x

Dokumen pribadi

Iklan

Yudel Neno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 3 Maret 2021 06:51 WIB

Literasi Persona Kultur; Mendudukkan Peran Harmonis Atoin Amaf

Saling percaya, komunikasi intersubyektif, melancarkan banyak hal, dan terlalu besar kontribusinya dalam merawat relasi. Didalam komunikasi intersubyektif, status justru dipandang sebagai peluang dan aktivitas untuk merawat persaudaraan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

gambar Fr. Yudel Neno, Bapa Alo dan Rm. Aje

Masyarakat Timor tahu baik, betapa pentingnya peran seorang Atoin Amaf, dalam segala urusan, terutama urusan adat. Boleh dikatakan, tak sedikit pun urusan adat, lolos dari peran Atoin Amaf. Atoin Amaf dalam budaya timor merupakan orang yang dituakan karena status. Sebutan Atoin Amaf dikenakan kepada Om (saudara dari ibu, entah saudara kandung maupun saudara sepupu). Urusan-urusan yang berkaitan dengan ponakan, selalu merupakan urusan seorang Atoin Amaf.

Catatan kritisnya ialah sikap peduli Atoin Amaf terhadap para ponakan banyak kali hanya dalam urusan adat dan pernikahan. Hanya sedikit saja yang peduli dengan urusan pendidikan para ponakan. Problemnya ialah seringkali tidak ada “budaya takut om” dari ponakan, karena memang baginya, Om tidak berkontribusi apa-apa dalam urusan pendidikan. Problemnya lanjutannya ialah kalau ada persoalan serius yang muncul dalam relasi antar ponakan, biasanya sulit terurus. Bukan karena mereka tidak mau, tetapi sosok yang seharusnya berkapasitas, tidak disegani sebagai penempuh jalur damai. Ini soal serius, dan sangat serius. Kita bisa hitung di tempat kita masing-masing, berapa banyak problem yang tidak terselesaikan dengan baik, karena sikap Om atau Atoin Amaf, yang pasif-pasif saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Deskripsi di atas, jelas menegaskan budaya patriarkat dalam segala akses hidup. Apalagi dalam praktek adat. Kalau para Atoin Amaf, lagi duduk melingkar di atas tikar adat, dipastikan, di sana tak ada seorang ibupun. Urusan bapak-bapak, menentukan kebijakan, urusan ibu-ibu, perhatikan dapur. Benarkah demikian? Ini problem. Mengapa? Seorang ibu, yang sebetulnya sangat dekat dengan anaknya, dan paling tahu kondisi anaknya, malah tidak dilibatkan. Hal seperti ini, biasanya dibungkam. So? Mau bagaimana? Mau ubah sistem adat? Entahlah!

Terjadi juga pada beberapa tempat, status Atoin Amaf, seringkali menjadi batu sandungan. Hal yang mudah bisa dipersulit. Hal yang biasa-biasa saja, bisa ditingkatkan masalah menjadi yang sangat luar biasa. Efeknya, putus hubungan bisa terjadi. Situasi yang sebetulnya santainya banget, bisa diciptakan seseram singa. Kekeliruan kecil, dendanya bisa berlipat ganda. Pada titik ini, siapakah sebetulnya, pembawa masalah? Entahlah!

Beberapa kali mengangani urusan pernikahan sebagai pastor, saya merasakan betapa dalamnya pergumulan pengantin, lantaran Atoin Amaf terkesan mempersulit keadaan. Sedemikian ngototnya Atoin Amaf, malah urusan belis mengesampingkan urusan Sakramen Perkawinan, dan bahkan belis menjadi syarat untuk terlaksananya Sakramen Perkawinan. Kalau belis belum selesai, dan apalagi Atoin Amaf, tidak kebagian, Sakramen Perkawinan berpotensi, batal. Lantas, keselamatan mana, yang sebenarnya diprioritaskan?

Lebih parah lagi, kalau status Atoin Amaf, dimanfaatkan untuk mengantongi materi, dalam hal urusan belis. Cari untung dalam urusan adat? Saya sepakat bahwa belis perlu ada sebagai peradaban adat, tetapi itupun sangat bergantung pada wilayah mana. Persoalannya ialah kalau belis dijadikan bisnis, apalagi kalau Atoin Amafnya memang suka bisnis, tentu kita bisa bayangkan berapa nominal uang yang diteken.

Muncul lagi problem lain, bagaimana praktek menekan, mengancam, mogok dimainkan. Pada titik ini, budaya patriarkat seolah-olah melayakkan para Atoin Amaf menggunakan kuasanya dengan sangat otoriter. Coba saja diteliti, berapa banyak dan berapa dalam rasa sakit para ponakan, serta orang tua kandung karena ulah-ulahan para Om atau Atoin Amaf. Saya yakin, pasti ada, tetapi biasanya disimpan dalam-dalam di hati. Karena memang bagi budaya patriarkat yang ekstrim, berlaku pula budaya diam bagi para ponakan dan orang tua.

Para ponakan seringkali memaklumi saja sistem otoriter Atoin Amaf, tetapi dengan harapan, semoga lain kali, tidak lagi.  Sikap marah-marah tidak jelas, terkadang diterima begitu saja oleh para orang tua. Para Atoin Amaf akhirnya merasa lebih dari yang lain.

Seruan filosofisnya ialah kebenaran pada prinsipnya tidak bergerak menurut status. Yang menjadi jaminan adalah motivasi yang tulus, kerelaan melakukan, komunikasi mengena, hadir selalu dalam setiap persoalan. Status bukanlah jaminan untuk kebenaran sebuah kebijakan. Karena itu, lapang dada para Atoin Amaf sangat diharapkan dalam mengakomodir berbagai persoalan, masukan dan kritikan demi perbaikan selanjutnya. Status akan kekurangan nilai etisnya jika dipergunakan untuk menyombongkan diri, merendahkan orang lain, mempersulit orang lain, menciptakan kesulitan yang diinginkan sendiri demi keuntungan yang ingin diperoleh.     

Lantas, masih perlukah peran Atoin Amaf? Tentu masih sangat diperlukan, dan wajib hukumnya. Yang terpenting ialah dari setiap kegiatan ataupun problem yang hendak diurus, dibutuhkan komunikasi intersubyektif, yang menempatkan seseorang, pertama-tama sebagai subyek, dan bukan obyek. Percaya, komunikasi intersubyektif, melancarkan banyak hal, dan terlalu besar kontribusinya dalam merawat relasi. Didalam komunikasi intersubyektif, status justru dipandang sebagai peluang dan aktivitas untuk merawat persaudaraan. Mengapa? Karena di dunia ini, tak seorangpun bisa hidup sendirian, dan karena itu, saling membutuhkan, saling melengkapi merupakan nilai aktivitas, yang muncul langsung dari kodratnya, sejak diciptakan.

Mari berbenah! Dunia ini sudah terlalu penuh dengan segala aksi saling mempersulit. Ingatlah bahwa mengasihi sesama berarti mengambil langkah dan inisiatif untuk mengeluarkannya dari lingkaran kesulitan. Mungkin orang bangga karena ia berhasil mempersulit orang lain, tetapi tidak disadari bahwa ia telah menutup pintu kepercayaan yang sulit datang untuk kedua kalinya. Mungkin orang senang karena keuntungan rangkap ia peroleh dari pemanfaatan statusnya, tetapi tidak disadari, ia telah menambah beban berat, yang mempersulitnya kembali merajut relasi kasih.

Mari berbenah! Dunia ini mudah, ketika segalanya mengalir tanpa masalah. Masalah tidak bisa dihindari, tetapi masalah bukanlah raja yang harus diabdi terus-menerus.

 

Penulis : RD. Yudel Neno

Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang

Ikuti tulisan menarik Yudel Neno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu