x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 20 Agustus 2021 16:15 WIB

Amendemen UUD, Agenda Siapa?

Mengapa elite politik bersikukuh melakukan amendemen di saat bangsa ini masih berusaha keras keluar dari pandemi? Mengubah kandungan fundamental konstitusi dalam situasi pandemi bukanlah langkah yang adil dan ksatria, karena rakyat kekurangan daya untuk menyatakan pendapatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aspirasi siapa yang dibawa Ketua MPR Bambang Soesatyo ketika menemui Presiden Jokowi dan menyampaikan rencana amendemen UUD? Benarkah fraksi-fraksi di MPR sudah sepakat untuk mengamendemen konstitusi dan, yang lebih penting, apakah ini merupakan aspirasi rakyat?

Rasanya bukan aspirasi rakyat. Ini agenda yang elitis dan tidak ada urgensinya. Agenda amendemen konstitusi ini lebih beraroma kepentingan elite politik dan ekonomi yang ingin mengukuhkan posisinya pada saat masyarakat sedang lemah. Kita sudah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional, sehingga terkesan bahwa isu Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) itu sekedar pintu masuk untuk membuka ruang yang lebih besar bagi perubahan pasal-pasal lain konstitusi. Nama yang dipakai bukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), barangkali untuk menghindari kesan asosiatif dengan Orde Baru, karena istilah GBHN dipakai pada masa Orde Baru. Tidak ada masalah kenegaraan yang memerlukan jawaban segera melalui amendemen konstitusi.

Wacana amendemen yang dilontarkan Bambang itu berpotensi jadi bola liar yang akan lari kemana-mana. Politisi mungkin tidak akan merasa cukup membicarakan PPHN saja, sebab jika pasal tentang wewenang MPR untuk menyusun PPHN ini dimasukkan, akan muncul pertanyaan: apabila Presiden tidak menjalankan PPHN, apa konsekuensinya? Bila tidak ada konsekuensi, lantas buat apa ada PPHN?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak ada jaminan bahwa para politisi akan berhenti pada isu PPHN. Mereka akan meneruskan pada isu-isi selanjutnya: bila Presiden harus melaporkan hasil kerjanya dalam menjalankan PPHN kepada MPR, berarti kedudukan MPR lebih tinggi daripada Presiden. Isu berikutnya: jika begitu, berarti Presiden harus dipilih oleh MPR.

Mereka akan melihat amendemen ini sebagai peluang besar untuk memasukkan agenda strategis yang menguatkan peran para elite politik-ekonomi, sementara peran rakyat berpotensi kian dilemahkan. Menyaksikan perilaku para politisi kita selama ini, tidak ada jaminan bahwa politisi akan membatasi ruang amendemen hanya pada PPHN. Begitu pintu amendemen dibuka, sukar untuk menghentikan mereka membicarakan segala macam soal. Bola amendemen akan jadi liar dan langkah mereka tidak akan terbendung karena suara rakyat akan diabaikan, sebagaimana telah terjadi selama ini dalam penyusunan omnibus law maupun revisi sejumlah undang-undang.

Di luar PPHN, setidaknya ada dua isu yang potensial terjadi jika gagasan amendemen ini jalan terus. Pertama, MPR akan mengambil alih kedaulatan rakyat dalam memilih Presiden. Tidak ada lagi pemilihan langsung Presiden oleh rakyat. Selanjutnya, secara praktik politik, Presiden sangat mungkin dipilih berdasarkan kesepakatan di antara segelintir elite politik-ekonomi. Kaum oligark memainkan peran dalam proses pemilihan ini, karena mereka berkepentingan untuk menentukan siapa yang menjadi presiden agar kepentingan mereka aman.

Kedua, masa jabatan presiden dan wakil presiden pun berpotensi untuk diubah, bukan lagi dibatasi hanya dua periode sebagaimana dikehendaki rakyat mengingat pengalaman buruk masa lalu, melainkan mungkin menjadi tiga periode atau bahkan lebih. Pembicaraan mengenai hal ini berpotensi mengembalikan kita kembali ke masa-masa Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto yang menjadi presiden puluhan tahun. Ini akan melanggengkan kekuasaan di tangan sedikit orang dan merusak tatanan demokrasi yang terus kita upayakan agar berjalan sehat.

Rencana amendemen itu bukanlah rencana yang bijaksana, melainkan hanya untuk memuaskan hasrat kuasa sebagian pihak dengan memanfaatkan masa pandemi. Saat perimbangan kekuatan di parlemen dan MPR masih timpang, dan masyarakat tengah kekurangan daya, maka amendemen hanya akan menjadi alat legitimasi bagi keinginan pihak yang lebih kuat. Sebagaimana sudah terjadi dalam penyusunan omnibus law, revisi UU KPK, Minerba, serta MK, di mana pemerintah bersama DPR mengabaikan aspirasi rakyat banyak, hal serupa berpotensi terjadi dalam isu amendemen konstitusi.

Mengapa sebagian pihak bersikukuh melakukan amendemen di saat bangsa ini masih berusaha keras keluar dari pandemi? Mengubah kandungan fundamental konstitusi dalam situasi pandemi bukanlah langkah yang adil dan ksatria, karena rakyat kekurangan daya untuk menyatakan pendapatnya. Rencana amendemen ini hanya akan memperkuat oligarki dengan memanfaatkan institusi negara dan menjadikan anggota DPR dan DPD sebagai kepanjangan tangan mereka. Ini bukan langkah ksatria. 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler