x

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 22 Desember 2021 05:58 WIB

Amalgam Hukum Entertainment

Teknologi memacu perkembangan dunia entertainment dalam segala aspeknya. Tetapi di sana juga rawan terjadinya pelanggaran hak cipta. Hukum seperti ketinggalan. Perlukah hukum baru atau perombakan dari yang sudah ada?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “Innovations in the form of new experiences

are the backbone of most entertainments.” -

Harold E. Vogel.[1]

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Bisnis industri entertainment telah berkembang sangat pesat di berbagai negara sehingga diakui sebagai “pilar ketiga” ekonomi negara dan ‘the soft economy’ berbasis pengetahuan, keahlian, inovasi  dan kreasi,  guna meningkatkan produktivitas, kinerja, potensi, dan kesinambungan ekonomi negara. Sektor-sektor usaha industri entertainment memainkan peran pivotal bagi perputaran content atau produk industri kreatif (creative industries) dan budaya (cultural goods) di seluruh dunia.[2] Akibatnya, meningkat pula perhatian dan kebutuhan hukum dari sektor entertainment ini.[3]

Sebagai contoh,  betapa pentingnya perlindungan hak dasar (basic right) dari pengarang. Hak ini perlu diakui, dijamin dan dilindungi oleh ketentuan hukum yang mengontrol dan membatasi tindakan-tindakan mengkopi, seperti mereproduksi karyanya, menerbitkan kopi karyanya ke masyarakat, mementaskan karyanya ke masyarakat, atau menyiarkan karyanya melalui satelit atau program kabel, memainkan dan mempertontonkan karyanya ke publik dan menyewakan atau meminjamkannya ke masyarakat. Semua hal ini diatur dalam ketentuan tentang hak cipta di bidang entertainment.[4] Karena itu, siapa saja yang hendak berkarya dan berusaha di sektor industri entertainment perlu memahami dan mempraktekkan seni, hukum, dan bisnis.

Hukum Entertainment umumnya dipandang bukan sebagai suatu “coherent body of law”, tetapi “an amalgam of the law” yang berkaitan hukum kontrak, hak cipta, hukum ketenagakerjaan, hukum media, dan lain-lain, yang terutama diterapkan di bidang industri entertainment seperti teater, film, televisi, musik, tari, penerbitan buku, dan iklan.[5]

Menurut Jay Shanker, David E. Guinn,  dan Harold Orenstein,  “Entertainment law is that developing body of laws concerned with the creation, development, transfer and exploitation of artistic properties for purpose of education, artistic enlightenment, and amusement.”[6]

Sedangkan properti seni, menurut Jay Shanker,  “… encompassing the areas of intellectual property (i.e. copyrights and trademarks) and intangible personal property such as reputation, the rights of publicity and privacy, unfair competition, droit moral, and other such a related forms of intangible property relating to the creator of intellectual property.” [7]

Ketentuan pokok hukum entertainment yang utama memang hukum hak cipta (copyright law). Ini adalah aturan tentang hak-hak pencipta serta pengguna properti seni dan intelektual seperti karya literer atau buku, karya drama, program televisi, film, lagu, karya literer, dan karya musik dalam berbagai media seperti film, rekaman, siaran, piranti lunak komputer, CD, dan lain-lain.[8]

Undang-undang hak cipta memberikan hak-hak ekslusif (exclusive rights) kepada pemilikya. Selama bertahun-tahun, pemerintah berbagai negara menerapkan strategi serupa melalui penerapan hak ekslusif tersebut dalam bidang musik dan film. Misalnya, peraturan hak cipta (copyright law) melindungi komposer lagu, aktor, pelakon pentas seni, dan produser film terhadap kompetisi, adaptasi, reproduksi, distribusi dan pemasaran  musik dan film. Profit menjadi stimulus dan pemacu kreasi dan inovasi. Dari dasar-dasar legal ini lahir model-model bisnis entertainment dunia dan inovasi produk-produk serta jasa entertainment. Namun, kini dasar-dasar hukum dan model-model bisnis ini berisiko akibat revolusi teknologi dan globalisasi.

Revolusi teknologi rekaman digital dan sistem penyimpanan digital, kemajuan teknologi kompresi, kecepatan dan kapasitas jaringan Internet mengirim data, berisiko bagi para artis dan mitra kerjanya. Karena itu mereka perlu dilindungi hak-haknya berdasarkan undang-undang. Untuk itu, dibutuhkan inovasi hukum dan model bisnis entertainment guna melindungi produser dan pemilik hak cipta dari reproduksi tidak sah dan melindungi pendapatan atau penghasilannya. Apalagi kasus-kasus legal industri entertainment akhir-akhir ini juga semakin beragam di berbagai negara.   

Hukum, Teknologi, dan Industri

Dalam bukunya, The Other Path (1989) dan The Mystery of Capital (2000), ekonom asal Peru, Hernando de Soto, menguraikan bahwa suatu modal atau kapital lahir, tumbuh dan berkembang di negara-negara industri maju selama 100 tahun terakhir karena hukum melindungi hak-hak dasar rakyat di bidang sosial dan ekonomi.

Sedangkan hak-hak dasar dan hak milik rakyat di negara berkembang atau negara miskin kurang dijamin dan dilindungi oleh hukum. Padahal benefit sosial-ekonomi dapat diperoleh dari pengakuan, jaminan dan perlindungan hak-hak dasar dan hak-milik rakyat. Alasannya, menurut Hernando de Soto, “what the poor are missing are the legally integrated property systems that can convert their work and savings into capital.”[9]

Rakyat pemegang hak-hak milik, termasuk hak cipta, akan lebih mudah mengumpulkan kepercayaan dan modal jika dibandingkan dengan rakyat yang tidak memiliki pengakuan, jaminan dan perlindungan hukum atas hak-hak dasar dan hak-hak miliknya di suatu negara. Karena itu, kepastian hukum tentang kepemilikan sah atas hak-hak dasar dan hak-hak milik menentukan kemajuan sosial-ekonomi suatu masyarakat. Ini pula yang menjelaskan mengapa rakyat di negara-negara industri maju di zona Eropa lebih mudah mengumpulkan modal dan kepercayaan daripada rakyat di negara-negara berkembang.

Hernando De Soto menguraikan manfaat perlindungan hukum atas hak-hak milik (property rights) dan pertumbuhan sosial-ekonomi serta investasi dalam kedua bukunya itu.[10] Kedua buku ini membahas manfaat ketentuan-ketentuan hukum yang menghasilkan pertumbuhan sosial-ekonomi dan transfer modal dan aset-aset.

Kini hasil riset empirik Hernando de Soto pada kedua buku itu diuji oleh revolusi teknologi, inovasi bisnis, dan hukum entertainment sejak awal abad 21. Di Amerika Serikat, industri film berkolaborasi dan inkorporasi dengan Internet. Begitu pula industri lain di sektor-sektor usaha yang berbasis hak cipta.[11] Tahun 1970-an, Internet hanya memfasilitasi komunikasi dan tukar-menukar data, artikel ilmiah, dan diskusi kalangan akademi. Namun, seiring perkembangan zaman, Internet melayani pengiriman file digital di berbagai negara dan bahkan lintas negara.[12]

Seorang di Nigeria, Afrika, misalnya, kini dapat mengirim file digital melalui jaringan komputer kepada rekannya di Eropa. Begitu pula sebaliknya. Napster bahkan mulai mengkodifikasi dan meracik formula pengiriman file digital dari orang ke orang, bukan hanya bisnis ke bisnis. Hal ini menimbulkan potensi risiko bagi industri entertainment. Sebab formula Napster ini memudahkan seseorang mengirim dan menerima file digital musik, dokumen, image, video, dan piranti lunak lainnya seperti film melalui jaringan Internet atau komputer.[13] Selain Napster, beberapa jasa online lainnya juga menggunakan teknologi sharing file digital peer-to-peer (PTP).[14] Langkah Napster dan beberapa jasa online lainnya itu memicu reaksi dan tindakan hukum dari sektor industri musik.

Revolusi Internet sebagai sarana komunikasi dan pertukaran informasi mengancam upaya melindungi hak cipta yang tidak pernah terjadi pada dekade tahun 1980-an.[15] Akhir-akhir ini banyak gugatan hukum diajukan oleh industri musik yang berupaya melindungi nilai ekonomi dan komersial dari hak cipta karyanya.[16]

Zona pasar entertainment Amerika Serikat dan Amerika Utara atau Eropa Barat kini telah mengembangkan inovasi-inovasi hukum seperti Digital Millennium Copyright Act (DCMA), doktrin fair-use, dan doktrin penggunaan tanpa pelanggaran (non-infringing use) lainnya. Semua itu dilakukan agar semakin jelas, mana perbuatan yang boleh dan mana yang dilarang.

 Jaringan Internet dunia saat ini sudah melayani jutaan komunikasi, distribusi, dan promosi atau informasi berbentuk image, musik, film, dokumen digital, data, artikel, video, dan sejenisnya. Jumlahnya ditengarai naik terus dari tahun ke tahun. Tukar menukar file digital seperti film dan video games juga naik tajam. Semua ini karena revolusi teknologi kompresi dan koneksi Internet yang semakin luas.

 Andrew Currah  memperkirakan bahwa sekitar 2 (dua) milyar film Hollywood milik sekitar 6 (enam) studio film Hollywood, Amerika Serikat, telah diakuisi melalui jaringan Internet orang per orang tiap tahun di seluruh dunia.[17]

Revolusi teknologi IT memang melahirkan inovasi, kreasi, dan modifikasi bentuk-bentuk baru file dan produk digital.[18] Musisi dan produser film mengembangkan mix-content dari sumber-sumber yang beragam. Karya-karya baru ini diseminasi melalui jaringan Internet orang per orang secara online dan offline. Tren ini melipat-gandakan demokratisasi informasi, kultur, dan kreasi.[19]

Di sisi lain, ledakan distribusi file digital juga memicu reaksi hukum pemegang hak cipta seperti label-label rekaman dan studio-studio film Hollywood, Amerika Serikat. Sebab, melalui jaringan Internet, distribusi bebas tanpa bayar dari files yang sudah didaftar ke kantor hak cipta itu, memiliki  risiko ekonomi bagi pemilik hak dan karya ciptanya di zona pasar Amerika Utara dan Eropa Barat.[20]

Distribusi file digital musik, film atau piranti lunak bajakan, meningkatkan kondisi pasar tanpa persaingan sehat, kelangkaan, dan perlindungan di jaringan Internet. Sehingga sulit bagi pemilik hak cipta mengecualikan siapa sebenarnya pembeli produknya dan siapa yang telah  mengakses tanpa bayar produknya melalui jaringan Internet.[21]

Industri rekaman dan studio film telah berupaya mengkriminalisasi distribusi file digital di jaringan Internet ini. Meski begitu, sektor industri entertainment tidak mudah mendaftarkan dan mengajukan gugatan hukum. Sementara jaringan Internet juga berupaya melindungi konsumen secara hukum dengan memasukkan prinsip-prinsip hukum media dan entertainment.[22]

Maka kolaborasi dan inkorporasi atau model oligopoli media-studio film di Hollywood, Amerika Serikat, terbentuk guna menghadapi pirasi, pencurian hak cipta dan modifikasi properti fisik musik atau film.[23] Menurut perkiraan Motion Picture Association of America (MPAA), setiap download film bebas melalui jaringan Internet merupakan pencurian properti yang bernilai sekitar 142,9 juta dollar AS pada tahun 2004-2005 ke pasar global.[24]

Kolaborasi atau oligopoli model bisnis entertainment baru abad 21 muncul di zona pasar negara industri maju. Misalnya, di zona pasar Amerika Utara, studio dan industri raksasa film dunia seperti Bertelsmann, News Corporation, Time Warner, Viacom dan Walt Disney yang disuplemen oleh perusahan raksasa lainnya seperti General Electric, NBC Universal dan Sony Corporation. Mereka membuat formula bisnis seperti perjanjian pendanaan bersama, aliansi stategis, dan direktorat terkait lainnya.[25] Perusahan papan atas itu bekerjasama guna meningkatkan nilai dan brand produknya. Perusahan-perusahan ini mengontrol media dan entertainment seperti film, musik, radio, televisi kabel, surat-kabar, majalah, dan buku di Amerika Serikat, Eropa, bahkan di pasar-pasar Asia dan Amerika Selatan.

Dewasa ini bisnis entertainment merupakan bisnis multinasional atau bisnis lintas negara. Kondisi ini juga melipat-gandakan tren digitalisasi industri entertainment dan pemanfaatan jaringan satelit dunia. Sehingga produk-produknya dapat menembus sekat-sekat negara. Misalnya, siaran televisi atau program televisi di suatu negara dapat menjangkau jutaan bahkan milyaran audiens di berbagai negara melalui siaran jaringan satelit di seluruh dunia.

Film-film juga semakin sering diproduksi oleh kolaborasi artis berbakat lintas negara, dana dari berbagai negara, dan shooting di beberapa negara. Sedangkan musik, buku, dan drama (plays) dilisensi, diterjemahkan, dan diproduksi secara simultan di beberapa negara. Jaringan Internet memudahkan konsumen di seluruh dunia dapat mengakses teks dan nada suatu lagu atau audio-visual secara instan dan simultan melalui jaringan world-wide-web.  

Maka muncullah gagasan menerapkan teknologi piranti lunak “digital rights management” (DRM) yang melindungi dokumen (file)  format digital melalui ketentuan akses tertentu, yakni kapan, di mana, dan bagaimana dokumen digital diakses dan berapa harga yang ditentukan oleh pemilik hak cipta. Namun DRM tetap membuka ruang bagi “fair uses” dan penggunaan derivatif oleh konsumen dan pencipta karyanya melalui kode-kode digital tertentu.[26]

Kini, hukum di Indonesia juga sedang menghadapi tantangan baru. Munculnya aneka layanan berbasis Internet yang disebut sebagai over the top (OTT) melahirkan banyak kemungkinan cara berekspresi, berbisnis, atau mendistribusikan content digital. Namun, semua kemudahan yang diberikan oleh teknologi ini juga rawan terhadap pelanggaran hak cipta dan hak-hak lainnya.

Perlukah undang-undang baru untuk mengantisipasi perkembangan teknologi saat ini? Atau perombakan besar-besaran undang-undang hak cipta dan undang-undang transaksi elektronik yang sudah ada? Terserah Anda.

 

* K. Atmojo adalah penulis yang meminati berbagai masalah hukum.

                                                                                  ###

 

[1] Harold E. Vogel, Entertainment Industry Economics: A Guide for Financial Analysis, Cambridge University Press, 2014.

[2] Paolo Sigismondi, The Digital Glocalization of Entertainment, Springer Science & Business Media, 2011, hlm. 2.

[3] Donald E. Biederman, Law and Business of the Entertainment Industries, Greenwood Publishing Group, 2007, hlm. 1. 

[4] Ruth Towse, Copyright and Cultural Policy for the Creative Industries, dalam Economics, Law and Intellectual Property ed. Ove Granstrand. Kluwer, Academic Publishers, 2002, hlm. 3.

[5] Mel Simensky, Defining Entertainment Law: A Merger of Business and Legal Considerations, N.Y.I.J., September 27, 1985, hlm. 5. 

[6] Jay Shanker, David E. Guinn, Harold Orenstein, Entertainment Law and Business, Juris Publishing, Inc., 2009, hlm. 1-1.

[7] Ibid.

[8] Ruth Towse, Copyright and Cultural Policy for the Creative Industries, dalam Economics, Law and Intellectual Property ed. Ove Granstrand. Kluwer, Academic Publishers, 2002, hlm. 4.

[9] Hernando de Soto, The Mystery of Capital :Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else, New York: Basic Books, 2000, hlm. 227. Lihat juga D. Benjamin Barros (ed.), Hernando de Soto and Property in a Market Economy, Ashgate Publishing Limited, Surrey/England, 2013, hlm. 51.

[10] Hernando de Soto (2000), op. cit., hlm. 52. De Soto telah menulis dua buku tentang pembangunan ekonomi, yaitu The Other Path: The Invisible Revolution in the Third World (1986)—edisi baru tahun 2002 berjudul The Other Path, The Economic Answer to Terrorism--dan The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else (2002). Kedua buku ini telah diterjemahkan ke 30 bahasa dan meraih best-seller. Edisi asli buku The Other Path dalam bahasa Spanyol berjudul El Otro Sendero yang merupakan gagasan Hernando de Soto untuk kemajuan social-ekonomi rakyat Peru.

[11] Currah, A. (2003) Digital effects in the spatial economy of film: towards a research agenda. Area, 35: 64–73. Currah, A. (2006) The Internet Gift Economy: A Study of Socio-Technological Change in the US Film Industry. Unpublished PhD thesis, Department of Geography, University of Cambridge.

[12] Barbrook, R. (1998) The hi-tech gift economy. First Monday, 3. Berners-Lee, T., Fischetti, M. (2001) Weaving the Web: The Original Design and Ultimate Destiny of the World Wide Web. London: Collins.

[13] Leyshon, A. (2004) Scary monsters? Free software, peer-to-peer networks and the spectre of the gift. Environment and Planning D: Society and Space, 21: 533–55

[14] Matthew Green, Napster Opens Pandora’s Box: Examining How File-Sharing Services Threaten the Enforcement of Copyright on the Internet, Ohio State Law Journal, Vol. 63, 2002, hlm. 1.

[15] Adam Cohen, A Crisis of Content, Time, 2 Oktober, 2000, hlm. 68.

[16] Lihat misalnya UMG Recordings, Inc. v. MP3.com, Inc., 92 F. Supp. 2d 349, 350 (S.D.N.Y. 2000).

[17] Andrew Currah, Hollywood versus the Internet: the media and entertainment industries in a digital and networked economy, Journal of Economic Geography 6,  2006, hlm. 444.

[18] Lasica, J. D. (2005) Darknet: Hollywood’s War Against the Digital Generation. Chichester: John Wiley.

[19] Benkler, Y. (2002) Coase’s penguin, or Linux and the nature of the firm. Yale Law Journal, 112: 369–396.

[20] Leyshon, A., Webb, P., French, S., Thrift, N., Crewe, L. (2005) On the reproduction of the music industry after the Internet. Media, Culture and Society, 27: 177–209.

[21] Bettig, R. V. (1996) Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property. Boulder, CO: Westview Press. Caves, R. (2000) The Creative Industries: Contracts between Art and Commerce. Cambridge, MA: Harvard University Press.

[22] Lasica, J. D. (2005) Darknet: Hollywood’s War Against the Digital Generation. Chichester: John Wiley

[23] Vaidhyanathan, S. (2001) Copyrights and Copywrongs: The Rise of Intellectual Property and How it Threatens Creativity. New York: New York University Press.

[24] Tentang ini bisa dilihat lagi tulisan Andrew Currah, “Hollywood versus the Internet: the media and entertainment industries in a digital and networked economy”, Journal of Economic Geography 6 (2006), hlm. 445.

[25] Bagdikian, B. H. The New Media Monopoly. Boston: Beacon Press, 2004.

[26] Lessig, L. Code and Other Laws of Cyberspace. New York: Basic Books. Lessig, L. (2002) The Future of Ideas: The Fate of the Commons in a Connected World. New York: Random House, 1999.

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB