x

Supartono JW

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 1 Desember 2021 21:38 WIB

Lucu-Lucuan Klasik Sepak Bola Nasional, Mau Prestasi, Tapi Instan

Inilah lucu-lucuan sepak bola Indonesia hingga terkini. Persoalannya klasik. Terus menjadi benang kusut. Mau memetik, tapi tak menanam, dan gratisan. MEMILUKAN. Pemimpin negeri pun mau prestasi timnas dengan instan, naturalisasi pemain. Tak percaya dengan anak bangsa dan rakyat sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gelaran Piala AFF 2020, tinggal menghitung hari. Namun, persoalan timnas hingga gunjingan tentang naturalisasi pemain terus bergulir setelah kondisi timnas semakin terbaca kekurangannya.

Setelah kehadiran Shin Tae-yong (STy), persoalan benang kusut sepak bola Indonesia, semakin kasat mata dan sangat mudah dicerna. Dengan terang-terangan, STy menyentuh penggawa semua level timnas Indonesia yang diasuhnya, dimulai dari genjotan fisik (speed) pemain. Dari genjotan speed pemain, masalah berikutnya pun ditemukan dengan sendirinya oleh STy, yang dalam beberapa kesempatan pemanggilan pemain timnas berbagai level, STy hanya dosodori pemain pilihan ala PSSI karena tidak ada kompetisi.

Publik pun ramai, karena PSSI plus, memanfaatkan situasi dengan memanggil pemain timnas di beberapa level sesuka pilihannya atau sesuai titipannya. Padahal, di mata publik, beberapa pemain yang disodorkan ke STy, jelas sudah tak lulus hanya sekadar mengisi kamar TC timnas, apalagi berjersey timnas, namun oleh media massa masih diberikan kesempatan namanya mejeng terpublikasi menjadi pemberitaan nasional. Mungkin, itu yang memang diharapkan oleh pihak berkepentingan. Tak lolos menjadi pilihan STy tidak apa, yang penting nama pemain mejeng di media massa dan dijadikan bukti telah dipanggil ke timnas Indonesia. Tapi dipanggil oleh PSSI plus, bukan STy.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atas kondisi ini, STy pun bergeming dan hanya memilih pemain yang cocok dengan standarnya. Sayang, meski STy hanya memilih pemain yang cocok dengan standarnya, persoalan berikutnya pun terkuak.

Awalnya STy melihat speed sebagai kelemahan mendasar pemain timnas Indonesia. Seiring waktu berjalan, setelah para pemain yang diasuh STy mengikuti TC, laga uji coba, hingga laga resmi, STy pun dihadapkan pada kenyataan yang memiriskan hati.

Pelatih sekelas STy, ternyata dihadapkan dengan para pemain level timnas Indonesia yang dianhgap terbaik di nusantara ini, tapi faktanya, para pemain sangat menonjol kelemahannya dalam hal teknik, yaitu dasar elementer bermain sepak bola: passing-control.

Fakta lemahnya teknik passing-control para pemain timnas Indonesia ini, bukan hanya dilihat langsung oleh STy, tapi publik sepak bola nasional juga menjadi saksi dari melempemnya teknik dasar pemain sekelas timnas baik dalam laga uji coba maupun laga resmi dalam tayangab langsung di televisi. Bahkan catatan statistiknya cukup memiriskan hati.

PSSI tak punya standar baku pemain

Kasihan STy, dibebani target prestasi oleh PSSI, tetapi PSSI sendiri tak pernah tahu kualitas teknik dan speed para pemain yang mereka sodorkan ke STy. Sudah begitu, PSSI juga tak pernah tahu kualitas Intelegensi dan Personaliti para pemain timnas yang dipanggilnya. Pasalnya, hingga saat ini, PSSI tak pernah memiliki acuan standar pemain timnas. Tak pernah lahir standar baku pemain timnas ala PSSI.

Padahal sekelas Sekolah Sepak Bola saja, sudah ada yang menggunakan rapor pemain dengan standar TIPS (Teknik, intelegensi, Personaliti, dan Speed) untuk siswa yang dibinanya.

Sepanjang sejarah PSSI, saya mencatat, siapa pun pelatih timnas yang didaulat mengampu timnas, semuanya memakai standar pemain sendiri-sendiri.

Jadi, bila STy dibebani target prestasi untuk timnas adalah kurang masuk akal, sebab masalah TIPS pemain timnas terkendala, padahal salah satu SSB di Indonesia saja sudah pakai rapor pemain dengan standar TIPS.

Karenanya tidak salah juga, bila ada pihak yang mengatakan bila sampai 40 tahun ke depan pun, timnas tak akan berprestasi, karena hadirnya STy sudah menguak kelemahan pemain timnas secara otomatis. STy merasakan langsung, melihat langsung, mengalami sendiri, betapa kusutnya persoalan pemain timnas Indonesia, karena PSSI tak pernah serius pada.pembinaan sepak bola akar rumput.

PSSI tak pernah punya standar pemain timnas. PSSI pun mungkin tak punya data nilai TIPS pemain yang.dipanggil ke timnas.

Seharusnya, setiap pemain yang dipanggil ke timnas, ada data rapor pemain. Dan, minimal standar pemain yang layak masuk timnas, memiliki nilai Teknik (90), Intelegensi (90), Personaliti (90), dan Speed (90). Mustahil, pemain yang tak lulus Intelegensi dan Personaliti dapat masuk timnas. Mustahil pemain tak lulus Teknik dan Speed masuk timnas. Tetapi, faktanya, kini STy menghadapi pemain timnas yang rapor TIPSnya tak standar.

Sty menyerah, minta pemain naturalisasi?

Fakta bahwa kini STy menghadapi pemain timnas yang sebagian besar rapor TIPSnya belum lulus, maka STy pun menyerah. Menyerahnya STy, diiringi dengan upaya, meminta PSSI menaturalisasi beberapa pemain yang menjadi pilihannya.

PSSI dan publik sepak bola nasional wajib memahami, bahwa tekanan agar STy memberikan prestasi timnas, namun STy sangat menyadari siapa lawan-lawan Garuda, meski sekadar di Asia Tenggara untuk level Piala AFF yang tak masuk kalender FIFA, dan STy juga sangat menyadari kekuatan dan kelemahan pasukan Garuda yang diasuhnya karena para pemain timnas sudah terukur nilai rapor TIPSnya, maka STy pun BERTERIAK, meminta PSSI menaturalisasi pemain yang diincarnya.

Terang saja keinginan STy ini pun langsung menjadi polemik klasik di Indonesia. Warganet dan netizen menggunjing. Ada pihak yang sedih dan tak setuju. Ada pihak yang mendukung. Pokoknya menjadi polemik klasik bak makanan khas nusantara Gado-Gado atau Ketoprak atau lontong sayur, dan lainnya.

Namun, yang semustinya wajib menjadi catatan oleh PSSI, mengapa STy sampai berteriak meminta naturalisasi pemain? Latar belakangnya dulu yang sewajibnya dianalisis dengan cerdas, karena skuat pilihan terbaik dari pemain lokal, ternyata raporya masih jauh dari standar TIPS yang sejatinya selama ini diabaikan oleh PSSI.

Kawah candradimuka sebagai pondasi lahirnya pemain timnas dengan rapor TIPS standar, sepak bola akar rumput, terus diabaikan dan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. PSSI duet dengan PT LIB hanya sibuk mengurus kompetisi Liga 1 dan 2 yang ada uangnya. Pun sibuk mengurus dirinya berada di PSSI sebagai batu loncatan dan kendaraan politik.

Lihatlah, dengan beban yang ada di pundak, sekadar turun di Piala AFF edisi ke-13, 5 Desember 2021, STy pun meminta PSSI memanggil pemain keturunan membela timnas, karena STy sangat sadar kekuatan sepak bola Asia Tenggara, dan kekuatan timnas yang diasuhnya.

Naturalisasi berbeda dengan keturunan= Sebenarnya, STy meminta PSSI menaturalisasi pemain atau meminta pemain keturunan bergabung dengan timnas? Inilah yang sampai saat ini salah kaprah diberitakan oleh media massa tanah air. Sebab, faktanya, STy meminta pemain keturunan, bukan pemain naturalisasi.

Lalu apa bedanya naturalisasi dan keturunan? Dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, kemlu.go.id, naturalisasi atau pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Yang dimaksud orang asing adalah orang yang bukan warga negara Republik Indonesia dan mengajukan diri kepada negara untuk memperoleh status kewarganegaraan baru.

Pemain naturalisasi wajib menjalani proses perubahan status kewarganegaraan dari warga negara asing menjadi warga negara Indonesia. Contoh pemain naturalisasi adalah Cristian Gonzales yang lahir dan besar di Uruguay tetapi kemudian pindah kewarganegaraan menjadi WNI.

Gonzales, bisa dinaturalisasi ketika sudah memenuhi syarat yang diminta di negara setempat, Indonesia, minimal telah berusia 18 tahun, dan sudah tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.

Selain memenuhi persyaratan usia dan masa tinggal, di Indonesia seorang pemain baru bisa dinaturalisasi apabila memenuhi persyaratan lain seperti sehat jasmani dan rohani, serta mengakui Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dan UUD 1945.

Di Indonesia seseorang baru bisa dinaturalisasi apabila tidak pernah dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman hukuman satu tahun atau lebih. Sekadar catatan, naturalisasi tidak membuat orang tersebut memiliki dua kewarganegaraan.

Sementara untuk pemain keturunan, yang kini diminta oleh STy adalah Sandy Walsh, Mees Hilgers, Jordi Amat, dan Kevin Diks. Keempat pemain keturunan belum bisa memperkuat Timnas Indonesia bila syaratnya belum terpenuhi.

Di antara syaratnya, mereka harus menunjukkan dokumen memiliki keturunan Indonesia. Namun lantaran Jordi Amat Cs tak pernah menetap lama di Indonesia, maka mesti menunjukkan bukti lain. Karena itu, PSSI tengah mendalami kemungkinan mereka membela skuat Merah Putih dengan mengumpulkan semua dokumen yang dibutuhkan untuk diajukan kepada FIFA.

Salah satu dokumen itu adalah bukti memiliki darah keturunan Warga Negara Indonesa (WNI). Harus punya hubungan dari nenek, kakek, ibu atau ayahnya. Tanpa ada dasar itu, FIFA akan menolak. Berbeda dengan naturalisasi pemain bukan keturunan, bila dokumen lengkap, proses naturalisasi pemain keturunan akan cepat.

Setelah semuanya lengkap, PSSI akan melanjutkan proses berikutnya yaitu mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), setelah itu ke Presiden dan DPR.

Cara instan ditempuh, pembinaan ditelantarkan, EPA lucu, Piala Soeratin menyedihkan, mau memetik tapi tak menanam= Luar biasa, demi menggapai prestasi timnas, kini PSSI dan pemerintah berduet menempuh jalan instan dengan menarik pemain keturunan yang sudah dibina di negara lain. Apa namanya bila bukan mau memetik, tapi tak menanam?

STy pun sama. Mau prestasi tapi dengan cara instan. Teriak minta pemain keturunan dinaturalisasi, agar skuat yang diampunya kuat. Salah kaprah.

Sampai kapan pembinaan sepak bola akar rumput ditelantarkan. Ada kompetisi Elite Pro Academi (EPA) Liga 1, banyak klub Liga 1 yang tinggal comot pemain dari SSB tanpa membina dan mengeluarkan biaya.

PSSI menggelar Piala Soeratin U13, U15, U17, coba lihat ke Askot, Askab, Asprov, hingga klub Liga 3, semua tim dibentuk dengan instan. Comot pemain dari sana-sini. Meski ada Askot di Republik ini yang kukuh menggelar Piala Soeratin U13 dan U15 dengan syarat pemain harus asli domisili, berKartu Keluarga di Kota bersangkutan. Lucu sekali. Begitu di tingkat Aspov, yang masuk final justru tim yang diperkuat pemain dari kota dan provinsi lain bukan dari Kota dan Provinsi bersangkutan.

Semua event itu, ternyata hanya digelar dengan sistem turnamen/festival seperti festival ala SSB. Padahal ada operator swasta yang justru memutar kompetisi sepak bola akar rumput yang benar, pun dengan regulasi ketat.

Inilah lucu-lucuan sepak bola Indonesia hingga terkini. Persoalannya klasik. Terus menjadi benang kusut. Mau memetik, tapi tak menanam, dan gratisan. MEMILUKAN. Pemimpin negeri pun mau prestasi timnas dengan instan, naturalisasi pemain. Tak percaya dengan anak bangsa dan rakyat sendiri.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler