x

ilustr: youthmanual

Iklan

Gabriel Chamelia Sudibyo

Content Marketer
Bergabung Sejak: 27 Januari 2022

Minggu, 30 Januari 2022 08:42 WIB

Belanja Pegawai: Harga Mahal di Balik PHK Pandemi

Turnover rate dan turnover intention menjadi dampak pandemi di lingkup perusahaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belanja Pegawai: Harga Mahal di balik PHK Pandemi

 

Meningkatnya angka pengangguran dan pemberhentian hubungan kerja pada tahun 2020 saat puncak pandemi mengakibatkan banyak orang sadar akan turnover rate (persentase pegawai keluar) dan turnover intention (keinginan untuk mengundurkan diri). Dampak dari Covid-19 tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita menjadi new normal dan protokol kesehatannya, namun juga mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat usia produktif terhadap perusahaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Telah sejak lama kita menormalisasi perubahan susunan pegawai, ketika rekan kita sendiri ada yang mengundurkan diri ataupun masuk menggantikan pegawai sebelumnya. Namun kali ini, pemikiran semacam ini seakan diprovokasi dengan PHK yang terjadi di masa pandemi. Banyak komunitas pekerja kini bertanya-tanya, apakah dedikasi yang diberikan ada artinya bagi perusahaan? Seberapa berbedakah mereka yang masih bekerja dengan yang baru saja diberhentikan, untuk menjamin mereka tak mengalami hal serupa di masa depan?

Turnover intention karyawan Indonesia

Alasan Pegawai Bertahan dalam Perusahaan

Pertanyaan semacam ini masuk akal terjadi dengan adanya tingkat pengangguran sebesar 14,8% pada Agustus 2020 (source: Quantum Workplace). Pertanyaan yang sebelumnya disingkirkan oleh 81% pegawai, berdasar survey, yang menyatakan sangat sulit untuk meninggalkan pekerjaan mereka saat ini dan tidak terbayangkan untuk pindah kerja. Alasan yang mendasari mengapa hingga 81% merasa ragu untuk pindah atau mengundurkan diri ini bervariasi: 

  1. ketidak-pastian untuk mendapatkan pekerjaan dengan fasilitas/tunjangan/gaji serupa
  2. kebutuhan finansial yang tidak dapat ditutup dalam masa transisi setelah pengunduran diri hingga diterima kerja
  3. keraguan mendapatkan pekerjaan atau posisi yang setidaknya sama dengan saat ini
  4. kesulitan membagi waktu untuk mencari pekerjaan di sela-sela kesibukan pekerjaan yang telah ada sekarang.

Alasan-alasan ini kini dikompromikan seusai PHK yang terjadi di masa pandemi: tak dipungkiri bahwa mencari pekerjaan itu sulit, tetapi apa ada jaminan yang memastikan Anda dapat terus dipekerjakan?

 

Mau tak mau komunitas pekerja kini memiliki pertimbangan lebih dalam beban pikiran mereka sejak pandemi terjadi. Kebanyakan kini berpikir tentang kesetiaan pada perusahaan ataupun jaminan keamanan bahwa pekerjaan mereka tidak seketika lenyap saat pandemi merebak. Pemikiran-pemikiran semacam ini yang kemudian berujung pada turnover intention, kondisi dimana pegawai tidak lagi berdedikasi pada pekerjaannya namun juga belum mengundurkan diri dari perusahaan. Jika sebelumnya 81% masyarakat pekerja menyatakan keberatannya untuk meninggalkan status kepegawaiannya, angka ini kini turun ke 74%. Keraguan mencari pekerjaan mulai dipengaruhi dengan bayang-bayang PHK yang dapat terjadi.

 

Apa itu Turnover Rate dan Turnover Intention?

Turnover intention ini berdampak negatif pada produktivitas sebuah perusahaan, dimana pegawai tetap ada namun tidak lagi menunjukkan performa yang maksimal. Tidak sebatas pada keinginan saja, turnover rate atau persentase pengunduran diri/PHK membuat perusahaan harus menghabiskan lebih banyak biaya untuk mengadakan perekrutan, pelatihan pegawai baru, dan waktu yang dihabiskan untuk masa transisi pegawai. Sebagai contoh, turnover rate di industri digital di Indonesia mencapai 19,22% (sumber: iNews). Dapat dikatakan 19 dari 100 orang keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dengan berbagai alasan. Tidak hanya industri digital, turnover rate industri perbankan pun mencapai 15% (sumber: bisnis.com).

 

Harga Mahal Pergantian SDM

Berdasarkan survey SHRM diperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk menggantikan satu pegawai dapat berubah sangat drastis berdasarkan industri, posisi, atau kemampuan yang diperlukan untuk menggantikan pegawai yang baru saja resign. Biaya ini diperkirakan menghabiskan 1,5x hingga 2x dari gaji pegawai yang keluar. Dengan turnover rate setinggi 15-19,22%, dapat diperkirakan biaya yang dihabiskan untuk melatih pegawai baru untuk menggantikan staff ahli perusahaan.

 

Biaya yang keluar, baik karena banyaknya pegawai yang mengundurkan diri (turnover rate) ataupun tingginya keinginan untuk keluar (turnover intention) merugikan perusahaan baik secara finansial dan produktivitas. Banyak tempat kini menjadikan rendahnya turnover rate sebagai salah satu target untuk dicapai. Tidak hanya bisnis skala besar ataupun menengah, start up pun kini menjadikan turnover rate sebagai tolak ukur kepuasan karyawan dan sehatnya lingkungan kerja. Sebagaimana Prieds, salah satu start up yang bergerak di bidang digital, juga menargetkan turnover rate pegawainya kurang dari 5% di 2022 ini. Inilah alasan mengapa sebagai pelaku bisnis, kesejahteraan pegawai menjadi salah satu indikator yang perlu diperhatikan.



Ikuti tulisan menarik Gabriel Chamelia Sudibyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu