x

KRI Teuku Umar adalah kapal perang jenis korvet kelas Parchim yang didesain untuk peperangan anti kapal selam di perairan dangkal/pantai. Kapal ini bisa menampung 20 hingga 59 orang anak buah kapal ini dan menjadi salah satu kapal patroli TNI AL di Laut Natuna. ANTARA/M Risyal Hidayat

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 13 Desember 2021 10:57 WIB

China Klaim Perairan Natuna, Indonesia Meradang (oleh: Mas Husni)

Pemerintah China mengirimkan surat protes diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk menghentikan pengeboran migas di ZEE Indonesia di Perairan Natuna Utara, serta pelatihan militer di Wilayah tersebut. China mengklaim wilayah tersebut adalah teritori mereka. Tapi Indonesia tidak menggubris. Eksplorasi di laut Natuna sudah selesai akhir November lalu. Pasukan keamanan dari Bakamla dan TNI AL juga dikerahkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mas Husni, Pemerhati Laut China Selatan dari Harmoni Nusantara Institut.

 KABUPATEN Natuna, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Natuna merupakan kepulauan paling utara di selat Karimata. Di sebelah utara, Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja, di selatan berbatasan dengan Sumatra Selatan dan Jambi, di bagian barat dengan Singapura, Malaysia, Riau dan di bagian timur dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat. Natuna berada pada jalur pelayaran internasional Hong Kong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil minyak dan gas. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 1. 400.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680.000. barel. Hewan khas Natuna adalah kekah. (Wikipedia).

Pulau-pulau di Laut Natuna bukan batu karang dan dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri. Oleh karena itu, pulau-pulau di Laut Natuna berhak atas Laut teritorial (maksimum 12 mil-laut); Zona tambahan (maksimum 24 mil-laut); 3. Zona Ekonomi Eksklusif (maksimum 200 mil-laut); dan Landas kontinen (maksimum 350 mil-laut/ 100 mil dari isobath 2.500 meter).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak dahulu, perairan Natuna telah menjadi jalur perdagangan antar negara yang strategis. Pada April 2015, lima artefak kapal dari abad ke-10 hingga ke-19 Masehi ditemukan di wilayah perairan Natuna. Temuan tersebut menguatkan pemahaman bahwa Natuna merupakan titik penting dalam jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan China dengan kawasan Asia Tenggara.

Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan. Karena bentangan wilayah yang luas ini, dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara terdekat, dewasa ini, beberapa negara, seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim, atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Indonesia, yang bukan negara pengklaim, menjadi terlibat setelah klaim mutlak RRC atas perairan Laut China Selatan muncul pada tahun 2012. ( Fransisco Rosarian dan Aseanty Pahlevi.”Diklaim China, Natuna Dikawal TNI,” KoranTempo, 30 Januari 2013: A7).

Wilayah sengketa Perairan Natuna

Nilai Ekonomi Blok Migas Natuna Timur

Dikutip petroenergy, Blok NT menyimpan cadangan gas bruto sekitar 222 triliun kaki kubik (triliun cubic feet, TCF). Dengan kandungan karbon dioksida sekitar 72 persen, maka cadangan gas bersih Blok NT sekitar 46 TCF. Blok NT juga menyimpan cadangan minyak sekitar 500 juta barel.

Secara ekonomi, jika diasumsikan harga gas adalah US$ 10 per MMBTU (million/juta British thermal unit), harga minyak US$ 75 per barel dan nilai tukar US$/Rp = 14.300, maka nilai ekonomi bruto gas Blok NT adalah: 46.000.000 MMCF x 1000/MMCF x $10 x 14.300 = Rp 6.576, 67 triliun. Sedangkan nilai bruto minyak: 500 juta x 75 x 14.300 = Rp 536,25 triliun. Sehingga nilai bruto migas Blok NT adalah: (6.576, 67 + 536,25) = Rp 7.112,91 triliun.

Dengan laju ekstraksi terkendali rata-rata 2000 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day, atau Juta Standar Kaki Kubik per Hari), dan dialokasikan seluruhnya untuk kebutuhan domestik, maka Blok NT mampu memenuhi kebutuhan gas nasional antara 40-60 tahun. Melihat nilai ekonomi dan manfaat besar bagi energi nasional, sangat pantas jika pemerintah berupaya maksimal mempertahan serta segera mengembangkan Blok NT.

Sebenarnya kontrak eksplorasi Blok NT telah ditandatangani dengan Exxon Mobil pada 1980. Namun karena tidak tercapainya kesepakatan bagi hasil dan berbagai variabel kerja sama, terutama karena besarnya biaya pemisahan CO2 dan lokasi yang jauh dari konsumen, kontrak gagal berlanjut ke pengembangan. Kerja sama dengan Exxon Mobil berakhir 2006.

Blok NT harusnya dikembangkan tidak hanya berdasar analisis aspek ekonomi-keuangan, untung rugi (cost-benefit analysis, CBA) seperti berlaku umum. Tetapi harus pula memperhitungkan aspek-aspek lain seperti sosial-politik, lingkungan, keberlanjutan, hankam dan geo-politik. Sehingga keputusan pengembangan diambil setelah melalui analisis multi-kriteria (multi-criteria decision analysis, MCDA) terhadap seluruh aspek terkait.

Guna mengatasi kendala tekno-ekonomi (CO2 tinggi dan lapangan remote), maka pengembangan Blok NT perlu menerapkan skema kontrak dan bagi hasil khusus, keringanan bea masuk dan tax holiday. Selain itu, guna memenuhi  prinsip pengelolaan SDA berkelanjutan dan berkeadilan antar-generasi, maka perlu pula diterapkan pola dana migas (petroleum funds, PF), terutama agar proyek layak dikembangkan.

Pengembangan Blok NT sangat relevan dan mendesak pula memperhatikan aspek hankam dan geo-politik kawasan Asia-Pasifik. Agresifitas China di perairan Natuna, termasuk target mencaplok Blok NT harus ditangkal. Salah satu cara, melalui kerja sama pengembangan Blok NT dengan perusahaan migas Eropa dan/atau Amerika. Kerja sama harus tetap berpegang pada prinsip kesetaraan dan politik luar negeri bebas-aktif. Seluruh anak bangsa harus berjuang mempertahankan Blok NT dan kedaulatan NKRI, termasuk melawan para oknum pejabat dan oligarki yang bekerja menjadi “pemain pengganti”, proxy, bagi China.

Isu Laut China Selatan (LCS) dan klaim sepihak China memang tak hanya menjadi isu dengan Indonesia. China sempat diseret oleh Filipina ke pengadilan arbitrase internasional akibat klaim Laut China Selatan. Pada 2016, kasus itu dimenangkan oleh Filipina dan menegaskan China tak berhak mengklaim sumber daya Laut China Selatan berdasarkan konsep Sembilan Garis Putus. Aktivitas klaim teritorial China di LCS kian agresif semenjak Xi Jinping memimpin China pada 2012. Ini bentuk arogansi dan kelanjutan proyeksi unjuk kekuatan China dalam konteks klaim teritorial di LCS.

Manuver China tak terlepas dari ambisi negara itu mengklaim sebagian Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah tangkap tradisional mereka. Klaim itu dinyatakan China dengan mengumumkan zona sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang mencakup sebagian besar Laut China Selatan yang kaya energi. Konsep itu tak diakui Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Pemerintah China mengklaim perairan Natuna yang masuk wilayah Laut China Selatan adalah nine dash line, merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam UNCLOS, telah ditetapkan batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) setiap negara yang kaitannya dengan hak melakukan eksploitasi dan kebijakan lain di wilayah perairannya sesuai hukum laut internasional.

Sengketa kepemilikan atau kedaulatan teritorial di Laut China Selatan sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly. Dalam kedua gugusan kepulauan tersebut terdapat pulau yang tidak berpenghuni, atol, atau karang. Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947, Pemerintah RRC mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan.

Keterangan Pemerintah RRC itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa Pemerintah RRC tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940. Pemerintah Vietnam kemudian menyatakan bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka, bukan wilayah RRC, sejak abad ke-17, dan mereka memiliki dokumen sebagai bukti. Filipina juga memiliki klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut. (DPR, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan).

Klaim Sepihak China Atas Natuna

Klaim China yang dituangkan dalam peta sembilan garis putus-putus telah digugurkan oleh Pengadilan Arbitrase di Belanda, 12 Juli 2016, sebab tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Namun, China  mengabaikannya dan terus melanjutkan pembangunan di seluruh wilayah itu. China menampik putusan pengadilan internasional tentang klaim 9 Garis Putus-putus di Laut China Selatan sebagai batas teritorial laut China tidak mempunyai dasar historis.

Kisruh soal Laut Natuna Utara sudah berlangsung lama. Klaim sepihak, “unilateral claim”, China menyatakan wilayah tersebut sebagai “traditional fishing ground”. Hal ini diwujudkan dalam teritori “Nine Dashed Line” (sembilan garis putus-putus) yang mencaplok sekitar 83.000 km2 wilayah yurisdiksi Indonesia (30% luas perairan Natuna), termasuk Blok NT. Klaim sepihak ini membuat China berseteru juga dengan Filipina, Malaysia dan Vietnam.

Sebagaimana dilansir Kompas, China mengklaim wilayah tersebut berdasarkan fakta sejarah sejak era Dinasti Han pada tahun 110 Sebelum Masehi. Pada era itu, dilakukan ekspedisi laut ke Kepulauan Spratly dan para nelayan serta pedagang China sudah bekerja dan menetap di wilayah tersebut. Klaim Tiongkok ini diperkuat dengan mengeluarkan peta sembilan garis putus pada tahun 1947 dan Mei 2009.

Klaim sembilan garis putus- putus China berdampak hilangnya perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km2 atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Luas laut negara-negara lain, seperti Filipina dan Malaysia, berkurang 80 persen, Vietnam 50 persen, dan Brunei 90 persen. Selain menggunakan dasar nine dashed line, China juga mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan China. Ini mengacu pada batas wilayah China sejak zaman Dinasti Ming.

Selain itu, dalam sengketa China negara negara-negara ASEAN, diputuskan dalam South China Sea Tribunal 2016 menyatakan bahwa China tak memiliki hak atas Laut China Selatan. Soal Natuna, putusan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang tertuang dalam UNCLOS 1982 memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE).

Indonesia juga menegaskan menolak klaim sepihak yang dilontarkan China terkait Sembilan Garis Putus (Nine Dashed Line) yang digunakan China sebagai pembenaran. Berdasarkan peta Nine Dashed Line, terlihat bahwa klaim China mencakup 90% atau hampir seluruh wilayah perairan Laut China Selatan.

Upaya penamaan Laut Natuna Utara juga dilakukan Indonesia setelah adanya temuan fakta dari Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag-Belanda pada 2016, terkait perselisihan Laut China Selatan antara Filipina dan China. Pengadilan Arbitrase menyimpulkan, bahwa klaim sepihak dari Tiongkok berdasarkan pada konsep nine-dashed line itu sama sekali tidak memiliki dasar hukum atau historis.

Belakangan, isu seputar klaim China atas teritorial perairan Laut China Selatan ini mengemuka kembali di Indonesia. Ini terjadi setelah kapal pencari ikan dan coast guard milik China berlayar masuk di kawasan perairan Natuna, yang berdasarkan UNCLOS 1982 termasuk kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

China, Ancaman Bukan Sahabat

Bahkan, Pemerhati Politik dan Kebangsaan, M Rizal Fadillah menilai, ancaman China kepada Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak di Blok Tuna ZEE perairan Natuna Utara harus dianggap serius. Klaim China atas Dashed Nine Laut China Selatan jelas bertentangan dengan Hukum Laut Internasional.

Protes China ini kelanjutan dari penggantian nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Kapal Coast Guard China beberapa kali mengitari area pengeboran dan memasuki ZEE perairan Indonesia. “Indonesia tak mampu mengusir kapal-kapal China sehingga wajar jika dipertanyakan kemampuan armada laut Indonesia untuk menjaga kedaulatan negara. Menlu dan Menhan bungkam atas nota protes ancaman China tersebut,” ujarnya.

Pasang badan atas kritikan rakyat soal persahabatan dengan China tidak berbuah. China memang licik dan berbahaya. Di samping ancaman soal eksplorasi migas RI di Natuna Utara tersebut, China juga mempermasalahkan Latihan Bersama TNI AD dengan US Army bulan Agustus 2O21 dahulu. 4500 Tentara AS dan Indonesia terlihat dalam latihan rutin “Garuda Shield” yang diadakan sejak tahun 2009 tersebut. China gelisah dan uring-uringan. China mulai menunjukkan sikap tegas.

China dapat merangsek ke Papua. Ungkapan Presiden sementara Gerakan Persatuan Kemerdekaan Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda bahwa Partai Komunis China mendukung kemerdekaan Papua Barat membutuhkan kewaspadaan.

China sangat berkepentingan dengan wilayah vital Laut Cina Selatan ini. Pangkalan militer bisa didirikan di Papua. Wajar jika China akan mendorong referendum untuk lepasnya Papua dari Indonesia.

“Lembeknya TNI atau Densus 88 menghadapi gerakan teroris dan separatis KKB Papua menunjukkan kecutnya Indonesia menghadapi ancaman asing, China di antaranya. Tantangan pemberontak malah disikapi persahabatan dan rangkulan Dudung. Ingin bersahabat atau takut? Tipis tipis saja bedanya. Kepada umat Islam galak sekali bapak Dudung ini. Densus juga sama,” bebernya.

China, sebut Rizal, adalah ancaman bukan sahabat. Pemerintahan Jokowi jangan terbuai dengan investasi dan hutang luar negeri. China itu licik dan penjebak. Natuna dan Papua adalah pintu masuk tentara. Tenaga kerja susupan adalah sumber daya manusia yang disiapkan. Program Belt Road Initiative (BRI) adalah cetak biru atau road map.

Lalu pengusaha hitam negeri menjadi kolaborator dan agency kepentingan atas negeri leluhur. Ekonomi yang terkuasai dari hulu ke hilir. “Nota protes dan ancaman atas pengeboran minyak Natuna Utara adalah fenomena semakin bahayanya intervensi China. Indonesia harus bersiap untuk menghadapinya,” pungkasnya.

Dalam beberapa hari terakhir tensi antara pemerintah Indonesia dengan China menghangat. Pasalnya, patroli keamanan laut China diketahui memasuki perairan Natuna yang merupakan ZEE Indonesia. Negeri Tirai Bambu mengklaim wilayah tersebut sebagai teritori mereka. China merasa berhak atas Natuna, yang membuat Indonesia meradang. Klaim China di Laut China Selatan yang bersentuhan dengan wilayah kedaulatan Indonesia tentunya mempengaruhi keamanan nasional. Bila tidak ada penyelesaian yang komprehensif, maka konflik akan terus terjadi. Konflik-konflik ini akan terus tereskalasi dan bisa saja berujung pada konfrontasi fisik alias perang.

Kedaulatan Negara Jadi Prioritas

Belakangan, Pemerintah China mengirimkan surat protes diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas (migas) di ZEE Indonesia di Perairan Natuna Utara, serta pelatihan militer di Wilayah tersebut. China mengklaim wilayah tersebut adalah teritori mereka. Hal itu karena dianggap Perairan Natuna Utara adalah wilayahnya berdasarkan klaim sepihak dashed nine. Selain itu China juga sempat memprotes latihan militer TNI Amerika Garuda Shield yang berlangsung Agustus lalu di Sumatera Selatan. Protes China ini pertama dilaporkan kantor berita Reuters mengutip empat sumber terkait isu Laut China selatan ini.

Meski ada permintaan dari China, Indonesia tidak menggubris, bahkan hingga eksplorasi di laut Natuna sudah selesai akhir November lalu. Pasukan keamanan dari Bakamla dan TNI AL juga dikerahkan tiap adanya eksplorasi. Kejadian ini tidak terjadi sekali. Tahun 2016 lalu, terjadi konflik antara Indonesia dengan China atas Natuna. Demikian pula tahun 2020 lalu.

Pada artikel CNN International, pakar maritim menilai China mengadopsi taktik yang lebih agresif. Ini dikhawatirkan memicu gesekan baru dengan Indonesia dan Malaysia.  (Pulau-pulau) itu menyediakan pangkalan depan untuk kapal-kapal China, ini secara efektif menjadikan Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara garis depan," ujar Greg Polling, direktur Asia Maritime Transparency Institute (AMTI).

Reuters, seperti dikutip Tempo, memberitakan bahwa pemerintah Cina mengatakan kepada Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara yang Cina klaim bagian wilayah Sembilan Garis Putus-putus atau Nine Dashed Line di Laut Cina Selatan masih masuk sebagai bagian wilayah mereka.

Kejadian ini bukan kali pertama. Riak konflik terjadi pada tahun 2016 lalu antara Indonesia dengan China atas Natuna. Hal serupa terjadi tahun 2020. Lantas, mengapa China begitu agresif mengklaim Natuna sebagai wilayahnya.

Kementerian Luar Negeri mengaku tidak bisa berkomentar ihwal pemberitaan yang menyebutkan adanya protes dari pemerintah Cina kepada pemerintah Indonesia. Permintaan Cina belum pernah terjadi sebelumnya dan pemerintah Indonesia tampaknya sengaja tidak mempublikasikannya ke media karena melihat Cina sebagai mitra dagang terbesar RI.

Sejauh ini, memang jelas terlihat bahwa Indonesia masih sangat menghindari konfrontasi secara fisik dengan China. Walaupun Indonesia telah melayangkan protes keras perihal invasi kapal-kapal asal China di perairan Natuna, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mendinginkan suasana dengan menyebut bahwa China tetaplah merupakan negara sahabat.

Untuk saat ini di wilayah perairan Natuna ada beberapa perusahaan minyak dan gas yang sedang melakukan kegiatan eksplorasi dengan sistem Production Sharing Contract (PSC). Dan, dari beberapa data yang ada, maka diyakini wilayah perairan Natuna tepatnya di Natuna Timur, memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat besar.

"Dari data yang ada wilayah Blok Natuna Timur yang dahulu dikenal dengan Blok Natuna D-Alpha, Blok tersebut diperkirakan memiliki cadangan gas sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan gas terbukti (proven gas reserves) sebesar 46 tcf. Blok Natuna Timur juga menyimpan cadangan minyak sekitar 500 juta barel," papar Pengamat Maritim Indonesia dari Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI),  Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar.

Jumlah cadangan gas sebesar itu lanjut Capt. Hakeng mampu memenuhi kebutuhan gas nasional selama 40-60 tahun. "Dengan besarnya cadangan gas dan minyak tersebut maka sangat besar manfaatnya bagi kedaulatan serta ketahanan energi nasional. Karena itu sudah sepantasnya apabila pemerintah berusaha maksimal untuk mempertahankan dan secepatnya mengembangkan Blok Natuna Timur," ucapnya.

Ketegasan Pemerintah Indonesia juga perlu dilakukan untuk menjaga kewibawaan sebagai negara berdaulat dan menjaga ketahanan pangan dan energi nasional. Mengingat perairan Natuna selain kaya akan Migas, juga kaya akan sumber daya alamnya diantaranya sumber daya perikanan. Karena itu kehadiran coast guard di wilayah perairan Natuna secara konsisten sangat diperlukan. Sayangnya sampai saat ini, Coast Guard Indonesia masih belum terbentuk. "Kehadiran coast guard, TNI AL, Kepolisian Republik Indonesia di perairan Natuna akan menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menjaga teritorialnya," ujar Capt. Hakeng.

Capt. Hakeng juga kembali mengingatkan bahwa dalam menjaga kedaulatan negara ini, sebaiknya memaksimalkan peran para nelayan serta para pelaut Indonesia. Keterlibatan mereka sangat dibutuhkan sebagai informan ketika ada kapal asing atau nelayan asing yang memasuki wilayah Indonesia. Negara-Negara Lain seperti China sendiri pun melakukan pola ini dalam menjaga kedaulatan negaranya.

"Perairan Indonesia itu sangat luas. Para nelayan dan Pelaut Indonesia semestinya dapat dijadikan sebagai "Agen Bangsa" untuk ikut  mengawasi 2/3 wilayah Indonesia ini. Mereka bisa menjadi mata serta telinga demi memastikan kedaulatan negara Indonesia tetap terjaga," katanya.

Disisi lain, sikap agresif Cina mengklaim wilayah di laut Natuna Utara sebagai wilayah kedaulatannya yang bersumber dari klaim tradisional dikecam Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan tidak berdasar. Menurutnya, Cina tidak pernah berubah dan kerap kali menunjukkan sikap ekspansifnya di wilayah kedaulatan banyak negara. Atas sikap Cina ini, Indonesia harus mengambil sikap tegas dengan menolak semua klaim Cina itu.

“Saya meminta pemerintah untuk bersikap lebih tegas dan menolak semua klaim Cina itu. Kita tidak boleh berdiam diri atas sikap agresif Cina yang kian terlihat. Saya juga sangat menyayangkan Pemerintah Cina yang tidak pernah konsisten dengan perkataan dan tindakannya untuk tidak mengakui wilayah yurisdiksi Indonesia. Karena itu, tidak ada yang dapat dipegang dari semua ungkapan diplomatik Cina selama ini,” tegas Syarief Hasan, Ahad (5/12).

Dia berpandangan bahwa wilayah di Laut Natuna Utara adalah zona eksklusif Indonesia yang kedaulatannya mutlak bagian dari NKRI. Termasuk dalam hal melakukan eksploitasi sumber daya migas yang ada. Tidak ada satu negara pun yang berhak melarang, apalagi mengklaim wilayah ini. Terlebih bagi Cina yang mendasarkannya pada klaim imajinatif, klaim yang tidak dasar sama sekali dalam hukum internasional. Menurutnya, sikap Cina ini berbahaya karena bisa saja klaim-klaimnya di masa depan melebar dari yang akhir-akhir ini disampaikannya.

“Ini tentu menjadi catatan penting atas relasi diplomatik Indonesia dan Cina. Benar bahwa Cina adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, tetapi jangan lupa posisi Indonesia sangatlah penting dan strategis bagi Cina terutama pasokan bahan baku dan komoditas. Indonesia juga adalah pasar yang besar bagi China. Jadi tidak ada alasan untuk kita tunduk dan melempem dari tindakan Cina yang semakin melampaui batas ini,” ujar politisi senior Partai Demokrat ini.

Syarief mengatakan, satu-satunya langkah paling mungkin menghadapi agresifitas Cina ini adalah memperkuat kapasitas militer, terutama di wilayah yang juga diklaim oleh Cina. Kekuatan Badan Keamanan laut (Bakamla), TNI AL, Pol Air, dan segenap komponen pertahanan lainnya harus dikerahkan secara optimal agar Cina  tidak semakin semena-mena dengan Indonesia. Pemerintah jangan hanya berhenti pada retorika diplomatik, namun nyata menunjukkan kesiapan militer Indonesia menghadapi kemungkinan terburuk.

“Tidak sekali ini saja Cina menunjukkan inkonsistensinya. Saya khawatir Cina juga sudah punya rencana tertentu untuk menegaskan klaimnya di wilayah absah di banyak negara, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, tidak ada langkah lain kecuali mempersiapkan kekuatan militer secara penuh untuk menolak semua klaim Cina itu. Indonesia harus tegas dan nyata bersiap-siap,” tandas Syarief.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, meminta prajuritnya untuk menunjukkan kekuatan yang menggetarkan lawan maupun kawan dan pihak yang merongrong kedaulatan dan mengganggu kepentingan negara di laut Indonesia. Pasukan keamanan dari Bakamla dan TNI AL juga dikerahkan tiap adanya eksplorasi.

Kasal menegaskan TNI AL tidak akan mundur sedikit pun dalam mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah sebabnya Yudo meminta prajurit TNI AL menunjukkan kekuatan yang menggetarkan kawan maupun lawan, terutama pihak yang ingin merongrong kedaulatan laut Indonesia.

“Tidak ada tawar menawar menyangkut kedaulatan dan kehormatan bangsa. Bahkan bila perlu nyawa taruhannya. sebagai prajurit Armada RI harus siap setiap saat dalam menjalankan amanat rakyat untuk menjaga lautan Nusantara,” demikian disampaikan Yudo di Upacara Hari Armada RI Tahun 2021 di Dermaga Ujung Koarmada ll Surabaya (6/12),

Ia pun mengutip pernyataan Presiden Pertama Bung Karno yang mengatakan bangsa Indonesia tak bisa jadi bangsa dan negara yang kuat jika tidak bisa menguasai samudera. Untuk itu menurut Yudo Armada RI harus dilengkapi dengan kapal perang yang mumpuni dan modern. Meski hal itu membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Yudo juga meminta prajuritnya mencintai dan merawat kapal perang serta berlatih. “Buktikan kepada rakyat Indonesia bahwa kalian layak menyandang predikat sebagai kesatria perkasa di tengah Samudera,” ujar Yudo.

Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi mendukung penuh pernyataan KSAL terkait TNI AL tidak akan mundur lantaran tak ada tawar menawar terkait urusan yang menyangkut kedaulatan dan kehormatan bangsa. “Saya meminta kedaulatan negara menjadi prioritas utama Negara untuk dilindungi dari gangguan asing,” kata Fachrul kepada para wartawan, Kamis (9/12).

Fachrul menekankan kedaulatan bangsa di atas segala-galanya oleh karena itu tidak boleh ada bangsa lain yang ingin menghina kedaulatan republik kita. “Kedaulatan Negara Di atas Segalanya. TNI-AL telah memiliki image dan kesan yang kuat serta terus berkembang baik. Kualitas personel, persenjataan dan alutsista, serta kesejahteraan dan kuantitas personel TNI-AL telah menunjukkan, Indonesia memiliki kapabilitas yang hebat di bidang militer,” ujar Fachrul.

Maka, lanjut Fachrul, usaha picture-building untuk membangun postur TNI-AL yang kuat telah berhasil. Akan tetapi, tutur Fachrul, selain memberikan kesan yang kuat dan siap, TNI-AL juga harus mampu menunjukkan kesan yang lembut dan mampu menjadi penengah di dalam konflik yang sedang terjadi. “Hal ini untuk menghindari pencaplokan wilayah teritorial kita dari Tiongkok di Laut Natuna Utara,” ujar Alumni FISIP Universitas Indonesia tersebut.

Fachrul Razi menambahkan, Indonesia dapat menerapkan langkah deterrence sebagai salah satu upaya naval diplomacy. “Ide dasar dari serangan dan pertahanan adalah letak sumber kekuatan. Di mana terdapat area vital dan strategis, di sanalah pusat serangan yang lebih besar,” terang Fachrul.

Indonesia, sebut Fachrul, sebagai salah satu negara yang paling vokal dan memiliki bargaining power terkuat dalam ASEAN, telah mengupayakan berbagai macam diplomasi untuk mencapai resolusi konflik di Laut Tiongkok Selatan. “Kawasan dengan potensi yang strategis tentunya membutuhkan kebijakan strategis pula. Negara yang tidak mampu meramu kebijakan strategisnya di kawasan ini akan kehilangan kepentingan strategisnya pula,” tandas Fachrul Razi.

Manfaatkan G20 dan Forum Regional ASEAN

Dari fakta tersebut, saya menilai potensi ekonomi Indonesia telah dirugikan oleh pengambilan keputusan yang tidak berimbang. Sudah waktunya untuk memperluas kemitraan global, dan memastikan kesejahteraan Indonesia tetap menjadi fokus utama.

Untuk ekonomi Indonesia yang menjadi fenomena sukses yang besar di Asia tidak diperlambat oleh pandemi Covid-19 belaka, ada juga hal-hal yang lain, antara lain: Sejumlah keputusan yang bersifat jangka pendek dan tidak memiliki keseimbangan regional telah merugikan Indonesia sampai milyaran dollar atau triliunan rupiah; Ketergantungan yang kian meningkat pada penanaman modal asing dan bantuan pandemi dari satu negara tertentu dapat melemahkan kemampuan Indonesia yang mempertahankan politik luar negerinya yang bebas aktif.

Namun, menurut saya, ada keuntungan besar jika Indonesia dapat mempertahankan sumber daya alamnya di wilayah yang makin menjadi fokus untuk kompetisi geo-strategis, yaitu: Cadangan gas bumi di wilayah Laut Natuna merupakan sumber utama kekayaan potensial untuk Indonesia. Namun, ada resiko wilayah itu akan menjadi ajang persaingan yang ketat, dan akan menjadi sulit untuk meriah keuntungannya, jika Indonesia tetap bungkam terhadap penyusupan dalam Zona Ekonomi Eksklusifnya (ZEE) yang telah terjadi belakangan ini.

Pada Agustus 2021 dua kapal Penjaga Pantai China (CCG) mengawal kapal survei hedrokarbon milik  China ke dalam ZEE Indonesia, di mana kapal itu melakukan survei ilegal terhadap cadangan gas bumi Indonesia, selama tujuh minggu lebih. Aktivitas tersebut merupakan peningkatan aktivitas dibandingkan aktivitas beberapa tahun yang lalu saja. bahkan, aktivitas itu bersifat pelanggaran kedaulatan dan kepentingan ekonomi Indonesia.

Kemudian, peningkatan tersebut sangat mengkhawatirkan, mengingat Undang-Undang Penjaga Pantai China yang disahkan pada 2020 dan mengizinkan "tindakan-tindakan yang diperlukan" untuk mencegah kapal asing beroperasi di perairan yang diklaim sebagai wilayah China. Tindakan itu termasuk penggunaan senjata.

Sayangnya, Pemerintah Indonesia belum mengeluarkan pernyataan terbuka yang mengecam pelanggaran kedaulatan dan kepentingan ekonomi Indonesia. Pendekatan ini, lain dengan kecamannya yang di umumkan pada 2019. Pada 2019, beberapa kapal CCG mengawal kapal nelayan China ke dalam ZEE Indonesia, aksi yang secara jelas merupakan pelanggaran Konvensi PBB  1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Pada waktu itu, pucuk pimpinan Indonesia secara terbuka pelanggarannya, dengan menyatakan secara tegas bahwa wilayah ZEE merupakan wilayah Indonesia dan berhubungan dengan kedaulatan Indonesia. Selain itu, spekulasi makin meningkat bahwa kebungkaman Indonesia terhadap penyusupan 2021 dibandingkan keberanian 2019, terkait dengan ketergantungan Indonesia yang kian meningkat terhadap investasi dan bantuan pandemi dari China, khususnya pada zaman ketidak tentuan global sekarang.

Pendekatan ini cukup berbeda dengan pendekatan Malaysia, yang sudah mulai aktivitas pengeboran di perairan yang sedang dipersengketakan dalam perairannya. Dalam hal tersebut, Pemerintah Malaysia pernah menggelar kapal angkatan lautnya jika dihadapi dengan gangguan yang sering terjadi.

Disamping resiko kehilangan hal miliknya terhadap sumber gas bumi yang sangat besar di Laut Natuna, penangkapan ikan yang ilegal di perairan Indonesia membawa  kerugian triliunan rupiah untuk rakyat Indonesia setiap tahun. Dengan cara memperluas kemitraan di wilayahnya dan lebih jauh lagi, Indonesia akan mengurangi ketergantungannya pada investasi dari satu sumber saja, dan juga akan memberikan sejumlah opsi lain yang beraneka ragam.

Maka, saya berharap, dengan memegang presidensi atau kekuatan kelompok G20 pada tahun 2022, Indonesia ada di garis depan panggung politik dan ekonomi dunia. Status ini akan membawa kesempatan emas, di mana Indonesia dapat bekerja sama dengan banyak mitra bilateral dan multi-lateral untuk menjadi strategi investasi yang kian kuat.

Sebagai negara Asean yang terbesar, Indonesia juga bisa memanfaatkan ke-ketuaan G20 untuk menghasilkan keuntungan pada wilayah Asia Tenggara, dan memperkuat kemitraannya yang sudah ada. Apalagi, Indonesia ada di ambang menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia pada dekade-dekade yang datang. Namun, pengambilan keputusan yang bersifat terburu-buru dan jangka pendek terkait investasi asing, akan menjebak Indonesia pada arah yang menuju keuntungan yang kian berkurang.

Terakhir, saya tekankan, pendekatan strategis merupakan cara yang satu-satunya untuk menghindar ketergantungan pada satu sumber investasi utama saja. Dialog yang saling akrab dengan banyak mitra ekonomi akan menghasilkan dasar yang kuat untuk sejumlah keputusan yang akan memaksimalkan potensi ekonomi Indonesia.

 

Penulis: Mas Husni, Pemerhati Laut China Selatan dari Harmoni Nusantara Institut.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler