x

Ilustrasi: berpikir sistemik

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 8 Desember 2020 09:55 WIB

Hobi Mungut Fee dan Sikap Anti-Sosial di Tengah Wabah

Kebiasaan memungut fee dari aktivitas dalam lingkungan kewenangan jabatan tertentu seakan telah berkembang menjadi hobi. Sayangnya, meski kita tengah jungkir balik mengendalikan wabah, ada saja orang-orang berkedudukan tinggi yang memelihara hobi ini tanpa rasa empati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Siapa sangka jabatan menteri sosial tidak menghalangi pemangkunya untuk bertindak anti-sosial? Siapa duga jabatan menteri sosial tidak membuat pemangkunya segan untuk melakukan tindakan anti-sosial? Yang namanya sosial di sini lazimnya dikaitkan dengan aktivitas untuk membantu yang wong cilik—warga yang harus berusaha keras untuk dapat bertahan hidup, warga yang namanya sering didengung-dengungkan oleh politikus untuk menarik simpati masyarakat.

Tapi, kenyataannya memang ada yang seperti itu. Ironi? Tragedi? Atau maybe?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bayangkanlah, teman, untuk setiap paket bantuan sosial senilai Rp 300 ribu yang disalurkan melalui sebuah perusahaan kepada masyarakat, perusahan itu mesti menyetor fee sebesar Rp 10 ribu. Bagi orang-orang berduit, uang sebesar itu mungkin terbilang kecil padahal masih bisa untuk membeli sepiring nasi goreng di warung kaki lima di daerah tertentu. Ketika uang yang terkesan tak seberapa itu dikalikan sekian orang penerimanya, maka jadilah bermilyar-milyar. Ya, uang fee itu milyaran rupiah. Memungut fee dari sebuah kegiatan merupakan jalan pintas untuk menghimpun uang, dan yang seperti ini hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kewenangan.

Uang milyaran rupiah yang berasal dari negara itu kemudian dimasukkan ke kantong pribadi dan dipakai untuk keperluan dan urusan pribadi, mungkin juga untuk memenuhi hobi seperti memancing di laut, bersepeda Brompton, atau moge kelas berat—entahlah. Padahal, uang negara itu dibutuhkan agar rakyat mampu menyambung hidup. Seharusnya tidak disunat. Apakah itu bukan perbuatan anti-sosial?

Banyak pihak sudah berulang kali mengingatkan bahwa bantuan sosial itu rawan penyelewengan, dan menteri yang bersangkutan pun sudah tahu hal itu. Tapi tahu serta punya ilmu dan tidak melakukan penyelewengan merupakan dua hal berbeda. Seseorang mungkin punya pengetahuan segudang bahwa bantuan sosial harus sampai seutuhnya kepada rakyat yang berhak, tapi pengetahuan dan tindakan kadang-kadang memang jauh jaraknya. Antara pikiran dan hati nurani bisa berjarak kiloanmeter.

Intinya ialah bahwa korupsi adalah soal hasrat, keinginan, niat. Orang yang melakukan korupsi itu memang telah berniat melakukannya sejak dalam pikiran. Bagaimana tidak berniat jika korupsi itu dilakukan dengan modus memungut fee? Apa mungkin tindakan memungut fee itu tidak direncanakan atau terjadi secara kebetulan?

Tidak ada korupsi yang terjadi secara kebetulan atau katakanlah—meminjam istilah pejabat yang baru-baru ini ditahan KPK—sebagai kecelakaan. Mungkinkah maksudnya corruption by accident? Korupsi secara kebetulan atau kecelakaan? Lebih masuk akal bila korupsi itu direncanakan, corruption by design. Desain itu meliputi banyak hal, yang kemudian dikemas dalam satu aturan main tertentu. Contohnya ya itu: ekspor hanya boleh melalui satu perusahaan yang ditunjuk tapi tarifnya minta ampun, lalu dari tarif itu disisihkan sebagian dan diberikan sebagai fee kepada yang membuat aturan.

Satu hal lagi, sebenarnya lebih tepat disebut fee atau upeti? Istilah fee itu terkesan mengaburkan keadaan yang sesungguhnya, sedangkan istilah upeti lebih mudah dibayangkan. Istilah fee terkesan sebagai hal yang lumrah dan jamak dalam konteks bisnis, sebab kegiatan tertentu yang ada keuntungannya dianggap layak dipungut fee. Jika seorang pebisnis memperoleh peluang bisnis tertentu melalui orang lain, orang lain itu merasa berhak untuk menerima bagian dari keuntungan pebisnis tersebut. Apakah jalan pikiran ini yang dipakai saat memungut fee untuk penyaluran bantuan sosial dari negara kepada masyarakat?

Penangkapan dua pejabat sekelas menteri ini menunjukkan secara terang-benderan bahwa kita memang menghadapi tantangan serius untuk mampu dan sanggup menjalankan roda pemerintahan yang bersih, jujur, dan adil. Terlalu besar hasrat politik, hasrat kuasa, dan hasrat ekonomi yang membayangi para pejabat publik kita, sedangkan hasrat untuk melayani masyarakat secara tulus sungguh-sungguh dalam keadaan yang mencemaskan.

Kebiasaan memungut fee dari  aktivitas dalam lingkungan kewenangan jabatan tertentu seakan telah berkembang menjadi hobi. Sayangnya, meski kita tengah jungkir balik mengendalikan wabah, ada saja orang-orang berkedudukan tinggi yang memelihara hobi ini tanpa rasa empati. Betul-betul perilaku anti-sosial yang ironis. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB