x

Seorang berusia lanjut menarik beban berat di sudut Kota Sala. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

Fitria Wulan sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Oktober 2020

Jumat, 30 Oktober 2020 06:53 WIB

Berhenti Menyalahkan Orang Miskin atas Kemiskinannya

Anggapan bahwa orang miskin berada di kondisinya karena kemalasan adalah hal yang tidak selalu benar. Sering kali mereka miskin bukan akibat internal secara individu, namun dimiskinkan oleh sistem dan akses yang tidak menjangkau mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak jarang dari kita beranggapan bahwa orang bisa menjadi miskin karena kemalasannya. Namun anggapan seperti itu membuat kita abai dan tidak adil terhadap kondisi nyata yang dihadapi oleh orang miskin. Mungkin ada beberapa orang miskin yang susah keluar dari kemiskinannya karena malas dan faktor-faktor internal dari individunya, tapi tidak sedikit juga orang yang menjadi miskin karena faktor eksternal selain budaya tentunya, yaitu sistem tempat mereka berada.

            Saya pribadi berasal dari keluarga berkecukupan, selama ini tinggal di perumahan dinas dan rumah pribadi milik keluarga. Saya sadar bahwa saya tidak punya akses informasi terhadap keluarga prasejahtera, sebelum akhirnya saya berkuliah di luar kota dan di jurusan kesejahteraan sosial. Hal ini membuka akses saya terhadap informasi dari berbagai orang dari berbagai status ekonomi. Saya akhirnya ditampar realita bahwa anggapan orang miskin akibat kemalasannya tidak selalu benar.

            Beberapa waktu yang lalu saya menjadi salah satu surveyor lembaga survei politik, saya ditempatkan di salah satu desa yang tidak jauh dari pusat kota. Sebagian responden saya merupakan petani tembakau, komoditas terbesar di kabupaten tempat saya belajar. Saya mendapat pengalaman baru mulai dari menyusul pak RT ke sawah untuk mendapatkan data, menikmati air kelapa bersama petani tembakau di tengah hari hingga menunggu responden saya selesai membereskan tembakau yang sudah dijemurnya. Untuk pembaca yang merasa bahwa hal itu biasa, percayalah bagi saya itu sebuah pengalaman hidup yang bermakna besar untuk orang kota yang jarang punya kesempatan berada di sawah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Dari pengalaman ini, saya tau bahwa petani-petani ini tidak miskin karena kemalasannya. Dari pagi hari mereka sudah sibuk menata tembakau untuk di jemur, belum lagi dengan musim hujan yang tidak menentu seperti saat ini, mereka kadang harus bergegas mengamankan daun tembakau agar tidak terkena air hujan. Sedari pagi hingga siang menjelang sore dihabiskan di sawah untuk memperoleh sumber pemasukan rumah tangga. Itupun pendapatan yang didapat tidak lebih dari 1 juta berbulan. Permasalahan utama bagi petani ini adalah harga pupuk yang mahal sedangkan harga jual tembakau yang murah.

            Dari sini kita bisa melihat bahwa permasalahan sebenarnya bukan terletak pada internal petani tembakau ini, namun dari sistem yang tidak mendukung penghidupan mereka. Permasalahan mengenai pupuk ini saya coba diskusikan dengan ayah saya yang merupakan pensiunan salah satu pabrik pembuat pupuk terbesar di kota saya, ayah saya menjelaskan bahwa harga pupuk (subsidi dan non-subsidi) bisa mahal akibat mafia obat dan pupuk. Sehingga permasalahan inti dari pupuk bagi petani bukan ada di masalah produksi, melainkan masalah distribusi yang tidak adil bagi para petani kecil. Selain itu ketidakhadiran pemerintah baik pusat dan daerah yang seharusnya menjamin kesejahteraan mereka pun hilang.

Pemerintah daerah secara spesifik mungkin hadir dalam bentuk pelayanan kesehatan. Tapi pemerintah daerah harusnya sadar tidak semua orang sakit, namun semua orang butuh makan untuk penghidupan. Bagi petani miskin yang tidak punya modal uang maupun tanah, jelas tenaga jadi satu-satu hal bisa mereka tawarkan. Walaupun sekeras apapun mereka berusaha dengan posisi mereka yang terbatas terhadap banyak akses, jelas butuh waktu yang lama untuk memperoleh kesejahteraan bagi keluarga mereka. Tidak hanya dalam aspek finansial, namun dari aspek pendidikan, kesehatan secara umum, kesehatan mental hingga ruang aktualisasi.

Masih banyak sebenarnya anggapan kebanyakan orang tentang orang miskin yang sangat tidak adil. Contohnya bahwa orang miskin seharusnya tidak punya banyak anak, karena anak-anak tersebut akan menjadi beban finansial tambahan bagi penghidupannya. Tapi pernah kalian bertanya kenapa orang miskin memiliki banyak anak? Jangan-jangan karena akses terhadap alat kontrasepsi seperti pil KB dan kondom tidak menjangkau mereka. Itu masih berbicara mengenai akses, belum lagi terkait pendidikan terhadap pentingnya alat kontrasepsi. Semua itu terjadi karena mereka berada di sistem yang tidak mendukung mereka untuk berkembang sebagai seorang manusia.

            Orang miskin tidak hanya miskin akibat kemalasannya, tapi mereka miskin akibat akses yang tidak menjangkau mereka. Mungkin contoh yang saya berikan ini tidak benar-benar bisa menjelaskan persoalan kemiskinan secara luas, ibaratnya seperti melihat monas dari lubang sedotan. Karena tujuan saya bukan menjelaskan kemiskinan, tapi membantah anggapan bahwa orang miskin bisa berada di kondisinya akibat kemalasannya. Banyak dari mereka menjadi miskin karena kita sebagai masyarakat yang lebih mampu cenderung abai terhadap persoalan mereka. Persoalan mereka jauh lebih kompleks dari apa yang bisa saya jelaskan dalam tulisan ini.

            Namun satu hal yang ingin saya pastikan bagi para pembaca, berhenti menyalahkan orang miskin terkait kondisi mereka. Kita orang yang jauh lebih beruntung, tidak benar-benar tau situasi mereka. Menjadi lebih peduli terhadap situasi mereka, membuat kita setidaknya memperlakukan mereka sebagai sesama manusia dan membuat kita menjadi seorang manusia. Sekian, selamat bekerja keras untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik!

Ikuti tulisan menarik Fitria Wulan sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler