x

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

Media Cendekia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Oktober 2020

Selasa, 10 November 2020 16:29 WIB

Ketika Satire Jadi Pilihan Bersuara, Apa sih Untungnya?

Satir bisa memunculkan banyak hal positif untuk menjadi interes, atensi, bahkan sikap keprihatinan. Namun, akan menjadi tidak asyik, manakala satir politik cenderung dimanfaatkan untuk satu kepentingan, yang saling mendiskreditkan atau menjatuhkan antarkandidat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 foto ilustrasi (inilah.com)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ditulis Choirul Amin, pegiat literasi media (founder portal inspirasicendekia.com)

--------

PERNAH merasa lucu dan tertawa sendiri melihat unggahan pamflet kartunis di media sosial? Atau bahkan harus mengernyitkan dahi berlama-lama tatkala memahami sebuah gambar dengan pesan kritis apa adanya? 
 
Kamus Oxford mendefinisikan satir sebagai penggunaan humor, ironi, melebih-lebihkan, atau sindiran untuk mengekspos dan mengritik kebodohan ataupun juga sifat buruk. Satir banyak muncul terutama dalam jagad politik kontemporer atau isu-isu tertentu yang menjadi perhatian dan terkait kepentingan publik (common interest).
 
Satir sejatinya adalah pesan publik, namun hemat narasi dan unik. Bentuknya biasanya menonjolkan samaran tokoh kartunis dan ikonik, bisa berupa meme, komik, atau quotes (pernyataan) ala stand-up commedy. Sederhananya, pesan satir membahas isu publik dengan kata-kata cukup singkat saja, namun mak jlebb tentunya!
 
Satire Mencerdaskan vs Perlawanan
 
Bisa dibilang, satir adalah cara cerdas menyuarakan sikap kritis atas berbagai ketidakbijakan terhadap kepentingan publik. Konten satir yang dikemas cukup sederhana, sejatinya juga kaya akan pencerahan dan pesan atas isu-isu publik yang ada. Jika dipahami benar-benar dan mendalam, satir bisa memunculkan banyak hal positif untuk menjadi interes, atensi, bahkan sikap keprihatinan. 
 
Awal kemunculan satir memang dipakai sebagai bahasa gerakan perlawanan. Wartawan senior CNNIndonesia, Yusuf Arifin, pernah menuliskan, bahwa satir dimaksudkan sebagai sebuah ekspresi perlawanan, ketidaksetujuan akan sesuatu, yang menunjukkan perbedaan nilai antara yang membuat satir dan yang menjadi sasaran satir. Ini misalnya ketika gerakan Protestan muncul di awal abad 16 hingga abad 17 silam, dan salah bentuk perlawanan mereka melawan hierarki Katolik adalah lewat pamflet-pamflet satir.
 
Dengan satir, yang tersampaikan tidak terlalu vulgar dan langsung mendiskreditkan hal yang dimaksud. Sifat satir yang sebenarnya untuk sindiran, memang mengena pada pihak yang dimaksud pembuat satir, namun seolah hanya banyolan dan plesetan bagi pembacanya. 
 
Akan tetapi, pembaca kritis dengan karakter yang tidak suka narasi atau redaksional, tetap jeli memahaminya. Dan bagi kebanyakan, satir dalam berbagai bentuknya ini bisa menggugah keingintahuan fakta sebenarnya. Bahasa dan konten satir justru akan memunculkan interes pembaca karena rasa penasarannya. 
 
Dalam konteks ini, pesan komunikasi massa melalui satir akan menjadi sumber referensi atau pemantik informasi baru. Bagi pembaca yang mudah tertarik ini, maka akan cenderung mencari dan mengulik informasi lain terkait hal yang dimaksud dalam satir. Untuk pesan yang positif, bukan hoax atau bernuansa kebencian, satir bisa menumbuhkan dan membangkitkan literasi di kalangan publik. 
 
Satir dalam Pusaran Pilkada
 
Konon, dalam beberapa kali contoh penyelenggaraan pemilu/pilkada, tingkat partisipasi masyarakat masih rendah dalam menggunakan hak pilihnya. Sebabnya, bisa jadi rendahnya kemauan memilih terjadi pada mereka yang memang tidak memiliki pilihan yang pas alias massa mengambang. Atau bahkan, masyarakat sudah apatis dan tidak cukup memiliki kepercayaan terhadap sosok pemimpin atau wakil rakyat yang menjadi figur kontestasi politik peserta pemilu.
 
Media sosial (medsos) disebut-sebut sangat vital perannya dalam pusaran arus kontestasi persaingan dalam pilkada. Medsos sangat berpengaruh untuk sebuah pencitraan calon, yang efektif dan murah. Bahkan, platform dan cara ini mungkin juga bisa memutus rantai banyaknya praktik 'makelar politik' untuk menarik simpati calon pemilih dan mendulang perolehan suara si calon.
 
Praktisi riset dan consulting pernah mencatat, ada sekitar 80 juta pengguna media sosial di Indonesia. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Sementara, paparan data dari KPU RI menyebutkan, dari lebih 132,7 juta jumlah penduduk Indonesia, merupakan generasi milenial yang melek internet (netizen). Tercatat, sebagian besar netizen ini diketahui penyuka konten medsos (97%) dan berita (96,4%). Pada pengguna medsos, platform dari Facebook paling banyak diakses (54%), disusul Instagram (15%) dan Youtube (11%).
 
Dari jumlah penduduk tersebut, mayoritas tentunya telah memiliki hak pilih. Fakta ini menjadi entitas populasi yang prospek tentunya bagi peserta pilkada maupun pemilu untuk melakukan pencitraan. Berita atau pun konten berbau kampanye politik, juga bisa jadi lahan empuk bagi pengelola akun maupun portal web yang banyak memanfaatkan medsos untuk mengais berkah dari hajat kontestasi politik.
 
Sayangnya, pemanfaatan medsos juga paling rawan karena mudah disalahgunakan oknum yang tak bertanggung jawab. Begitu mudahnya menyebarkan berbagai informasi melalui medsos, justru sangat mungkin akan menjadikannya sebagai sumber keruwetan proses demokrasi dan kontestasi politik dalam pilkada dan pemilu. Tak terkecuali, jika satir banyak dipakai dan dikelola sebagai perang medsos untuk saling menjatuhkan.
 
Contoh satir ini, misallya muncul sebagai Bu Tedjo dan Pak tedjo dalam konteks pilkada serentak di Kabupaten Malang akhir-akhir ini. Sah-saja dan kreatif memang, cara berkampanye virtual terlebih di masa pandemik semacam ini. Setidaknya, satir berbentuk meme atau komik ini menjadi alternatif untuk pilihan lebih cerdas calon pemilih. Karena, semua juga perlu mengingatkan kandidat tidak gampang menjanjikan demi kepentingan politiknya. Atau, bisa menyadarkan publik tidak semata-mata menerima hal-hal baik calon pemimpin, namun melupakan hal sebaliknya (potensi kesalahannya).
 
Akan menjadi tidak asyik, manakala satir politik ini cenderung satu kepentingan, yang saling mendiskreditkan atau menjatuhkan antarkandidat. Hingga hal-hal sepele dan remeh temeh dijadikan satire, dan terlalu menyampah, menjadi unggahan yang membanjiri medsos. Satir berlebihan semacam ini kurang baik dan tak mendidik tentunya. Ehh....emangnya medsos milik kalian yang lagi sibuk pilkada doang? Seperti itu mungkin ungkapan netizen yang jengah dengan satir-satir politik 'kotor' dan sampah! 
 
Satir tak elok dan berlebihan ini bisa juga loh berdampak bagi publik calon pemilih. Jika terlalu terpapar dengan sindiran negatif, bahkan cenderung sarkas, bukan tidak mungkin sipapun kandidat pilkada akan ditinggalkan calon pemilihnya. Meski ini hanya pekerjaan tim pemenangan atau pihak lain, tidak salah jika sekiranya calon pemilih menjadi berbalik meragukan siapapun kandidatnya. Efeknya, partisipasi publik menggunakan hak pilihnya bisa saja malah anljok. Buat apa memilih kalau yang dipilih banyak keburukannya? Barangkali begitu pikiran pemilih. 
 
Terlebih lagi, masalah besar akan muncul manakala pilihan bermedsos ini disalahgunakan untuk praktik jahat dan menyesatkan. Konten kabar bohong (hoax), ujaran kebencian, pencemaran nama baik, fitnah, dan sarkastis, mudah saja dilakukan dan disebarkan melalui medsos. 
 
Ingat! Kampanye hitam pun bisa menjadi makanan empuk dalam rivalitas peserta pilkada. Apa untungnya satir, jika hanya sebagai alat saling menjelekkan dan menjatuhkan (sesama rival politik)? (*)

Ikuti tulisan menarik Media Cendekia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler