Kronik Perjuangan Geger Cilegon 1888 (Bagian 3)
Kamis, 15 Juli 2021 05:58 WIBMenghormati dan mengenang Pemberontakan Cilegon yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888 (Geger Cilegon 1888
Pengantar :
Dalam rangka menghormati dan mengenang para pejuang rakyat Cilegon dalam melawan Penjajah Belanda, dimotori oleh para Kyai (Ulama) yang terjadi di Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888, saya sajikan tulisan bersambung yang disarikan dari buku karya Prof. Sartono Kartodirdjo "Pemberontakan Petani Banten 1888".
----------------------
Penyerangan bukan hanya di pusat pemerintahan saja (Cilegon), tapi terjadi di beberapa wilayah seperti Bojonegara, Grogol, Mancak, Bagendung, dan Krapyak. Sasarannya adalah asisten wedana, Asisten Wedana Grogol dan Mancak terbunuh, sementara asisten wedana Bojonegara, Bagendung dan Krapyak berhasil melarikan diri.
Perlu di catatat disini bahwa pimpinan pemberontakan, selain Ki wasid, H.Tubagus Ismail dan H. Iskak, ada pula kyai kyai yang secara husus diberi tugas oleh Ki wasid sebagai pimpinan kelompok untuk memimpin penyerbuan dan memburu para pejabat yang melarikan diri seperti Lurah Jasim, H. Mahmud (Terate Udik), H. Abdulgani (Beji) H. Usman (Arjawinangun), H. Usman (Tunggak), Lurah Kasar, H. Masna, H.Kamad (Pecek) Sarip (Kubang Kepuh), H. Hamim (Temuputih).
Ada juga yang ditugaskan untuk mempertahankan Cilegon saat pasukan menuju serang untuk menyerbu Pusat Pemerintahan Banten, diantaranya Agus Suradikaria, H. Kasiman, H. Madani, H. Koja (Jombang Wetan), H. Akhiya termasuk H. Mahmud (Terate Udik).
Menurut Laporan Direktur Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda seperti dikutip Sartono Kartodirjo, ada 17 orang yang dibunuh saat penyerbuan pusat pemerintahan di Cilegon yakni, J H H Gubbels (Asisten Residen), Anna Elizabeth Gublles (istri Gubbels), Dora Gubbels, Elly Gubbels (anak Gubbels), Henry F Dumas (Juru Tulis Asisten Residen), U Bachet (Kepala Penjualan Garam), J Grondhout (Kepala Pemboran), Cicile Wijermans (istri Grondhout), Raden Cakradiningrat (Wedana Cilegon), Mas Sastradiwiria (Jaksa), Raden Purwadiningrat, Mas Kramadimeja, Sadiman, Jasim, Jamil, Mas Jaya Atmaja, Mas Asidin.
Sedangkan Raden Pena, patih yang paling dibenci rakyat lolos dari penyerbuan karena tidak ada di Cilegon.
Dari sekian korban yang terbunuh (dibunuh) para pejuang dalam penyerangan diatas, yang menarik adalah terbunuhnya Anna Elizabeth Gubles (Istri assisten residen Gubbels). Anna Elizabeth awalnya dibiarkan lolos melarikan diri dari penyerangan para pejuang yang heroik. Karena merasa terancam dengan situasi yang mencekam, ahirnya lari menyusuri jalan hingga ke Seneja.
Keberadaan Anna Elisabeth di Seneja ini tentu saja ibarat masuk kendang macan lantaran di sana masih banyak pejuang berkumpul. Mulanya ia minta tolong kepada seorang perempuan untuk dicarikan andong, maksudnya untuk melarikan diri kearah Serang, Anna Elisabeth tidak sadar siapa yang dihadapannya, ternyata perempuan ini adalah Nyai Kamsidah. Nyai Kamsidah bukannya menolong mencarikan andong, malah menyerang istri asisten Residen ini. Terjadilah perkelahian antara Nyi Kamsidah dan Elisabeth. Nyi Kamsidah kemudian mendapat bantuan dari pejuang yang ada disitu, kemudian menyemprotkan sejenis cairan ke mata Anna Elisabeth. Elisabeth terbunuh, mayatnya kemudian di temukan disekitar jalan menuju Serang.
Nyi Kamsidah (Tengah)
Setelah Cilegon di duduki para pejuang dan para pejabat penting sudah di bunuh, sasaran berikutnya adalah pusat pemerintahan Kresidenan Banten di Serang.
Keberangkatan para pejuang menuju Serang terdiri beberapa gelombang, Ini atas perintah Ki Wasid. Pasukan dibawah pimpinan Ki wasid dan H,Tubagus Ismail berangkat terahir sore hari menjelang malam setelah ada kepastian asisten Residen Gubbels berhasil dibunuh.
Sementara pasukan yang berangkat awal, masih menunggu kedatangan pasukan Ki wasid dan H. Tubagus Ismail di sekitaran Serdang-Krapyak. Setelah pasukan Ki Wasid bergabung,dengan penuh keyakinan, lantas bergerak menuju Serang.
Berbarengan dengan itu, tanpa disadari oleh Ki Wasid dan pasukannya, Bupati Serang didampingi dengan pasukan tantara kolonial pimpinan Letnan Van der Star,justru bergerak menuju Cilegon setelah ada laporan Cilegon di duduki para pejuang dan para pejabatnya mati terbunuh.
Bentrok antara dua kekuatan tak dapat di hindari, ini terjadi di sekitar Toyomerto pada tanggal 10 Juli 1888. Kekuatan militer bersenjata senapan lengkap berhadapan dengan kekuatan rakyat yang dibekali dengan senjata Golok, klewang dan bambu runcing dengan tekad perang sabil.
Ketika kedua pasukan saling berhadapan, Bupati Serang dan kontrolir lantas turun dari dokar. Bupati minta agar Ki Wasid dan pasukannya mengurungkan niatnya untuk menyerbu Serang, namun sia sia lantaran permintaan Bupati itu di tolak dan dibalas dengan teriakan “Sabil Allah”.
Situasi mencekam karena dua kekuatan berhadap hadapan langsung, Kolonel Van der Star mengambil alih komando, minta supaya pasukan pejuang yang berkekuatan sekitar 200 orang membubarkan diri dengan ancaman akan ditembak jika tidak menyerah, namun para pejuang tak mau menyerah, terjadilan pertempuran sengit, serentetan tembakan dari tentara kolonial diarahkan ke pasukan Ki Wasid, darah bercucuran dan korban bergelimpangan di pihak pasukan Ki wasid, sebagian syahid sebagian terluka parah.
Jelas pertempuran ini tidak seimbang, bahkan tidak di duga sebelumnya oleh para pejuang Cilegon. Melihat kekuatan yang tak imbang dari segi persenjataan, ditambah lagi banyaknya anggota pasukan yang bergelimpangan, pasukan Ki wasid kemudian mundur.
Andai saja pertempuran ini berkesudahan lain, misalkan pasukan Ki Wasid mengalami kemenangan, maka tidak menutup kemungkinan Serang akan menjadi ajang pergulatan antara pejuang dan pihak koonial.
Dengan mundurnya pasukan Ki Wasid di Toyomerto, sangat berpengaruh terhadap rencana penyerbuan ke Serang mengingat pasukan yang dibentuk atas perintah Ki Wasid untuk wilayah afdeling Serang dan sekitarnya sedang menunggu perintah dan kedatangan Ki Wasid.
Pasukan tersebut yaitu dari Bendung di pimpin H. Moch. Asik, Terumbu dipimpin H. Hanafiah dan H Muhyidin, Kubang di pimpin H. Khatab, ketiga pasukan ini langsung dibawah pengawasan H. Sangadeli (H.sadeli—pen). Demikian juga di Kaloran di bentuk pula pasukan di pimpin Raim dan Kaganteran di pimpin Abu Bakar.
Sejak tanggal 9 Juli 1888, sebagaimana perintah Ki wasid, semua pasukan sudah siap siaga dan berkumpul di sekitar Masjid Agung Serang dan Kaloran. Rencananya memang Serang akan diserbu dari segala penjuru termasuk oleh pasukan Ki Wasid dari Cilegon. Namun hingga hari senin tanggal 10 Juli itu, belum ada perintah dari Ki Wasid, bahkan Ki Wasid-pun belum juga muncul di Serang.
Malam harinya baru terdengar kabar bahwa Ki wasid dan pasukannya di hadang tentara kolonial di Toyomerto, sedangkan pasukannya banyak yang menjadi korban kemudian mundur.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Jalan Berliku Menuju Istana
Selasa, 3 Januari 2023 06:00 WIBYouth Center di Cilegon, di Mana Gerangan?
Jumat, 23 Desember 2022 07:42 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler