dapat diandalkan dari sumber yang jujur, akuntabel, kredibel, dan transparan.

Sebaliknya, bila sumber informasi cenderung menyembunyikan informasi yang benar untuk dirinya atau kelompoknya, atau informasi berubah-ubah dengan cepat tanpa memberi kesempatan pada masyarakat untuk mencernanya, maka kepercayaan akan sukar terbangun. Dalam kondisi seperti ini, informasi yang kemudian dicap sebagai hoax akan mampu memengaruhi pandangan masyarakat banyak.

Bila sumber informasi semakin tidak transparan, semakin tidak jujur, dan semakin sering berubah-ubah informasinya, maka semakin mudah masyarakat digoyahkan oleh apa yang dianggap sebagai hoax oleh pihak lain. Padahal, mungkin saja yang terjadi ialah masyarakat tidak memperoleh informasi mutakhir yang sudah berubah lagi dari sebelumnya karena pasokan informasi yang terbatas atau dibatasi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler