x

Supartono JW

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 6 Februari 2021 21:14 WIB

Sepak Bola Akar Rumput Tak Bertuan, Orang Tua Cerdas dan Bijak Memilih Kompetisi

Bila anak Bapak dan Ibu, passionnya bukan sepak bola, terdeteksi tak memiliki Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed (TIPS) sebagai pesepak bola, jangan paksakan anak menggeluti sepak bola. Jadikan sepak bola olah raga hobi, dan biarkan anak berkembang sesuai.passion untuk kehidupannya kelak. Jangan anak di antar untuk bermimpi menjadi pemain timnas, bila di SSBnya saja tak masuk standar TIPS pemain. Jadilah orang tua yang bijak. Bila Bapak dan Ibu, menyadari bahwa anaknya ternyata passionnya di sepak bola dan memiliki TIPS yang memenuhi standar, jangan ambisi, jangan egois, jangan menyakiti SSB yang telah membina anaknya terlebih dahulu, dan penjadi petualang, masuk di berbagai tim yang mengimingi gratisan pun jumawa karena merasa anaknya hebat. Ini justru menjatuhkan kecerdasan dan personaliti anak, attitude anak. Hingga malah akan dikucilkan oleh berbagai pihak. Ingat, timnas itu hanya butuh 11 pemain, line-up 18 pemain atau didaftarkan  23 pemain atau 30 pemain dalam sebuah event. Kembali ke masalah ada operator kompetisi baru dari pihak swasta yang dihelat baik oleh pemain baru maupun dari Klub Liga 1, kepada para orang tua, lihatlah latar belakangnya, visi-misi dan tujuannya, lihat anggarannya. Kepada publik sepak bola nasional, hingga artikel ini saya tulis, inilah fakta sepak bola di Indonesia yang terus dibiarkan kusut. Menyedihkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kendati dalam pandemi corona dan tidak diperhatikan oleh federasi yang menaungi, dengan salah satu alasan untuk tetap menjaga kebugaran, imun, perhelatan sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) di seantero nusantara terus membara demi melawan jahatnya virus corona dan demi menunjukkan eksistensi dan kemandirian. Sebab, sepak bola akar rumput ternyata tetap mampu berdiri tegak terutama karena suport dari para orang tua yang anak-anaknya menjadi bagian dari sepak bola akar rumput.Anak-anak akar rumput yang ditampung oleh ribuan Sekolah Sepak Bola (SSB) dan sejenisnya di Indonesia, terus giat merumput di masing-masing SSBnya. Para SSB juga dapat menggerakkan aktivitas kegiatannya dalam pelatihan reguler yang tetap mengikuti protokol kesehatan, hingga mampu menyelenggarakan sekadar trofeo, hingga mengikuti festival sepak bola terbatas dan kompetisi akar rumput yang diselenggarakan oleh para operator handal yang telah teruji oleh ruang dan waktu dan tetap ketat mengikuti protokol kesehatan.

Karenanya, meski corona sudah betah lebih dari setahun di +62, alhamdulillah tidak terdengar pemberitaan tentang klaster corona dari sepak bola, khususnya sektor akar rumput ini.

Orang Tua pahlawan sepak bola akar rumput

Tatkala sektor sepak bola yunior hingga senior bertekuk lutut, federasi pun tak bertaji memutar kegiatan hingga kompetisi, para orang tua di SSB dan sejenisnya, ternyata mampu menjadi pahlawan di sektor akar rumput hingga dapat terus bergerak membikin anak-anak tetap bergairah, sehat, dan bugar, para pelatih yang menggantungkan hidup dari sepak bola dapat terbantu mengepulkan dapurnya,

Selain itu, kegiatan SSB juga turut membantu mengepulkan dapar para pekerja yang terlibat dalam setiap kegiatan sepak bola akar rumput ini.

Yang pasti, situasi sepak bola akar rumput berbanding terbalik dengan situasi segala kegiatan yang diurus oleh federasi kita yang bernama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Seharusnya banyak sekali persoalan yang dapat diurus dan diperbaiki oleh PSSI di saat mereka juga tak mampu memperoleh izin menggelar kompetisi. Sayang, di tengah pandemi, saya melihat hanya satu divisi saja yang terus terlihat menggeliat, selebihnya bak tidur dan mandul.

Jujur, lelah rasanya melihat federasi yang diandalkan hanya diisi oleh para penggiat sepak bola yang bermain dengan para voter hingga dapat duduk menjadi pengurus yang latar belakangnya hanya demi sekadar kepentingan, namun tak cakap dan tak kompeten mengurus organisasi, hingga publik sepak bola nasional terus bertanya tentang mutu dan kualitas para pengurus ini.

Sepak bola akar rumput tak bertuan

Mirisnya, saat pandemi ini seharusnya menjadi momentum yang tepat bagi PSSI merapikan sektor akar rumput, semisal dengan melanjutkan program afiliasi SSB yang sudah digagas di zaman Ratu Tisha. Atau memiliki program lain yang lebih jitu hingga SSB yang menjamur dapat dijinakkan dan ditertibkan dengan tetap mengawali dengan program afiliasi dan registrasi SSB.

SSB sebagai wadah sepak bola akar rumput yang namanya digaungkan sejak 1999 di saat Pembina Usia Muda PSSI dijabat oleh Ronny Patinasarani dan Ketua Umumnya Bapak Agum Gumelar, seharusnya sudah menjadi prioritas untuk ditangani oleh PSSI.

Sayang, saya sendiri yang saat itu turut menjadi bagian penggaungan nama SSB bersama almarhum Ronny, terus menjadi saksi tak pernah ada pengurus PSSI yang kompeten menangani sektor akar rumput ini.

Akibatnya, SSB dan Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an dan sejenisnya terus lahir dan menjamur. Tapi para pembikin Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an banyak yang tidak tahu, apa itu Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an. Syarat apa yang wajib dipenuhi dan ada dalam SSB atau Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an.

Pertanyaannya, apakah SSB dan Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an dan sejenisnya telah memenuhi syarat pendirian, ada fasilitasnya, ada ruang belajarnya, ada lapangannya dan semua fasilitas yang menjadi pendukung. Lalu, bagaimana kepengurusannya, siapa para instruktur dan pelatihnya, apa pendidikan formal dan lisensi kepelatihannya? Bagaimana kurikulum pelatihannya dan lain sebaigainya.

Coba lihat dan amati, mana SSB, Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an, dan sejenisnya di Indonesia yang memenuhi syarat sesuai namanya? Apakah yang mendirikan dan sekarang menjadi bagian di dalamnya menyadari ini semua.

Seharusnya, apa yang pernah saya tulis di media massa di tahun 1999, kini sudah ada di PSSI dalam bentuk panduan dan regulasi, yaitu menyoal fungsi dan kedudukan SSB dan sejenisnya. Apa prasyarat sebuah SSB bisa didirikan. Bagaimana prosedur perizinannya. Apa yang harus dimiliki dan apa yang harus ada di SSB. Lalu, kurikulum SSB juga harus selaras dengan Kurikulum pusat yaitu dari PSSI seperti di sekolah formal. Bagaimana pengukuran keberhasilan siswa di SSB. Apa standar pengukurannya. Bagaimana testnya, bagaimana nilai rapornya, dan lain sebagainya. SSB, Akademi, Soccer School, hingga Diklat Sepak bola yang benar, tidak boleh jauh dari persoalan akademis dan yang berkecimpung dan terlibat di dalamnya juga memiliki standar akademis. Panduan dan regulasi itu semua seharusnya sudah ada dan baku dari PSSI.

Sebab hal itu tidak pernah lahir dan ada, maka jangan salahkan orang-orang yang sok tahu dan bikin SSB-SSB-an, Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an, Diklat-Diklatan, yang hampir semuanya tak layak dan memenuhi syarat sesuai namanya dan isi di dalamnya.

Jangan salahkan orang-orang yang lagak dan gayanya sudah seperti.pembina dan pelatih sepak bola hebat, petantang-petenteng di lapangan berjersey sepak bola kebanggaan SSB, Akademi-Akademian, Soccer School-Soccer School-an, dan Diklat-Diklatan, hingga ditiru oleh para siswanya bak pemain nasional dan internasional, namun tak memahami ilmu pedagogi yang melahirkan siswa atau pemain cerdas intelegensi dan personaliti (emosi-mental), meski ada bekal lisensi pelatih yang hanya ditempuh 1 atau 2 minggu hingga sebulan, atau ada bekal mantan pemain, hingga tak ada bekal apa-apa hanya sekadar punya uang dan ambisi. Sampai kapan benang kusut ini dan sektor akar rumput dibiarkan tak bertuan, PSSI?

Memanfaatkan akar rumput untuk cari uang

Selain carut marut dan benang kusut sepak bola akar rumput yang sejatinya sangat mudah diurai, bila di kursi PSSI duduk pengurus yang kompeten, ada carut marut menyoal kompetisi sepak bola akar rumput yang secara terselubung hanya dijadikan mesin pencari uang.

Sudah bukan rahasia, Timnas Indonesia kelompok umur, kini juga sudah dipenuhi oleh para pemain hasil kompetisi sepak bola akar rumput yang dihelat pihak swasta, khususnya yang digawangi oleh para operator kompetisi swasta yang saya akui sebagai operator handal yang sudah teruji oleh ruang dan waktu.

Para pegiat operator handal ini pun sangat saya pahami kompetensinya dalam menjalankan dan menggulirkan kompetisi yang mereka jalankan, sebab saya juga paham betul latar belakang para operator ini, yang bisa saya sebut ada Operator Kompetisi IJL, IJSL, TOPSKOR, dan KOMPAS.

Mereka begitu spartan membantu sepak bola akar rumput yang tak bertuan, mengakomodir para SSB dan sejenisnya di lingkungan Jabodetabek dan sekitarnya yang minimal telah terafiliasi di Askot atau Askab yang menaunginya.

Meski mereka memutar kompetisi di wilayah Jabidetabek, namun peserta kompetisi sudah rasa nasional, karena SSB peserta juga mengakomodir siswa dari seluruh daerah Indonesia.

Pastinya, empat operator tersebut sudah membuktikan dirinya, sudah mengakutalisasi diri, dan sudah menjadi motor regenerasi pemain timnas. Sudah begitu, niat tulus para operator ini, juga bukan untuk mencari uang, tetapi memberikan jalan bagi pergerakan sepak bola akar rumput agar pembinaan dan kompetisnya berjalan di relnya, meski bukan ditangani PSSI.

Di luar dari empat operator ini, saya juga melihat ada para pemain baru, yang coba-coba mengadu nasib menjadi operator. Sayang, bila menjadi operator visi misinya tak tulus, maka akan sulit bersaing dengan para operator yang sudah ada. Jangankan ikut bersaing, baru mau usaha merekrut peserta saja, para peserta sudah tak berminat setelah membaca proposal penawarannya.

Bila kini muncul beberapa operator yang mencoba mengadu nasib ikutan nimbrung di belantara sepak bola akar rumput, saya sangat menyayangkan bila modalnya hanya nekat dan di kepalanya yang dipikirkan mencari uang.

Jujur dalam beberapa hari ini ada banyak pihak yang menghubungi saya, meminta masukan dan pandangan, karena ada Klub Liga 1 PSSI di Jabodetabek, yang ikutan nimbrung membikin rencana kompetisi antar SSB. Setelah mempelajari proposalnya, target kompetisinya untuk apa? Biayanya juga tak masuk akal. Lebih dari itu, saya berandai bila semua Klub Liga 1 membikin kompetisi serupa, maka akan ada 18 Kompetisi antar SSB dong.

Enak sekali, Klub Liga 1 mencari pemain dengan cara terselubung, potong kompas, dan tinggal merekrut siswa yang sudah di SSB bahkan dengan gratisan, tapi malah dapat uang dari mengadakan kompetisi. Ini benar-benar menjadikan publik sepak bola akar rumput gerah.

Sebelum ini, publik sepak bola akar rumput juga sudah dibikin gerah dengan kelakuan beberapa Klub Liga 1 yang membikin akademi, namun.pemainnya mencomot dari siswa-siswa SSB. Bahkan ada Klub Liga 1 yang malah sudah ekspansi dengan membikin cabang akademi di beberapa daerah, pun cara merekrut pemain banyak mengorbankan SSB.

Seharusnya mereka membikin kerjasama, bukan menyerobot lahan orang dan mengakali SSB.

Saran untuk Orang Tua
Seo
Saran saya, para orang tua siswa di SSB, harus cerdas dan bijak dalam mendampingi, memasukkan anaknya ke SSB, pindah SSB, dan bermimpi anaknya menjadi pemain timnas.

Langkah pertama yang untuk pertama kalinya saya ungkap untuk para Orang Tua, mengapa ada sekolah fornal SMA dan SMK, dulunya STM? Karena untuk memberikan pilihan kepada siswa. Yang mampu bisa lanjut kuliah dengan pilihan masuk SMA, yang tidak mampu atau mau langsung kerja bisa pilih masuk SMK.

Bila anak Bapak dan Ibu, passionnya bukan sepak bola, terdeteksi tak memiliki Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed (TIPS) sebagai pesepak bola, jangan paksakan anak menggeluti sepak bola. Jadikan sepak bola olah raga hobi, dan biarkan anak berkembang sesuai.passion untuk kehidupannya kelak.

Jangan anak di antar untuk bermimpi menjadi pemain timnas, bila di SSBnya saja tak masuk standar TIPS pemain.

Jadilah orang tua yang bijak. Bila Bapak dan Ibu, menyadari bahwa anaknya ternyata passionnya di sepak bola dan memiliki TIPS yang memenuhi standar, jangan ambisi, jangan egois, jangan menyakiti SSB yang telah membina anaknya terlebih dahulu, dan penjadi petualang, masuk di berbagai tim yang mengimingi gratisan pun jumawa karena merasa anaknya hebat.

Ini justru menjatuhkan kecerdasan dan personaliti anak, attitude anak. Hingga malah akan dikucilkan oleh berbagai pihak.

Ingat, timnas itu hanya butuh 11 pemain, line-up 18 pemain atau didaftarkan  23 pemain atau 30 pemain dalam sebuah event.

Kembali ke masalah ada operator kompetisi baru dari pihak swasta yang dihelat baik oleh pemain baru maupun dari Klub Liga 1, kepada para orang tua, lihatlah latar belakangnya, visi-misi dan tujuannya, lihat anggarannya.

Kepada publik sepak bola nasional, hingga artikel ini saya tulis, inilah fakta sepak bola di Indonesia yang terus dibiarkan kusut. Menyedihkan.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler