x

ANTARA FOTO/M AGUNG RAJASA

Iklan

Ken Satryowibowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2021

Minggu, 10 Oktober 2021 06:59 WIB

Utang dan Jiwa-jiwa yang Terselamatkan

Mengendalikan pandemi, jelas-jelas tidak mudah. Juga tidak murah. Pada aspek pendanaan, butuh ribuan triliun. Sangat mahal. Namun, menyelamatkan nyawa warga negara adalah hukum tertinggi, tiada yang lebih mendesak dan penting kecuali hal itu. Apapun wajib ditempuh, termasuk kalau harus menarik utang dalam jumlah besar untuk membeli vaksin. Dan vaksinasi untuk menyelamatkan rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Covid-19 mendadak serasa lenyap di sekeliling kita, belakangan ini. Terbalik 180 derajat dengan situasi mencekam Juli silam. Kini, Oktober, rata-rata kasus baru turun drastis, di bawah 1.300 per hari. Bahkan sejumlah rumah sakit sudah nihil mengurus pasien Corona.

 

Apa variabel utama RI tergolong sukses mengendalikan wabah? Jelas, tidak ada variabel tunggal. Namun, jelas pula, vaksinasi yang masif adalah kunci. Indonesia dianggap cerdas soal ini. Bahkan dinilai sangat amat progresif banget urusan vaksinasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Betapa tidak! Saat negara lain masih denial soal wabah, pemerintah sudah duluan mengamankan 175 juta dosis vaksin, dan sekarang ini telah mengantongi 222 juta dosis. Ketika negara-negara tetangga masih bertengkar tentang cara paling paten menangani virus, pemerintah kita sudah jauh lebih maju dengan mengeksekusi strategi keseimbangan antara vaksinasi gratis yang gencar dan pemulihan ekonomi secara terukur.

 

Saat ini, pemerintah telah mampu mencapai rekor vaksinasi 2 juta suntikan per hari. Saya ulangi: 2 juta dosis terinjeksi ke tubuh warga negara dalam sehari. Baik itu dosis pertama, kedua, maupun ketiga.

 

Karenanya, tak heran—dan tentu membanggakan, Indonesia tercatat dalam jajaran 5 besar negara terbaik di dunia perihal pencapaian vaksinasi. RI menempati ranking kelima untuk suntikan dosis pertama, dan keenam untuk dosis kedua. Sampai sekarang, tak kurang dari 150 juta penduduk telah menerima dosis satu dan 60 juta warga dosis dua serta 1 juta tenaga Kesehatan untuk dosis 3 (booster).

 

Kendati demikian, tentunya, kita turut berduka mendalam terhadap seluruh keluarga korban meninggal (142 ribu orang) akibat terpapar Covid. Tapi, dalam duka yang teramat sangat itu, kita patut juga bersyukur: 4 juta lebih penduduk berhasil diselamatkan—sudah sembuh dan menuju pulih.

 

Penyelamat Generasi

 

Virus Corona, dengan segala variannya, tercatat sangat mematikan. Mengancam jiwa mereka yang terpapar. Tidak peduli Asia atau Eropa, lansia atau balita. Itu sebabnya, mengendalikan risiko fatal akibat wabah melanda, merupakan tugas kenegaraan, sekaligus kewajiban kemanusiaan.

 

Vaksinasi, pelacakan, tes, hingga dukungan total bagi tenaga kesehatan menjadi bagian dari komitmen kemanusiaan itu. Tanpa semua itu, pandemi ini betul-betul akan menjadi malapetaka nasional. Sebaliknya, melakukan segala cara untuk menanggulangi virus merupakan ikhtiar yang berstatus wajib demi menyelamatkan generasi mendatang.

 

Dan, ikhtiar maha penting itu, jelas-jelas tidak mudah. Juga tidak murah. Pada aspek pendanaan, butuh ribuan triliun. Sangat mahal. Sangat komplikatif. Apalagi ekonomi lagi susah. Dunia usaha tengah sempoyongan. Masyarakat terkunci. PHK dimana-mana. Pajak seret.

 

Lalu, dari mana uang untuk beli ratusan juta dosis vaksin itu?

 

Anda sudah tahu. Ya, langsung maupun tidak, dana itu didapat dari utang. Pula, Anda pun sudah hafal: saat pandemi, nominal dan rasio utang pemerintah meningkat tajam. Per Agustus lalu, nilainya sudah mencapai sekira Rp6.600 triliun dengan rasio 40,8% terhadap PDB Indonesia.

 

Sudah anggarannya dari utang, vaksinnya dibagi gratis pula. Apa tidak rugi? Negara tidak berbisnis, Bung. Tidak cari untung. Kalau sudah urusan menyelamatkan warganya, tidak ada urusan dengan rugi. Utang mudah dibayar, nyawa tidak bisa dibeli.

 

Terhadap situasi kritis diserang pagebluk, kata Menkeu Sri Mulyani, pemerintah memutuskan: what ever it takes—apapun akan dilakukan. Karena menyelamatkan nyawa warga negara adalah hukum tertinggi. Begitu pelajaran kita sewaktu di bangku SMA. Tiada yang lebih mendesak dan penting kecuali menyelamatkan jiwa. Apapun wajib ditempuh, termasuk kalau harus menarik utang dalam jumlah besar. Hanya mereka yang kurang penuh isi kepalanya yang menentang diktum itu.

 

Maka, bagi saya, utang dalam suasana pagebluk ini bukan hanya boleh, tapi wajib. Karena penerimaan negara tidak mencukupi, apapun harus dilakukan, termasuk berutang. Apalah artinya penambahan utang dibanding menyelamatkan 4 juta lebih jiwa yang terpapar Corona. Pun, apa artinya utang yang membesar dibanding ikhtiar menyelamatkan usaha kecil yang tengah menanti ajal.

 

Bahwa utang mesti dikelola hati-hati, itu jelas. Utang harus diukur dengan kemampuan bayar, itu pun niscaya. Toh, selama ini, pengelolaan utang telah dikerjakan secara transparan, kredibel, prudent, dan kalkulasi matang—pastinya tidak pakai kalkulator sayur.

 

Ada Undang-Undang yang terang-benderang mengaturnya, dan tidak bisa dilanggar oleh pemerintah atau siapapun. Ada juga pengawasan yang melekat dari segala penjuru, termasuk dari DPR dan civil society. Lebih-lebih, utang dipakai untuk memastikan sektor kesehatan bekerja prima dalam menghalau virus, warga miskin tertolong, dan UMKM tidak bangkrut.

 

Sehingga, terkadang, saya gemes bukan main: ingin meledek para tukang-tukang kritik utang yang awet bergentayangan di media sosial. Mereka paradoks: mencaci-maki utang, tapi menuntut agar vaksin digratiskan; mengecam utang pemerintah sambil antre vaksin gratis; mengajak orang benci utang, padahal otak mereka yang kecanduan benci itulah yang lebih pantas mereka cemaskan.

 

However, selalu saja saya urungkan niat meledek rupa-rupa lelucon songong itu, karena takut nambah dosa. Heuheuheu…..

 

Ikuti tulisan menarik Ken Satryowibowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler