x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 29 Januari 2022 06:20 WIB

Berebut Jabatan Kepala Otorita Ibukota Baru

Elite politik dan ekonomi terkesan berebut pengaruh atas Presiden Jokowi agar bisa menempatkan orang pilihan mereka sebagai Kepala Badan Otorita Ibukota Negara. Posisi ini sangat strategis dari sudut kepentingan ekonomi dan politik terkait pemindahan ibukota negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Siapa figur yang akan ditunjuk Presiden Jokowi untukmenduduki jabatan Kepala Otoritas Ibukota Negara masih jadi bahan spekulasi. Teka-teki tampaknya memang jadi bagian dari permainan politik, termasuk barangkali dengan melempar sejumlah nama ke tengah masyarakat untuk menguji arah angin—bagaimana respon publik?

Media massa menyebut empat nama yang kabarnya masuk dalam pertimbangan. Selain Abdullah Azwar Anas, mantan Bupati Banyuwangi yang kini menjabat Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, ada nama Basuki Tjahaja Purnama—mantan Gubernur DKI Jakarta sepeninggal Jokowi jadi Presiden yang kini komisaris Pertamina. Lalu ada Bambang Brodjonegoro, mantan Kepala Bappenas serta Menristek, serta Tumiyana, mantan Dirut Wijaya Karya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah empat nama itu beredar, Presiden melontarkan isyarat baru bahwa ia ingin kepala otoritas itu seorang arsitek yang pernah menjadi kepala daerah. Ramailah publik, lalu dicari orang yang kira-kira sesuai dengan isyarat itu, ketemulah Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Karena isyarat itu belum tegas, maka Ridwan tidak mau ge-er.

Belakangan, PDI-P melalui Sekjen Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama memenuhi syarat untuk menjabat kepala otorita ibukota negara baru—entah syaratnya apa, sebab belum pernah ada yang mengungkap. Lontaran ini membuat politisi PPP menanggapi bahwa jangan mendikte Presiden untuk memilih Basuki. Sedangkan PAN berharap kepala otoritas ibukota negara bukan dari partai politik.

Wacana tentang siapa yang mestinya duduk sebagai kepala otorita ibukota baru itu memperlihatkan dinamika perebutan pengaruh di ibukota baru. Elite politik sangat berminat dan berkepentingan untuk menempatkan orangnya pada posisi kepala badan otorita, dan elite ekonomi pun niscaya begitu.

Ada beberapa alasan yang mungkin. Di antaranya, kepala otoritas akan diberi wewenang yang sangat besar untuk mempersiapkan ibukota baru itu dari berbagai seginya, di antaranya tentu saja infrastruktur. Kepala otoritas akan diberi jabatan setingkat menteri guna mempercepat pemindahan ibukota dari Jakarta. Ia bertanggungjawab atas seluruh proses pemindahan ibukota, bukan hanya memindahkan kantor pemerintahan, tapi—istilah Presiden Jokowi—melakukan transformasi secara menyeluruh. Dalam lima tahun sejak dipilih, kepala otorita punya kewenangan besar untuk mengelola ibukota baru.

Badan otorita bakal memiliki tugas dengan lingkup yang luas, mulai dari mempersiapkan, membangun, hingga memproses pemindahan ibukota. Termasuk di dalamnya wewenang pengelolaan tanah, lahan, serta mengupayakan agar proses pembangunan ibukota baru dapat terpusat. Bagi banyak pihak, aroma ekonomi yang wah ini menjadi alasan penting mengapa jabatan kepala otorita penting, karena kepala otorita memiliki wewenang untuk membangun kerjasama dengan pihak lain dalam mengurus penggunaan lahan. Tak heran bila banyak pihak berebut.

Banyak pihak berkepentingan untuk bisa memperoleh potongan kue ekonomi dari pembangunan ibukota baru ini. Spekulan tanah diberitakan sudah bermunculan sehingga berdampak pada kenaikan tak wajar harga tanah di sekitar wilayah ibukota baru. Tempo memberitakan pula adanya lahan yang menjadi calon ibukota baru merupakan lahan konsensi tambang, sehingga menimbulkan spekulasi mengenai skema apa yang akan dipakai agar negara bisa menempati lahan konsensi tersebut? Ganti untung bagi pemilik konsensi atau bagaimana?

Di samping kewenangan atas berbagai aspek yang bernilai ekonomis tinggi, kepala otorita ini juga penting dalam konteks politik. Tarik-menarik partai tentang siapa calon yang tepat untuk menjadi kepala otoritas menunjukkan bahwa posisi ini strategis karena menjadi pintu masuk komunikasi dengan Presiden. Kepala otorita ditunjuk langsung oleh Presiden dan melapor langsung kepada Presiden, sehingga ia tahu benar kemana arah pengembangan ibukota baru. Ia juga terlibat dalam pengambilan keputusan penting yang berdampak politis. Peran kepala otorita akan tetap penting sekalipun nanti presidennya berganti pada 2024.

Karena kepala otoritas tidak dipilih melalui pilkada sebagaimana kepala provinsi, dan Presiden memegang hak untuk memilih, maka pihak-pihak yang berkepentingan atas jabatan kepala otoritas berusaha memengaruhi Presiden. Dibandingkan partai-partai lain, PDI-P memiliki peluang paling besar untuk menyodorkan nama kepada Presiden. Megawati memiliki akses luas untuk dapat berkomunikasi dengan Presiden dan membicarakan calon kepala badan otoritas. Bahkan, Sekjen PDI-P diberitakan oleh media sudah membicarakan calon tersebut dengan Presiden Jokowi. Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, yang menjabat Ketua Umum PPP, juga memilik akses kepada Presiden. Suharso mungkin juga memiliki calon dan harus bersaing dengan calon Mega.

Siapa yang kemudian akan dipilih Presiden untuk menempati posisi kepala badan otoritas ibukota negara, hal itu akan menunjukkan seperti apa relasi kekuasaan di antara elite politik dan ekonomi di balik agenda pemindahan ibukota. Mungkin saja Jokowi memunculkan nama lain yang tidak terduga, atau nama yang itu-itu lagi seakan tidak ada orang lain yang sanggup mengerjakan tugas besar. Tapi, Jokowi memang butuh jaminan bahwa orang itu dapat ia andalkan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu