x

Iklan

Phiodias M

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 September 2021

Rabu, 29 September 2021 11:52 WIB

Gejala Apatisme Intelektual, Apa Kabar Para Cendekiawan? (Bagian 4)

Memverifikasi relasi dan implikasi antar ke-4 isu fundamental bangsa tersebut dapat dilihat dengan 2 pendekatan, yaitu dalam konteks relasi kausalitas dan 6 langkah pencermatan indikator dinamika relasi dan dampaknya. Terkait dengan efektivitas mekanisme peer review, benchmarking the best practices peradaban, kepatutan pencapaian, peran kerangka dan orientasi berpikir, kondisi pondasi pembangunan bangsa dan realitas keadaan bangsa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bab II Bagaimana Melihat 4 Isu Fundamental Bangsa 

Seperti disebutkan pada artikel Bagian 1  bahwa "apatisme intelektual" berimplikasi dominan atas tiga isu fundamental bangsa lainnya. Agar mudah dipahami, ke-4 isu itu sebaiknya dilihat dalam konteks relasi kausalitas biasa. Namun pertanyaannya isu manakah yang menjadi "sebab" dan mana pula yang menjadi "akibat". Atau agar menjadi lebih jelas lagi, isu manakah yang menjadi "subjek" dan mana pula yang menjadi "objek".

Untuk itu, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu bagaimana dinamika interaksi perkembangan peradaban yang terjadi dimana ke-4 isu itu terkait. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut dalil Ke-2 dalil peradaban, lihat Bagian 3 bahwa kecerdasan manusia berperan meningkatkan kapasitas peradaban mempunyai posisi sentral bagi kemajuan peradaban. Dalil tersebut berdasarkan pengamatan pada 3 hal perkembangan eksponensial peradaban, yaitu peningkatan pertumbuhan PDB dunia, jumlah jenis pekerjaan, kompleksitas invensi dan inovasi iptek dari sudut korelasi bidang-bidang disiplin iptek.

Atas dasar pemahaman dalil Ke-2 tersebut jelas bahwa "apatisme intelektual" berperan sebagai sebab atau subjek. Sedangkan isu "fase pembuktian" dan "predikat bangsa sebagai objek peradaban" berperan sebagai akibat atau objek.

Berdasarkan definisi, "fase pembuktian" terkait dengan kinerja pembangunan nasional selama sekurang-kurangnya 50 tahun terakhir. Kinerja tersebut merupakan objek pembangunan. Hasil pemikiran dan usaha segenap anak bangsa sebagai subjeknya.

Sama seperti penjelasan isu "fase pembuktian" di atas, isu "predikat bangsa sebagai objek peradaban" juga terkait dengan kinerja pembangunan nasional. Merupakan objek dari pemikiran dan usaha anak-anak negeri.

Sedangkan isu "apatisme intelektual" dan isu "estafet regenerasi bangsa" merupakan relasi kausalitas subjek dan objek. Isu yang pertama terkait dengan pelaku pembangunan saat ini. Isu kedua terkait pihak yang akan menerima pelimpahan tugas dan kewajiban dari pelaku saat ini.

Catatan: Fase pembuktian adalah suatu fase dimana proses pemvalidasian atas hasil pembangunan nasional yang telah dilakukan sekurang-kurangnya 50 tahun lalu sudah layak dilakukan. Validasi itu termasuk pada beberapa kerangka pemikiran atau konsep pembangunan juga slogan politik/pembangunan. Kedua produk hasil olah pikir itu berperan mengajak publik membayangkan apa yang akan terjadi ke depan. Kelayakan itu karena durasi proses pembangunan sudah dapat dikategorikan sebagai definisi "jatuh tempo". Sehingga perlu dilakukan proses review atas keberlanjutannya. Durasi "jatuh tempo" itu berdasarkan pada keberhasilan pencapaian transformasi Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan. Definisi itu akan dibahas pada Bagian 10.

Disamping aspek relasi kausalitas di atas, untuk memverifikasi dominannya implikasi isu "apatisme intelektual" atas ke-3 isu lainnya itu, dilakukannya pencermatan indikator dinamika relasi dan dampaknya. Dengan memperhatikan 6 hal berikut: 

a. Mencermati efektivitas mekanisme peer review setidaknya selama 43 tahun terakhir. Apakah ada keterkaitannya antara keadaan efektivitas mekanisme itu dengan senyapnya kritikan.

b. Melakukan benchmarking the best practices peradaban. Sesuai dengan dalil Ke-1 dalil peradaban, lihat Bagian 3 bahwa eksistensi dan perkembangan bangsa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika peradaban, baik dari sisi sejarah perkembangan peradaban maupun era kekinian. Benchmarking itu seharusnya dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengetahui objektivitas kondisi bangsa.

c. Memverifikasi kepatutan pencapaian bangsa dalam perspektif cita-cita proklamasi. Berdasarkan pada langkah butir b. di atas. Terutama 2 subjek yang termasuk bagian Bab II, menggunakan pendekatan ini. Yaitu 2.2 Fase Pembuktian dan 2.4 Pembangunan Nasional Selama 76 Tahun Merdeka. Masing-masing akan dibahas pada Bagian 10 dan Bagian 12.

d. Menguji kerangka dan orientasi berpikir aktivitas bangsa. Langkah ini fokus utama untuk membahas 2.2 Fase Pembuktian. Dibahas pada Bagian 10.

e. Menganalisa kondisi pondasi pembangunan bangsa. Ini salah satu pembelajaran penting ketika penulis mengamati 9 fase kebangkitan peradaban Barat/modern (Bagian 10).

f. Mengungkap realitas keadaan bangsa apa adanya termasuk menyadari eksisnya isu krusial. Menurut penulis, inilah sikap terbaik yang harus dilakukan para pemimpin generasi sekarang sebelum menyerah-terimakan tanggung jawab perjalanan bangsa kepada generasi penerus. Jika ada isu fundamental bangsa yang dianggap mengganggu tercapainya cita-cita proklamasi, setidak-tidaknya akan menjadi catatan serah terima tanggung jawab tersebut. Syukur-syukur pemimpin generasi sekarang sempat memformulasikannya. Kejelasan implementasi agenda pencerdasan bangsa dan pemikiran lebih eksisnya peran kaum intelektual bangsa dalam menyusun kebijakan negara adalah 2 isu fundamental bangsa yang layak menjadi subjek diskursus nasional di kalangan elit bangsa sebelum tuntasnya proses estafet regenerasi bangsa.

2.1 Situasi Apatisme Intelektual 

Terlebih dahulu, penulis perlu menyebut beberapa tokoh spritual/intelektual pelopor kebangkitan peradaban Barat/modern guna mengingatkan kita betapa besarnya kontribusi dan peran sentral para saintis bagi kemajuan peradaban yang kita rasakan saat ini. Mereka menjadi poros utama pendorong kemajuan perkembangan peradaban melalui kontribusi keilmuannya yang semakin mendekatkan peradaban pada realitas dan pemahaman makna ciptaan Ilahi melalui pengungkapan tabir dalil-dalil/hukum alam semesta. Peran itu semakin kokoh ketika terlewatinya fase krusial yakni konflik sudut pandang pemikiran saintifik antara saintis dan otoritas Abad Pertengahan. Konflik yang berakibat sejumlah korban berdasarkan vonis pengadilan inkuisisi dan terhambatnya pengembangan iptek itu, secara resmi berakhir ketika diskursus geosentris dan heliosentris itupun berakhir dan berujung pada surutnya kekuasaan politik Kepausan.

Mereka melaksanakan peran keilmiahan yang spektakuler itu dengan tiada henti-hentinya bahkan usaha itu dilalui melalui estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya bahkan lintas agama, bangsa dan budaya demi menumbuhkembangkan kemanfaatan sains bagi kemajuan peradaban. 

Beberapa nama tokoh itu diantaranya adalah Francesco Petrarch (humanisme); Martin Luther (reformasi Protestan); John Calvin (etika Protestan); Francis Bacon (empirisme); Nicolaus Copernicus Johannes Kepler, Galileo Galilei, (heliosentris); Robert Boyle (kimia modern); Emmanuel Kant (humanisme); Isaac Newton (hukum pergerakan); Michael Faraday (elektromagnetik); John Barber (turbin); Nicolaus Otto (4 stroke cycle engine); Joseph Marie Jacquard (proses data); Leon Foucault (gyroscope); Fukuzawa Yukichi (prosesor kecerdasan); Charles Dudley (profesionalisme).

Dengan menyebut tokoh-tokoh itu seharusnya kita akan semakin menyadari bahwa kunci kemajuan peradaban/bangsa terletak di pundak para ilmuwan dimana buah pemikirannya menjadi landasan kokoh keputusan politik yang dibuat para pemimpin agar menjadi keputusan yang legitimet. Artinya, kelak akan terbukti mendorong kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebaliknya, akan menjadi aneh jika ada kebijakan suatu bangsa yang mengenyampingkan, mengkerdilkan atau memilah-milah peran intelektualitas para sains sehingga terjadinya kemandegan kemajuan bangsa. Munculnya fenomena apatisme intelektual akibat kebijakan yang tidak berpihak pada kemajuan bangsa, itulah keanehan yang sedang kita hadapi. 

2.1.1 Definisi Apatisme Intelektual 

Agar memiliki pemahaman yang sama, penulis perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan apatisme intelektual itu. Adalah sikap rendahnya kepedulian atas berbagai isu fundamental bangsa dan rendahnya kesadaran akan tanggung jawab intelektualitas bangsa yang melekat pada dirinya yang diekspresikan oleh sekelompok besar komunitas akademis di tanah air saat ini. 

Dampaknya, semangat peer review bahkan kritik atas ketidakefektifan dan ketidakefisienan aktivitas bangsa, yang seharusnya mendarah daging di kalangan intelektual, menjadi tidak berjalan. Menyebabkan mandegnya diskursus rasionalitas nasional. Ironinya, dengan lepasnya genggaman otoritas perspektif keilmuan dari tangan mereka dan sepinya kritikan itu, otoritas penyelenggara pemerintahan menganggap semuanya berjalan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Kita mengalami krisis 1997/1998 yang maha dahsyat, 20 tahun setelah lahirnya NKK - sumber munculnya apatisme itu. Tragedi itu menjadi bukti lemahnya pembangunan pondasi bangsa, termasuk pembangunan jati diri bangsa dan ketatakelolaannya. Sulit untuk membantahnya bahwa itulah akibat lahirnya kualitas kebijakan yang memprihatinkan karena semakin menjauh dari kaidah-kaidah rasionalitas atau the best practices peradaban. 

Bagaimana tidak, krisis itu wajar saja terjadi dengan penjelasan fenomena sebab-akibat dalam konteks peran kesejarahan seperti dibahas pada bagian 2.1.2 di bawah ini. 

Definisi apatisme intelektual itu penulis rangkum berdasarkan kesaksian penulis atas keluarnya kebijakan NKK tahun 1978 yang membelenggu aspirasi rasionalistik kampus beserta pengamatan implikasinya selama 43 tahun belakangan ini. 

2.1.2 Peran Kesejarahan Intelektual dan Apatisme Intelektual 

Bahwa suka atau tidak suka, peran kodrati peradaban - sekurang-kurangnya sejak 7 abad lalu - telah menempatkan kelompok intelektual pada posisi peran terhormat dalam pengembangan elemen kecerdasan peradaban, yakni dalam lingkaran pusat/otak kecerdasan. Peran yang tidak tergantikan oleh kelompok lain manapun dari elemen peradaban. Dalam the best practices peradaban, kelompok intelektual ini menempati 5 wilayah tipe peran kecerdasan peradaban, yakni: pendidikan, riset, profesionalisme, ketenagaahlian dan prosesor kecerdasan bangsa. Penegasan posisi sentral kelompok ini pada sektor kecerdasan itu adalah buah dari perkembangan kematangan intelektualitas peradaban sejak tercapainya puncak kecerdasan peradaban pada akhir abad 19. Ketika dimasukinya era profesionalisme, disepakatinya suatu metodologi agar terjaganya kemanfaatan iptek. Sejauh ini, penulis belum menemukan suatu referensi bahwa ada kelompok elemen peradaban lain selain kaum intelektual yang mempunyai kapasitas yang patut dan layak menangani segala aspek teknis pada kelima wilayah itu.

Sejak kebangkitan peradaban Barat/modern peran dan kewajiban yang berdasarkan penalaran saintifik itu memperoleh legitimasi yang semakin kuat dengan munculnya realitas sekaligus pembuktian meningkatnya perkembangan rasionalitas peradaban dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan itu berdampak pada meningkatnya produktivitas, efektivitas dan efisiensi. Semakin meningkatnya nilai kemanfaatan pada perkembangan peradaban. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu juga menimbulkan sejumlah dialema atau komplikasi sosial dan lingkungan.

Karenanya bisa dimengerti, bila rendahnya performa suatu kelompok intelektual maka itu suatu pertanda tidak bekerjanya mekanisme check and balance keintelektualitasan berupa peer review atau kritik pada kelompok itu. Keadaan ini tentu akan berakibat fatal bagi kemajuan suatu bangsa. Keduanya - apatisme itu dan konsekuensinya - merupakan relasi sebab akibat yang sudah terbukti oleh sejarah. Seperti konflik para saintis dan otoritas politik Abad Pertengahan. Menurut penulis, itulah fenomena sebab-akibat yang memprihatinkan dan sedang terjadi pada perjalanan bangsa kita saat ini. 

Artikel yang akan datang: Gejala Apatisme Intelektual, Apa Kabar Para Cendekiawan? (Bagian 5) tentang - 2.1.3 Implikasi Apatisme Intelektual, a. Senyapnya Kritikan Rasionalistik, b. Tidak Berubah Predikat Bangsa, c. Lemahnya Pondasi dan Strategi Pembangunan Bangsa.

Baca juga: Gejala Apatisme Intelektual, Apa Kabar Para Cendekiawan? (Bagian 2)

 

Ikuti tulisan menarik Phiodias M lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler