x

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 18 Maret 2021 18:52 WIB

Film dan Representasi Sistem Hukum

Film dapat merepresentasikan sistem hukum yang berlaku di mana film itu dibuat. Maka menonton film tak sekadar menikmati cerita yang disampaikan. Penonton sekaligus belajar bagaimana kondisi sosial, budaya, politik, dan hukum di negeri film itu diproduksi. Twelve Angry Man adalah salah satu film yang dapat menggambarkan perbedaan sistem hukum di Amerika Serikat dan Indonesia. Tulisan ini adalah awal untuk memahami bahwa iilm dapat merepresentasikan sistem hukum yang dianut suatu negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat ini, studi hubungan antara film dan hukum berkembang semakin  pesat. Hal itu karena film dan hukum dipandang sebagai dua rezim “naratif”  yang paling produktif dan penting saat ini.  Meskipun interaksi antara hukum dan film  lebih dari apa yang  ada di dalam layar, titik awal yang berguna bagi para teorist adalah pengamatan bahwa film tak kenal lelah  merepresentasikan hukum dalam aneka perspektifnya. Steve Greenfield, Guy Osborn dan Peter Robson, misalnya, menulis buku berjudul Film and the Law: The Cinema of Justice. Ketiga orang ini menerbitkan semacam kumpulan makalah ilmiah merrka tentang hubungan film dan hukum dalam berbagai perspektif.[1] Lalu David A. Black menulis buku Law in Film: Resonance and Representation, yang merupakan pengembangan dari disertasinya di New York University.[2] Kemudian Stefan Machura dan Peter Robson, bertindak sebagai editor, menerbitkan kumpulan tulisan banyak orang yang diberi judul Law and Film.[3]

Namun, sebagai pengantar, kali ini kita tidak akan masuk pada perbincangan yang bisa sangat teoritis dan njlimet. Kali ini saya langsung saja menunjukkan contoh bahwa film dapat merepresentasikan sistem hukum yang dianut dalam suatu negara dengan begitu nyata.

Kita semua --termasuk sineas-- tidak hidup di ruang hampa. Kita hidup dalam suatu pranata sosial sosial tertentu, falsasah hidup tertntu, sistem hukum tertentu,  ideologi tertentu, dan seterusnya. Meski bisa saja terdapat  beberapa pengecualian, umumnya apa yang kita pikirkan dan lakukan dipengaruhi oleh keadan nyata di sekitar kita. Itu sebabnya dalam setiap karya dapat ditelusuri dan dipelajari apa yang ada di belakangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena itu, sebagai penonton, kita tidak hanya bisa menikmati seni peran yang menawan, pemandangan yang indah, cerita yang bagus, bahkan berhasil mencapai kenikmatan tertentu. Dalam menonton film, kita juga bisa mengerti kondisi sosial, politik, budaya, hukum, atau apa saja yang munfkin muncul dalam film tersebut.

Di Amerika Serikat, misalnya, banyak diproduksi  film-film yang bersentuhan dengan dunia hukum. Apakah film yang secara khusus mengambil topik hukum (courtroom drama), film yang sekadar mendapat inspirasi dari kasus hukum tertentu, atau bahkan yang secara tak sengaja merepresentasikan sistem hukum di sana.

Kali ini, saya tuliskan salah satu film yang dapat merepresentasikan sistem hukum di Amerika Serikat yang sangat mencolok. Melalui film Twelve Angry Man (1957) kita akan belajar perbedaan sistem humum common law di Amerka Serikat dan civil law di Indonesia. Twelve Angry Man memang bukan film hukum terbaik yang pernah diproduksi di Amerika Serikat. Masih banyak film yang berkaitan dengan hukum yang juga menarik. Sebut, misalnya,  Kramer Vs. Kramer (1979); To Kill a Mockingbird (1962); My Cousin Vinny (1992); Philadelphia (1993); Erin Brockovich (2000); dan masih banyak lagi. Tetapi Twelve Angry Man ini segera dan sangat jelas memberikan gambaran sistem hukum yang khas Amerika Serikat.

 

Twelve Angry Man (1957)

Film 12 Angry Man arahan Sidney Lumet ini merupakan film drama persidangan yang sangat baik dan mengesankan. Henry Fonda memproduseri dan membintangi adaptasi  dari drama panggung Reginald Rose yang diakui sangat kritis dalam dialog-dialognya. Alih-alih mengikuti cerita persidangan,  penonton malah diajak untuk mengamati kejadian di balik pintu tertutup, yakni ruangan para juri. Ditampilkan para juri bermusyawarah atau mempertimbangkan sebuah kasus yang bisa berujung hukuman mati pada terdakwa. Pemungutan suara awal diambil dan hasilnya adalah 11 (sebelas) berbanding 1 (satu) untuk vonis bersalah (guilty). Sebelas anggota juri telah mengangkat tangan mereka, meyakini bahwa terdakwa, seorang pemuda, telah membunuh ayahnya sendiri. Hanya Juri No. 8 yang meragukannya.

Karena terdakwa akan dieksekusi mati jika terbukti bersalah, nasib hidupnya tentu saja berada di tangan para juri. Karena itu, juri No. 8 mengatakan bahwa  setidak-tidaknya yang dapat mereka lakukan adalah mendiskusikan kasus tersebut seadil-adilnya. Seiring berjalannya waktu, beberapa juri mulai mengubah pikiran mereka dan menemukan sejumlah keraguan. Mereka mulai merasa perlu untuk tidak terburu-burun dalam mengambil keputusan bersalah kepada terdakwa. Tapi, tidak semua orang mudah untuk diyakinkan.

Plot film ini sangat menarik. Hal-hal kecil yang bisa memengaruhi keputusan diperlihatkan dengan baik. Film ini juga berhasil dalam menghadirkan 12 karakter  juri yang sedang berdebat itu. Karakter masing-masing juri itu muncul melalui perpaduan sempurna antara casting yang pas, dialog yang bernas, dan akting yang hampir tanpa cela.

 Untuk lebih mengenal keduabelas tokoh Juri di film ini, berikut gambaran dari karakteristik mereka:

  • Juri No. 1, diperankan oleh Martin Balsam, yang juga berperan dalam All The President’s Men dan Psycho. Juri ini orang sederhana  yang tidak mengerti kompleksitas tugas yang diembannya, tapi berusaha menghalalkan segala cara agar orang lain tidak menyadarinya. Dia tampil santai, dan saat muncul malah berbicara tentang sepak bola Amerika. Dia sendiri mungkin merasa sial karena dipilih sebagai ketua juri -- tugas yang jelas-jelas tidak dia sukai.
  • Juri No. 2, diperankan oleh John Fiedler yang pernah membintangi The Odd Couple dan True Grit. Dia seorang pria berbadan kecil dan tidak banyak bicara. Ia tidak terbiasa mengemukakan pendapatnya sendiri, apalagi mengharapkan opininya dianggap penting oleh orang lain. Dia menemukan penghiburan dalam pekerjaannya sendiri, yakni sebagai seorang akuntan.
  • Juri No. 3, diperankan oleh Lee J. Cobb, yang pernah membintangi On the Waterfront dan The Exorcist. Juri ini memiliki karakter yang paling kompleks dalam film ini. Dikisahkan pada mulanya ia merupakan seorang pengusaha sukses yang berhasil atas usaha kerja kerasnya sendiri, dan seorang pribadi yang menyenangkan. Dia menganalisis kasus ini secara tidak memihak, menjelaskan argumennya dengan baik dan cukup percaya diri. Namun, seiring berjalannya waktu, dia semakin terobsesi dan menjadi terlibat secara pribadi dengan kasus ini. Dia juga mulai menunjukkan beberapa tanda sedikit ketidakstabilan mental.
  • Juri No. 4, diperankan oleh E.G. Marshall yang membintangi Superman II serta Nixon. Tokoh ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dia seorang pialang saham yang sombong. Ia menganggap dirinya lebih cerdas daripada orang lain di ruangan itu, dan dia menyikapi kasus persidangan ini dengan logika tak berperasaan. Dia tidak memperhitungkan perasaan, hasrat, dan karakter orang-orang yang terlibat dalam kasus ini. Keberadaannya di film paling mencolok sebab dia satu-satunya anggota juri yang tidak melepaskan jaketnya, padahal hari begitu panas.
  • Juri No. 5, diperankan oleh Jack Klugman yang juga membintangi The Odd Couple dan Days of Wine and Roses. Tokoh ini mengalami tekanan emosional yang hebat. Dia berasal dari latar belakang sosial yang sama dengan si terdakwa, dan dia nampaknya enggan mengakui fakta tersebut. Paradoksnya, hal tersebut dijadikan salah satu alasan utama mengapa dia memilih (voting) si terdakwa bersalah. Dia tidak ingin rasa belas kasihan memengaruhinya, walaupun ironisnya, pada akhirnya rasa belas kasihan memang memengaruhi keputusannya.
  • Juri No. 6 diperankan oleh Edward Binns, yang juga membintang The Verdict dan North by Northwest. Dia seorang pria bersahaja yang dengan mudahnya mengakui bahwa setiap orang di ruangan itu jauh lebih hebat darinya manakala membuat keputusan dan memberikan argumen. Dia benar-benar ingin melihat keadilan ditegakkan, dan selalu merasa khawatir bahwa ia sendiri mungkin melakukan kesalahan.
  • Juri No. 7, diperankan oleh Jack Warden yang pernah membintangi While You Were Sleeping dan Bullets and Broadway. Dia satu-satunya diantara keduabelas juri yang benar-benar tidak memiliki opini apa-apa mengenai kasus peradilan ini. Sepanjang durasi film dia hanya berbicara tentang baseball, tentang cuaca yang panas, tentang memperbaiki kipas angin, hal-hal remeh yang justru tak berkaitan dengan kasus peradilan yang tengah dihadapi. Satu-satunya alasan dia memberikan suara (voting) bersalah kepada terduga adalah murni karena keinginannya untuk bisa segera pulang, keluar dari ruang persidangan secepatnya.
  • Juri No. 8, diperankan oleh Henry Fonda, yang juga membintangi On Golden Pond, dan Wanda Nevada. Dia seorang pria yang penuh rasa kepedulian, dan lebih memikirkan kasus ini daripada anggota juri lainnya. Dia mencoba melakukan yang terbaik bahkan dalam menghadapi segala kemungkinan terburuk.
  • Juri No. 9, diperankan oleh Joseph Sweeney, yang pernah membintangi The United States Steel Hour dan The Defenders. Dia orang tua bijak dengan pengalaman hidup yang panjang. Pengaalaman itu membuatnya memiliki cara yang unik dalam melihat kasus di peradilan ini.
  • Juri No. 10. diperankan oleh Ed Begley, pemeran Sweet Bird of Youth dan Hang ‘Em High. Dia adalah tokoh dengan karakter yang paling mengerikan dalam film ini. Dia memberikan suara (voting) bersalah terhadap si terdakwaa, dan dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan fakta bahwa dia melakukannya hanya karena latar belakang sosial si terdakwa.
  • Juri No. 11 diperankan oleh George Voskovec, pemain Somewhere in Time dan The Spy Who Came In From The Cold. Dia seorang imigran pembuat jam tangan, seorang metodis yang cermat, penuh sopan santun, dan lembut dalam bertutur. Dia menghormati hak orang lain untuk memiliki pendapat yang berbeda terhadapnya  dan selalu melihat masalah melalui dua sisi.
  • Juri No. 12 diperankan oleh Robert Webber, pemain The Dirty Dozen dan The Great White Hope. Dia tipe pebisnis muda. Dia punya pendapatnya sendiri, tetapi begitu hati-hati menyembunyikannya. Apa yang dia pelajari dari kehidupan tampaknya adalah bahwasannya menjadi cerdas itu berarti menyetujui opini kebanyakan orang.

Sekali lagi,  film ini menawarkan plot yang cerdas, dan menampilkan 12 tokoh dengan pengembangan karakter yang believable (dapat dipercaya), mengesankan, dan amat unik.[4] Namun, karena film ini gagal menghasilkan keuntungan, aktor sekaligus produser film ini, Henry Fonda, tidak pernah menerima honornya. Dalam kontrak ia sedianya menerima honor dengan besaran tertentu yang dihitung sesuai keuntungan film di tangga box office. Meski begitu, ia selalu menganggap bahwa 12 Angry Men merupakan salah satu dari tiga film terbaiknya, dua lainnya yakni The Grapes of Wrath (1940) dan The Ox-Bow Incident (1943).[5]

Film ini biasa digunakan sebagai contoh kasus di sekolah-sekolah bisnis dan seminar-seminar untuk menggambarkan dinamika sebuah tim dan teknik resolusi konflik.[6] Dinominasikan untuk meraih tiga Oscar, namun film ini kalah dan tak membawa pulang satu pun piala Oscar.[7]

 

Sekilas Civil Law & Common Law

 

Dapat dipastikan bahwa cerita seperti yang ada dalam film 12 Angry Man ini tidak akan pernah diproduksi di Indonesia. Film tersebut hanya bisa lahir dalam sistem common law yang dianut di Amerika Serikat. Sebab hanya dalam sistem common law model peradilan semacam itu  bisa terjadi. Sedangkan dalam sistem hukum civil law  yang dianut Indonesia, model peradilannya berbeda sama sekali.

 Dalam sistem hukum civil law, pemutus seseorang bersalah (gulty) atau tidak bersalah (not gulty), ditentukan oleh panel hakim. Sedangkan dalam sistem common law, pemutus seseorang bersalah atau tidak, terutama dalam hukum pidana dengan ancaman hukuman berat, adalah panel juri yang berasal dari masyarakat dengan berbagai latar belakang. Di Amerika Serikat, seorang terdakwa pidana berat dan tidak ingin diadili oleh hakim semata, ia dapat memilih diadili oleh sekelompok “orang luar” atau masyarakat (juror). Para juror (bukan hakim) yang biasanya berjumlah 12 orang inilah yang memberikan keputusan  mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, hakim (judge)  mencarikan pasal yang tepat sesuai kasusnya. Hakim hanya berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman (sentence). Kalau perlu hakim mencontek dari putusan lama (preseden) yang pernah ada. Mungkinkah hal semacam itu diberlakukan dalam sistem peradilan kita? Jelas tidak. Maka, film semacam Twelve Angry Man rasanya juga tidak akan lahir dari sineas kita.

Selain model peradilan yang berbeda dengan Amerika Serikat, ada beberapa ciri atau karakteristik utama  sistem civil law  (Eropa Kontinental) seperti yang dianut Indonesia. Pertama, adanya  kodifikasi. Kodifikasi dianggap perlu untuk menciptakan keseragaman dan kepastian hukum di tengah-tengah keberagaman hukum. Kedua, hakim tidak terikat dengan preseden sehingga undang-undang menjadi rujukan hukumnya yang utama. Ketiga, sistem peradilannya bersifat inkuisitorial. Maksudnya, hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam menilai bukti. Hal ini agar hakim memperoleh gambaran yang lengkap dalam menilai alat bukti dan  menerapkan pasal yang tepat.

Dengan karakter yang “hanya” menggunakan kitab undang-undang sebagai sumber hukum utama, maka harus ada  peraturan yang telah dibuat terlebih dahulu sebelum adanya kasus. Sistem ini merencanakan, mensistematiskan, dan mengatur persoalan sehari-hari dengan cara membentuk aturan-aturan hukum sebagai produk legislasi. Di Indonesia, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah.

Sedangkan beberapa ciri utama common law (Anglo America) hakim mengikut   putusan sebelumnya (yurisprudensi) menjadi rujukan utama untuk kasus yang sama. Alasannya, secara apsikologis, setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk kepada putusan yang telah ada sebelumnya daripada memikul tanggung jawab atas putusan yang dibuatnya sendiri. Alasan praktisnya, diharapkan adanya putusan yang seragam karena sering diungkapkan bahwa hukum harus mempunyai kepastian daripada menonjolkan keadilan pada setiap kasus yang sama. Selain itu, bagi penganut common law ini, menempatkan undang-undang sebagai acuan utama merupakan suatu perbuatan yang berbahaya. Kenapa? Karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagipula, dengan berjalannya waktu, undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga memerlukan intrepretasi pengadilan.

Mengikuti yurisprudensi ini seseuai dengan doktrin Stare Decicis/Preseden. Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk mengikuti dan atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa. Meski begitu, bukan berarti tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadlan, dengan melakukan distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Artinya, fakta yang baru itu harus dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai preseden.

Kemudian, dalam bersengketa di pengadilan, para pihak menggunakan lawyer-nya yang saling berhadapan di depan hakim. Para pihak menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Jadi yang berperkara adalah para pihak yang dipimpin oleh pengacaranya masing-masing. Para pihak berusaha mengembangkan argumen di depan hakim dan juri. Pengadilan dalam sistem ini tidak dipimpin oleh sekumpulan majelis hakim sebagaimana dalam sistem hukum civil law, akan tetapi hanya dipimpin oleh satu hakim sebagai wasit.

 

Perkembangan Mutakhir

 Zaman berkembang, dan dunia terus bergerak maju.  Demikian juga dalam bidang hukum. Di era globalisasi ini, kajian tentang pluralisme hukum, misalnya, telah diredefinisi. Pluralisme dalam hukum tidak lagi dipahami hanya sebagai pemetaan keanekaragaman sistem hukum di dunia, tetapi telah dipahami sebagai “hukum dinamis” di ranah global. Saat ini hukum dari berbagai belahan dunia berpindah ke wilayah yang tidak terbatas, terjadi kontak, interaksi, kontestasi, dan saling adopsi antara hukum internasional, nasional, dan lokal. Hasilnya, terciptalah hukum transnasional. Penciptaan hukum transnasionalisasi merupakan konsekuensi dari kontak, penyesuaian, dan pemenuhan kebutuhan kerjasama global seperti dalam kasus perdagangan internasional, penanganan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, dan lain-lain. Jadi globalisasi tidak hanya menghasilkan negara tanpa batas, tetapi juga memperkenalkan hukum tanpa batas.

Di Indonesia, sejak dihapuskannya kata "Rechsstaat" dan "Machtsstaat" dalam amandemen ketiga UUD 1945 (2001), jalan untuk membuat tafsir baru, terobosan baru, baik dalam penerapan undang-undang maupun pembentukan lembaga baru, telah telah terbuka lebar. Kita tidak lagi menyoal apakah lembaga atau instrumen hukum  baru itu berasal dari common law atau asli civil law.

Dalam bidang hukum tata negara, misalnya, sejak dilakukan beberapa kali amandemen UUD 1945 (1999-2002), muncul aneka badan atau lembaga baru  – sebut misalnya Komisi Yudisial; Lembaga Prapreradilan; Mahkamah Konstitusi; Ombudsman --  yang tadinya tidak ada atau tidak dikenal dalam sistem hukum civil law. Perubahan UUD 1945 itu juga – yang ini bukan pengaruh common law--   membuat MPR bersama DPR dan DPD tidak lagi menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Lalu anggota legislatif (DPR, DPRD dam DPD),  Presiden, dan Wakil Presiden, dipilih langsung oleh rakyat. Presiden juga tidak bisa lagi membubarkan DPR, dan kekuasaan kehakiman ditegaskan sebagai lembaga mandiri, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Demikian juga dalam hukum perdata. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) pun telah mengadopsi beberapa konsep yang berasal dari sistem hukum common law seperti Fiduciary Duties, Business Judgment Rule (BJR), Piercing Corporate Veil (PCV), Ultra Vires vs Intra ViresShareholders Derivative Action, Corporate Social Responsibility (CSR), dan lain-lain.

Dalam dunia perfilman, meski tidak eksplisit dinyatakan, eksperimen transplantasi sistem common law ini sudah pernah dimulai. Dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2014, misalnya, terjadi perubahan sistem penjurian yang cukup drastis. Para penentu akhir pemenang Piala Citra tidak lagi oleh panel beberapa dewan juri yang seperti dewan hakim dalam civil law, tetapi oleh suara lebih dari seratusan orang (panel juri), yang mirip model penjurian Piala Oscar di Amerika Serikat (common law).

Kita tahu, sejak FFI pertama kali diselenggarakan pada 1955, penentu pemenang kompetisi film bioskop selalu dilakukan oleh lima sampai tujuh orang (panel dewan juri). Dengan cara seperti itu, bahkan sejak FFI pertama kali, telah menimbulkan kecurigaan, pertanyaan, bahkan kemarahan. Puncaknya adalah pada FFI tahun 2006, ketika ada 22 peraih Piala Citra akhirnya mengembalikan pialanya kepada pemerintah. Akar masalahnya waktu itu adalah beberapa insan film tidak sepakat terhadap pilihan dewan juri yang memenangkan film Eskul sebagai film terbaik

Atas dasar pengalaman panjang itu, penjurian FFI 2014 diubah. Penjurian film bioskop  dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah dibentuk beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan 5 (lima) orang. Tiap kelompok hanya menilai sesuai bidang keahlian masing-masing. Misalnya, kelompok juri skenario, kelompok juri musik, kelompok juri aktor, dan seterusnya. Seluruh anggota juri tahap ini adalah insan film, namun jumlahnya sudah puluhan orang.

Di tahap pertama ini, tiap anggota kelompok diminta menuliskan nama yang mereka pilih sesuai dengan urutan prioritas  (dari angka 1 yang terbaik hingga 5). Hasil Dewan Juri Tahap I ini direkapitulasi oleh akuntan publik kelas dunia, Deloitte, untuk menghasilkan 5 (lima) nominasi dalam tiap-tiap kategori. Dewan Juri pada tahap ini adalah mereka yang tidak terlibat dalam film yang mereka nilai. 

Kemudian, dalam Tahap II, seluruh anggota Dewan Juri yang insan film tadi ditambah tokoh-tokoh nonfilm. Mereka semua berhak menilai seluruh kategori yang dikompetisikan dari nama-nama yang sudah masuk menjadi nominasi.  Pada tahap kedua ini, seluruh Dewan Juri diminta untuk menuliskan hanya 1 (satu) nama dalam tiap-tiap kategori yang sudah dinominasikan tersebut. Total anggota Dewan Juri film bioskop FFI 2014 mencapai 100 orang.

Dengan cara seperti itu, diharapkan tingkat obyektivitas bisa dijaga dan tingkat akseptabilitasnya makin membesar. Dan ini terbukti dari kesediaan beberapa produser dan pembuat film yang telah lama absen dari FFI,  kembali mengirimkan filmnya pada FFI 2014. Pola penjurian semcam itu setidaknya berjalan selama 4 (empat) tahun dengan beberapa perbaikan di beberapa bagian. Dengan kata lain, pola  penjurian FFI sejak 2014 telah dipengaruhi oleh sistem yang berlaku pada Piala Oscar, yang mana  penentu kemenangan akhir tidak lagi “panel dewan hakim/juri” yang jumlahnya tujuh sampai sembilan orang, tetapi oleh juror yang jumlahnya bisa puluhan hingga ratusan.

Seperti bahasa, hukum juga berkembang. Hukum adalah formulasi dari keinginan rakyat dan tuntutan zamannya. Maka, saling pengaruh antar sistem hukum juga terjadi. Sebab hukum tumbuh bersama masyarakatnya (Kemala Atmojo).

 

                                                         ###

 

 

[1] Greenfield Steve; Osboern Guy; Robson, Peter, Film and the Law: The Cinema of Justive , Hart Publishing Ltd.,m Secon Edition, 2010.

[2] Black, David A., Law in Film: Resonance and Reprersentation, Board of Trustees of the University of Illinois, 1999.

[3] Machura, Stefan; Robson, Peter, Law and Film, Blackwell Publishers, Ltd., Fisrt published, 2001.

[4]Reginald Rose, Twelve Angry Men Student Edition (London, Bloomsbury Publishing, 2016), hlm. 10.

[5]Reginald Rose, Twelve Angry Men Student Edition (London, Bloomsbury Publishing, 20160, hlm. 19.

[6]Carmen Deltoro Lenguazco, English Through Movies, 12 Angry Men: Beyond a Reasonable Doubt or a Moral Certitude? (Spanyol, Dykinson, S.L., 2008), hlm.7.

[7]12 Angry Men (1957) Trivia, IMDb, diakses dari http://www.imdb.com/title/tt0050083/trivia?ref_=tt_trv_trv, pada tanggal 12 Februari 2021 pukul 9.20

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler