x

Indonesia

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 25 Juli 2021 12:03 WIB

Tradisi Akal-Akalan via Peraturan dan Gelar Akademik yang Buat Mainan

Di mana teladan-teladannya? Aturan mudah diubah-ubah, gelar akademik buat mainan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbagai persoalan di Indonesia, tentu apa pun solusi dan pemecahannya, sering kali malah justru menambah polemik.Dalam urusan corona misalnya menyangkut PPKM Darurat yang berganti istilah PPKM Level 4, kini buntutnya terus mengemuka persoalan komunikasi pejabat yang bikin rakyat bingung.

Dalam urusan peraturan, juga mencuat polemik, saat pemerintah bikin kesalahan dan dikritisi masyarakat, seperti kasus Rektor UI yang rangkap jabatan, bukannya meredakan masalah dan mengakui salah, Presiden malah bikin peraturan baru yang sangat terkesan membela sang rektor. Ironisnya, si rektor malah mengundurkan diri dari rangkap jabatan, tentu saja karena alasan yang bisa dimengerti oleh rakyat, tapi sungguh tak berterima kasih kepada pemerintah yang telah membelanya.

Sebelumnya, dalam bidang akademik, rakyat juga dibikin melongo karena adanya kasus akal-akalan pemberian gelar profesor kehormatan.

Lebih miris lagi, dunia akademik juga dibikin prihatin dengan adanya tempelan gelar akademik yang belum sah, yang nempel di bawah nama sumber yang banyak beredar dalam promosi seminar daring sejak corona hadir.

Jabatan profesor yang benar

Sebab Indonesia terus dilanda pandemi komunikasi buruk yang dicontohkan justru oleh pejabat pemerintah, maka pada kesempatan ini, saya coba mengangkat kasus jabatan profesor dan adanya gelar profesor kehormatan itu duduk persoalannya ada di mana? Pasalnya, masyarakat awam, gelap terhadap kasus dan persoalan semacam ini, tapi gelar profesor kehormatan terus saja ada di Indonesia, meski sudah jelas, profesor itu jabatan, bukan gelar!

Sepertinya, bila merujuk pada peraturan, nampak bahwa gelar profesor kehormatan itu, juga seperti sekadar akal-akalan pemerintah saja agar ada sosok yang bisa diagungkan di masa rezimnya agar disebut profesor dengan cara memberi gelar profesor kehormatan.

Agar tidak salah paham dan salah mengerti dan membikin rakyat bingung, sebenarnya profesor itu apa?

Dari literasi yang ada, juga sudah terpublikasi di berbagai media massa, pertama profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. Kedua, profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.

Selain itu, kata profesor berasal dari bahasa Latin yang maknanya seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar. Dalam bahasa Inggris: Professor, disingkat dengan prof, adalah seorang guru senior, dosen dan/atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi atau universitas.

Karenanya, di Indonesia, jabatan Profesor merupakan jabatan fungsional, bukan gelar akademis. Hal ini didukung oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Butir 3, yang menyebutkan bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Jika sebelumnya dosen dengan gelar akademis magister (S2), bahkan sarjana (S1) bisa menjadi guru besar/profesor, maka sejak tahun 2007 hanya mereka yang memiliki gelar akademik doktor saja yang bisa menjadi profesor. Hal ini disebabkan karena hanya profesor inilah yang memiliki kewenangan untuk membimbing calon doktor.

Untuk menggenggam jabatan profesor, seorang dosen wajib melalui tahap pencapaian angka kredit yang sudah ditentukan sesuai nilai kum yang diperoleh secara berjenjang dari jabatan fungsional akadamik Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala dan Profesor/guru besar (nilai kum minimal 850).

Selanjutnya, Dosen bersangkutan wajib melaksanakan tridarma perguruan tinggi, salah satunya adalah bidang penelitian dan membuat publikasi, terutama publikasi internasional bereputasi dan berdampak dari hasil-hasil penelitiannya.

Oleh karena itu, berdasarkan Permenpan 46 th 2013, pasal 26 ayat 3, syarat untuk mencapai jenjang Profesor/Guru Besar adalah memenuhi syarat: 1)  Ijazah Doktor (S3) atau yang sederajat; 2)  Paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor (S3); 3)  Karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi; dan 4)  Memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Tambahannya: 5) Dosen yang berprestasi luar biasa dan memenuhi persyaratan lainnya dapat diangkat ke jenjang jabatan akademis dua tingkat lebih tinggi atau loncat jabatan; 6) Dikecualikan paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c angka 2), apabila Dosen yang bersangkutan memiliki tambahan karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi setelah memperoleh gelar Doktor (S3) dan memenuhi persyaratan lainnya.

Sehingga, jabatan profesor hanya berlaku ketika yang bersangkutan berada di lingkungan akademik. Bila, yang bersangkutan mengundurkan diri (atau diberhentikan) dari kampus, maka tidak berhak lagi menyandang jabatan profesor. Dan, bila seorang profesor sudah memasuki usia pensiun, maka jabatan profesornya otomatis hilang.

Gelar profesor kehormatan?

Uniknya, meski jelas aturan dan syarat sesorang mendapatkan jabatan Profesor, tapi tetap saja ada pemaksaan Profesor menjadi gelar oleh pemerintah. Aneh tapi nyata.

Bila merujuk kepada kasus pembelaan Rektor UI yang rangkap jabatan, lalu dipersoalkan, tetapi malah kemudian dibela oleh Presiden dengan perubahan aturan, sepertinya, dulu, jabatan profesor sengaja dibikin oleh pemerintah agar pejabat atau pemimpinnya bisa disebut profesor, dan dibuatlah peraturan yang menghalalkan seseorang dianggap sah menyandang gelar profesor sejak tahun 2012.

Lihatlah sejarahnya. Pemberian gelar profesor kehormatan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi.

Dalam Permendikbud disebut bahwa seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi profesor/guru besar tidak tetap dengan syarat: Pasal 1 menyebutkan bahwa:
Ayat (1) Seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi. Ayat (2) Pengangkatan seseorang sebagai dosen tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh perguruan tinggi masing-masing setelah
mendapat persetujuan senat.

Masih dari Permendikbud tersebut, dalam Pasal 2 disebutkan: Menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai profesor/guru besar tidak tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 154/E/KP/2013 tentang Guru Besar Tidak Tetap. Pemberian gelar profesor kehormatan menurut surat itu untuk menghargai dan mengakui ilmu yang tumbuh di dalam lingkungan profesi, karier, atau masyarakat.

Hebatnya, surat tersebut juga menyebutkan bahwa: Seseorang yang dicalonkan menjadi guru besar tidak tetap bukan berasal dari kalangan akademisi. Mempunyai karya yang sifatnya "tacit knowledge" dan berpotensi dikembangkan menjadi "explicit knowledge" di perguruan tinggi serta berguna bagi kesejahteraan manusia, dan
diiajukan oleh perguruan tinggi setelah rapat senat perguruan tinggi kepada menteri dengan melampirkan karya-karya yang bersangkutan.

Luar biasa bukan? Bahkan hebatnya lagi aturan-aturan tersebut  juga mengatur seorang yang mendapat gelar profesor kehormatan atau guru besar tidak tetap juga tidak punya tuntutan untuk kerja penuh waktu dan tidak memiliki beban kerja dosen. Selain itu nantinya tidak ada batas pensiun. Wow.

Apakah ini berkah atau musibah bagi dunia akademik di Indonesia. Untuk meraih jabatan Profesor penuh dengan syarat yang wajib di perjuangkan. Setelah dapat jabatan Profesor harus tetap aktif dan hidup di dunia akademik, karena bila sudah tidak aktif dan meninggal, maka otomatis jabatan Profesor lenyap, tapi sesuai Permendikbud, gelar Profesor Kehormatan itu sepanjang masa.

Jadi, sebenarnya untuk apa gelar Profesor Kehornatan itu? Ada apa di baliknya? Coba di negeri ini siapa yang sudah dikasih gelar Profesor Kehormatan?

Miris ada Dr (c)

Sejak pandemi corona, berbagai kegiatan bergeser ke sistem digital. Begitu pun dunia pendidikan. Namun, sejak segala-galanya di buat dengan cara daring ,online, termasuk acara-acara seminar, rakyat jadi bertanya saat dipublikasi acara seminar, dalam publikasi melalui ruang virtual dengan berbagai aplikasi seminar atau konferensi mulai dari Zoom, Microsoft MT, Google Meet, Webex dan sejenisnya, nara sumbernya tercantum dilengkapi dengan gelar pendidikan yang dianggap aneh.

Yang menggekitik adalah ada nara sumber yang gelar di depannya di tempel Dr. (c) ...  atau Doktor Kandidat/Kandidat Doktor. Mengapa menggelitik?

Banyak pembicara dalam seminar daring di masa pandemi ini hadir dengan fenomena penggunaan gelar “Doktor Kandidat/Kandidat Doktor” yang tercantum dalam publikasi.

Malah banyak ditulis dengan pola yang tidak seragam. Ada yang menulis dengan Dr. (Cand), ada pula dengan menuliskannya dengan Dr (Cand), ada juga dengan Dr. (Can), ada juga yang ditulis Dr. (C), dan sebagainya.

Mengapa bisa begitu? Tidak seragam tetapi seolah sah dan terus saja ada yang menggunakan, sehingga gelar itu menjadi seperti main-main dan tak formal. Apa masalahnya?

Terhadap kasus gelar ini, faktanya Perguruan tinggi tidak pernah memberikan gelar akademik ini kepada mahasiswanya. Namun, anehnya, kini banyak berseliweran penggunaan gelar-gelaran ini sejak pandemi corona. Mirisnya, keanehan itu justru terjadi di institusi pendidikan tinggi yang seharusnya bisa menjaga marwahnya.

Sejatinya, sebelum pandemi penggunaan gelar-gelaran seperti ini sebenarnya sudah lazim terjadi di masa kampanye pemilu. Masyarakat dengan mudah menjumpai  para politisi yang menggunakan gelar-gelar akademik dalam iklan dan promosinya, namun tidak jelas institusi perguruan tinggi mana yang memberikannya.

Setali tiga uang,  dalam iklan-iklan pengobatan tradisional juga menampilkan gelar akademik para ahli yang dipromosikan, tetapi dari segi kompetensi sangat meragukan bahwa mereka mampu menyembuhkan segala macam penyakit.

Masih ingat kasus profesor yang telah menemukan cairan antibodi Covid-19 pada bulan April 2020? Saat itu,  klaim Hadi Pranoto menjadi berita di berbagai media massa. Tetapi, pada akhirnya terbukti jika Hadi Pranoto hanya beriklan.

Namun, untuk kasus penggunaan gelar Doktor Kandidat/Kandidat Doktor dalam iklan seminar daring, masyarakat wajib mengetahui bahwa, sesuai Pasal 4 ayat 1 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 178/U/2001 Tentang Gelar Dan Lulusan Perguruan Tinggi, dinyatakan bahwa yang berhak menggunakan gelar akademik adalah lulusan pendidikan akademik dari Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas. Dari pasal ini jelas bahwa gelar akademik hanya bisa diberikan setelah menempuh pendidikan, bukan ketika masih menempuh pendidikan.

Selain itu, pada Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa gelar diberikan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan semua persyaratan yang dibebankan dalam mengikuti suatu program studi dan dinyatakan lulus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Lebih parah, adanya penggunaan kata Candidate yang disingkat menjadi Cand/Can juga melanggar peraturan.  Pada ayat 2 dari pasal yang sama disebutkan bahwa gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia. Candidate adalah istilah dalam Bahasa Inggris, bukan Bahasa Indonesia.

Atas fenomena ini, semoga para panitia seminar dan juga para kandidat Doktor, saling mengingatkan, dan tidak menambah polemik akademis di Indonesia.

Atas kondisi yang saya bahas kali ini, semoga juga menjadi evaluasi dan refleksi khususnya bagi pemerintah, para akademisi menyoal hal-hal yang dengan mudah dipublikasi, namun materi publikasi tidak kuat, simpang-siur, bahkan banyak menyalahi aturan.

Lalu bila memang sudah menyalahi aturan, untuk membela dan berkelit; bukan potong kompas menerbitkan aturan baru, yang pasti juga akan menjadi polemik baru.

PPKM Darurat dikritik dan dihujat rakyat, tetapi dipertahankan hanya dengan ganti peraturan dan judul PPKM Level 4. Lalu, rangkap jabatan dipersoalkan karena menyalahi aturan, malah aturannya diubah untuk membela diri.

Jelas Profesor adalah jabatan dengan berbagai syarat, dibikin aturan agar ada orang yang bisa mendapat gelar Profesor Kehirmatan, meski tak menyentuh lingkungan akademik. Dan, ada pembiaran penempelan gelar Doktor (Dr.) yang belum boleh dicantumkan, tapi sudah dipakai untuk iklan dan publikasi dengan beragam model.

Di mana teladan-teladannya? Aturan mudah diubah-ubah, gelar akademik buat mainan?

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu