x

Iklan

Muhammad Iqbal Maulana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 November 2019

Kamis, 6 Januari 2022 08:13 WIB

Orang Tua dengan Gangguan Pedophilia dalam Dokumentasi “Tell Me Who I Am”

Aktivitas seksual yang dilakukan pelaku pedofilia sangat bervariasi. Korban penganiayaan seksual biasanya diancam untuk tidak membicarakan apa yang telah dialaminya. Orang dengan pedofilia biasanya melakukan pendekatan kepada anak dengan memberikan fasilitas dan iming-iming. Tujuannya, agar anak percaya, setia, dan menyayangi pelaku, sehingga tidak membongkar rahasia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Poster Orang Tua dengan Gangguan Pedophilia dalam Dokumentasi 1cTell Me Who I Am 1d (2019)

Anak harus dilindungi harkat dan martabatnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan hak-haknya harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Sebagai generasi penerus bangsa, anak harus menjalankan hak dan kebutuhannya dengan baik. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dan siapapun maupun dari pihak manapun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akhir-akhir ini pemberitaan tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak kecil marak terjadi. Beberapa dari pelaku bahkan telah berusia lanjut. Tentu kita merasa tidak nyaman ketika mendengar hal tersebut, dan tentu kita tidak ingin anak atau kerabat kecil kita tertimpa hal yang sama bukan?

Dikutip dari berita Kompas (2021), prevalensi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tetapi kasus kekerasan ini bisa disebut sebagai juga fenomena gunung es yang terlihat hanya di bagian puncaknya sama di permukaan saja. Sebenarnya permasalahan jauh lebih besar dari itu, di mana kondisi ini juga sudah masuk ke dalam situasi darurat kekerasan seksual diiringi dengan peningkatan angka kekerasan seksual yang tinggi dari tahun ke tahun.

Dalam artikel ini akan dijelaskan tentang perjalanan luar biasa kembar identik Alex dan Marcus Lewis yang dipertemukan kembali setelah 34 tahun tidak bertemu.  Alex mempercayai saudara kembarnya, Marcus, untuk menceritakan masa lalu setelah ia mengalami hilang ingatan. Namun ada rahasia besar dan cukup kelam dalam keluarga mereka yang Marcus sembunyikan dari Alex. Di mana yang diyakini Alex dan Marcus adalah  korban pelecehan seksual yang telah dilecehkan secara seksual oleh Ibu mereka dan juga oleh teman-temannya di jaringan pedofil.

Sinopsis Film “Tell Me Who I Am (2019)”

Film Tell Me Who I Am (2019) adalah karya sutradara Ed Perkins, salah satu sutradara terbaik dunia yang pernah meraih nominasi Oscar. Film dokumenter ini hendak membongkar sebuah ketidakpastian dari sang tokoh, Alex. Saudara kembar identik, tinggal bersama, memiliki ikatan emosional yang sama, apapun dilakukan secara bersama, itulah gambaran dari hubungan Alex dan Marcus ini.

Film ini bercerita tentang dua perjalanan kembar identik bernama Alex dan Marcus, keduanya memiliki ikatan emosional yang sama. Kehidupan Alex sangat bergantung pada saudara kembarnya ketika semua kenangan hilang dalam hidupnya. Dalam dinamika kehidupan sehari-hari Alex terus menanyakan informasi dasar kepada Marcus. Seperti bertanya hal sederhana, bagaimana cara memasak telur, cara naik sepeda, dll.

Saat Alex  tumbuh dewasa, dia mulai merasa tidak nyaman. Kemudian Alex mempunyai pertanyaan besar mengenai dirinya, “Jadi siapa saya sebenarnya?” Sekarang mengarah ke sesuatu yang lebih pribadi. Alex bertanya-tanya bagaimana masa kecilnya, apakah keluarganya selalu berlibur, dan siapa ibunya. Marcus menjawab pertanyaan seperti itu  dengan singkat dan jelas.

Segalanya menjadi rumit ketika ayah dan ibunya meninggal. Mereka meninggalkan Alex dan Marcus  di  rumah yang sangat besar. Alex menjadi curiga pada ibunya. Ibunya menyimpan  rahasia  dengan menyimpan barang-barang langka di kamarnya. Barang tersebut meliputi mainan seks di kamar mandi, foto telanjang Alex dan Marcus, dan banyak lagi.

Alex mulai khawatir dengan bertanya, "Siapa wanita ini? Apa yang saya ketahui tentang dia?".  Kalimat ini secara tidak langsung menjelaskan bagaimana Alex  menghadapi sesuatu yang tidak jelas dan tidak terbayangkan.

Ketakutan Alex akan ketidakpastian ini mendorongnya untuk bertanya, "Apakah kita mengalami pelecehan seksual atau tidak?" Marcus  akhirnya menjawab, "Ya, benar." Hanya itu kata yang keluar dari mulut Marcus. Marcus, yang tidak banyak bicara setelah insiden, membuat Alex bertanya-tanya apakah ada hal lain. Tapi jawaban Marcus hanya  pelecehan seksual, dan hanya itu. "Hanya itu yang perlu kamu ketahui," kata-kata Marcus membuat situasi semakin membingungkan bagi Alex. Kehilangan ingatannya, ditambah dengan fakta tragis tentang keluarganya, selalu membuat Alex bertanya-tanya.

Hidup terus berjalan dan Alex tidak  berhenti bertanya. Alex kemudian mulai mengenal siapa ibunya. Tanpa bantuan  Marcus. Alex mulai mencari tahu seperti apa ibunya dan seperti apa kehidupan rahasianya. Alex mencari kliping koran tentang ibunya untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.

Lalu 34 tahun telah berlalu dan mereka telah bersatu kembali dalam satu situasi, tetapi pertanyaan  hidup Alex tentang kehidupan sebelumnya masih mengganggunya. Selama 34 tahun, tanpa sepengetahuan saudara kembarnya, dia mencari tahu fakta ibunya melalui kliping koran yang sebenarnya disembunyikan Marcus. Kejadian detail di masa lalu pun mulai terungkap. Marcus mau membuka dirinya terhadap Alex dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dahulu.

Paraphilia

Dalam fenomena ini, akan lebih tepat bahwa perilaku ibu dari Alex dan Marcus mengarah pada parafilia. Di dalam DSM IV-TR, dijelaskan jika paraphilia merupakan sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksualnya kepada objek-objek yang tidak wajar ataupun aktivitas seksual yang tidak seperti pada umumnya. Dapat dikatakan jika paraphilia merupakan perilaku seksual yang mana terdapat objek yang tidak biasa.

Ada dua kategori yang dijelaskan dalam paraphilias.

  1. Preferences for Nonhuman Object

Dalam hal ini preferensi yang digunakan untuk objek bukanlah manusia. Ada 2 jenis preferensi, yaitu fetisisme dan fetisisme transvestik.

  1. Preferences for Situations Causing Suffering

Dalam hal ini menyebabkan situasi yang memicu terjadinya penderitaan. Ada beberapa gangguan jiwa yang masuk di dalamnya, yaitu ekshibisionisme, sadisme dan masokisme, voyeurisme, froteurisme, serta pedofilia.

Dari keterangan tersebut diketahui bahwa Ibu dari Alex dan Marcus masuk ke dalam gangguan pedofilia, di mana hal tersebut dilihat dari Alex yang menjadi curiga pada ibunya. Ibunya menyimpan  rahasia  dengan menyimpan barang-barang langka di kamarnya. Barang tersebut meliputi mainan seks di kamar mandi, foto telanjang Alex dan Marcus, serta diperkuat dari keterangan marcus yang akhirnya menceritakan semua kejadian yang terjadi pada masa kecil mereka berdua.

Pedophilic Disorder

Pedofilia adalah kecenderungan membuat orang dewasa lebih tertarik melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak daripada  dengan orang seusianya. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Psychiatric Disorders IV (DSM-IV), pedofilia adalah parafilia di mana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak prapubertas dan di mana perasaan mereka memiliki salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Psychiatric Disorders IV (DSM-IV), pedofilia memiliki tiga tipe, di antaranya:

1) Pedofilia Tipe I, pedofilia tipe ini tidak dapat berinteraksi sosial dengan wanita karena kecemasan atau ketidakmampuan sosial atau keduanya. Individu ini dapat terangsang secara seksual baik oleh obyek normal dan anak-anak.

2) Pedofilia Tipe II, pedofilia tipe ini dapat berinteraksi sosial dengan wanita dewasa namun tidak mampu terangsang seksual oleh mereka. Mereka hanya dapat terangsang oleh anak-anak.

3) Pedofilia Tipe III, pedofilia tipe ini dapat berinteraksi sosial dengan wanita dan tidak dapat terangsang secara seksual oleh mereka. Mereka hanya terangsang secara seksual oleh anak-anak.

Aktivitas seksual yang dilakukan oleh pelaku pedofilia sangat bervariasi. Korban penganiayaan seksual biasanya diancam untuk tidak membicarakan hal hal apa saja yang telah dilakukan terhadapnya. Orang dengan pedofilia sebelum melakukan prakteknya biasanya melakukan pendekatan dengan anak dengan memberikan fasilitas dan iming-iming seperti, uang agar anak tersebut percaya, setia, dan menyayangi pelaku, sehingga anak tersebut dapat menjamin rahasia atas tindakannya

Kemudian berdasarkan DSM-IV, seseorang dikatakan sebagai penderita pedofilia apabila:

1) Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa aktivitas seksual dengan anak pra pubertas atau anak-anak (biasanya berusia 13 tahun atau kurang).

2) Khayalan, dorongan seksual atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

3) Orang sekurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5 tahun lebih tua dari anak-anak yang menjadi korban.

Penyebab Orang Mengalami Gangguan Pedofilia

Menurut Aisyah, 2017 (dalam Rahardjo, 2021), faktor penyebab penyimpangan seksual dibagi menjadi faktor resiko dan faktor protektif. Faktor risiko mencakup lingkungan yang kurang baik, dan konsumsi pornografi. Sedangkan faktor protektif penyebab penyimpangan seksual, yaitu nilai yang diyakini, motivasi, persepsi, kemampuan untuk menolak, pemberian pendidikan seks, dan komunikasi yang baik dengan orang tua.

Sedangkan menurut Lianawati (2020), pengalaman masa kecil sebagai korban pedofil diyakini menjadi penyebab utama seseorang menjadi pedofil. Mekanisme ini dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama,  dengan melihat  pelaku (observasi pembelajaran), kita belajar bahwa kepuasan seksual anak dapat dicapai. Kedua,  mereka mungkin sadar bahwa mereka memiliki harga diri yang rendah dan menjadi korban pedofilia. Akibatnya, mereka cenderung terisolasi dan sosialisasinya terbatas.

Dalam konteks ini, kurangnya kemampuan untuk membangun hubungan dekat dengan orang lain juga menjadi salah satu penyebab pedofilia. Orang tersebut tidak dapat memiliki hubungan intim dengan orang dewasa pada usia yang sama. Dalam situasi ini, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berinteraksi dengan anak-anak yang mudah diakses tanpa melawan seperti dulu.

Dampak dari Kekerasan Seksual (Gangguan Pedofilia)

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Menurut Finkelhor dan Browne (dalam Zahirah, 2019) mengkategorikan 4 jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:

  1. Pengkhianatan (Betrayal), kepercayaan merupakan landasan terpenting bagi korban kekerasan seksual. Anak-anak memang memiliki banyak kepercayaan pada orang tua mereka, dan kepercayaan ini mengerti dan dipahami. Anak merasa dikhianati oleh kekerasan yang disebabkan oleh orang tuanya.
  2. Trauma secara seksual (Traumatic sexualization), perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.
  3. Merasa tidak berdaya (Powerlessness), perasaan tidak berdaya muncul dari ketakutan akan nyawa korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban yang menyakitkan. Ketidakberdayaan membuat orang merasa lemah dan menurunkan produktivitas kerja.
  4. Stigmatization, kekerasan seksual dapat membuat korban merasa bersalah, malu, dan citra diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu muncul dari perasaan tidak berdaya dan kurangnya kendali atas diri sendiri. Anak-anak korban kekerasan seringkali merasa berbeda dengan yang lain. Beberapa korban marah dengan tubuhnya karena dianiaya. Korban lain menggunakan obat-obatan dan alkohol untuk melampiaskannya dan berusaha  menghindari ingatan akan kekerasan yang dialaminya.

Cara Mengatasi Gangguan Pedofilia

Tidak ada pengobatan yang efektif untuk pedofilia, kecuali orang dengan gangguan tersebut bersedia terlibat dalam pengobatan. Orang dengan gangguan pedofilia dapat tersinggung selama dalam psikoterapi aktif, saat menerima pengobatan, farmakologis, atau pengebirian. pada saat ini, pengobatan gangguan pedofilia lebih terfokus pada pencegahan gangguan pedofil untuk melakukan pelecehan seksual daripada mengubah orientasi seksual pedofil terhadap anak-anak.

Bentuk intervensi berdasarkan pada Camilleri (2008) yang dapat disarankan untuk pelaku kekerasan seksual, antara lain:

  1. Terapi kognitif behavioral dan relapse prevention

standar dari CBT dalam mengubah perilaku di antaranya:

  1. Mengajarkan kepada pelaku tentang bagaimana kognisi mempengaruhi perilaku agresi seksual pada individu
  2. Menginformasikan kepada pelaku tentang seberapa merusaknya perilaku pada korban
  3. Melatih pelaku tentang bagaimana mengidentifikasikan distorsi kognitif yang mereka alami
  4. Conditioning

Ssalah satu variasinya adalah covert sensitization, yaitu metode yang mana meminta pedofil membayangkan seorang anak namun disertai dengan membayangkan hal yang menjijikkan kemudian merasa bebas ketika keluar dari situasi yang dibayangkan.

  1. General psikoterapi

Psikoterapi yang berlandaskan dasar dari teori humanistik maupun psikodinamik. pada terapi jenis ni, pelaku diajak untuk mengeksplorasi pengalaman seksual yang pernah terjadi pada pelaku. kemudian pelaku akan diberikan pemahaman yang benar atas apa yang telah terjadi pada pelaku.

  1. Terapi kelompok

Dilakukan untuk mengeksplorasi permasalahan yang dimiliki pelaku kemudian didiskusikan bersama kelompok supaya memperoleh penyelesaian terbaik menurut kelompok (biasanya dilakukan pada tahap akhir terapi pelaku pedofil)

  1. Multisistemik terapi

Terapi ini dilakukan dengan community based treatment. intervensi ini melibatkan keluarga, teman sebaya, tetangga, dan orang sekitar pelaku. pada treatment ini sangat dibutuhkan bantuan serta dari keluarga dan orang di sekitar pelaku . sebelum pelaku dikembalikan pada keluarga dan masyarakat, terapi akan terlebih dahulu mendatangi keluarga pelaku dan tetangga maupun masyarakat di sekitar pelaku untuk memberikan pemahaman mengenai pedofilia dan memberikan mereka pelatihan guna meminimalisir kemungkinan pelaku akan kembali menjadi pedofilia. setelah itu, pelaku akan dikembalikan ke keluarganya.

 

Referensi

Auliarachman, A. D. (2017). Identifikasi Faktor – Faktor Penyebab Perilaku Pedofilia Pada Narapidana Di Lapas Klas I Cipinang Jakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat .

Hooley, J. M. (2018). Psikologi Abnormal Terjemahan: Fatmah Nurjanti, S.Psi. Jakarta: Salemba Humanika.

Kaplan, H. S. (2010). Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid Dua. Tanggerang: Binarupa Aksara.

Nadhifa. (2021, January 2). Tell Me Who I Am, Ketika Tidak Tahu Apa-Apa Lebih Baik? Rentetan.

Nareza, M. (2020, November 15). Kenali Apa Itu Pedofil Beserta Ciri-Ciri Dan Penangannya. Alodokter.

Saputra, A. (2018). Criminology Study On Pedophilia Prevention In Indonesia. Jurnal Hukum Novelty, 117-127.

Zahirah, U. D. (2019). Dampak Dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak Di Keluarga. . Prosiding Penelitian & Pengabdian Masyarakat, 10-20.

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Iqbal Maulana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu