x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Rabu, 16 Februari 2022 12:07 WIB

Ancaman Kedaulatan Agraria dalam Insiden Wadas

Desa Wadas dikelilingi sumber daya alam yang melimpah dan bernilai ekonomis bagi warga. Prospek pendapatan dari berbagai komoditas di sana mencapai Rp 8,5 milyar/tahun apabila dikelola semaksimal. Namun kekayaan sumber daya alam di Wadas memicu prahara berkepanjangan dalam konflik agraria. Keberadaan batu andesit menjadi pemicu munculnya rencana penambangan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Tapi warga menolak rencana ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemberitaan mengenai kedatangan aparat kepolisian dari Polisi Resor (Polres) Purworejo menuju Desa Wadas pada hari Selasa, 8 Februari, lalu menjadi trending topic bagi masyarakat Indonesia. Kejadian tersebut di satu sisi kembali memberikan sinyal buruk bagi kedaulatan masyarakat lokal, khususnya di Desa Wadas yang terletak di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Kedatangan aparat kepolisian ke desa tersebut pada mulanya ditujukan untuk mengawal anggota Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang hendak mengukur tanah di desa tersebut. Pengukuran tanah tersebut tujuan akhirnya ialah untuk survei beberapa lahan yang akan digunakan untuk pembangunan tambang andesit oleh pemerintah pusat. Tambang andesit yang akan dibangun di desa Wadas ini akan digunakan sebagai sumber bahan baku utama pembangunan Bendungan Bener. Bendungan tersebut sedianya akan dibangun di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, untuk menyediakan listrik dan sumber air di tiga wilayah di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Purworejo, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Kebumen. Bendungan ini juga akan digunakan sebagai infrastruktur pendukung bagi pembentukan ratusan hektar lahan sawah yang akan digarap dalam beberapa waktu mendatang.

Proyek besar ini sejatinya tidak lepas dari keberadaan program Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada awal kepemimpinan periode ke-2 nya. Program itu dicanangkan Jokowi sebagai upaya mendongkrak perekonomian negara dan pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia. Ini juga menjadi kelanjutan dari program serupa yang telah diundangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, sehingga proyek ini seolah menjadi magnum opus Jokowi pada periode keduanya, khususnya dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepintas, pembangunan tambang andesit ini akan menguntungkan masyarakat Wadas karena memberikan lapangan kerja bagi warga  sekitar. Tambang yang nantinya akan digunakan dalam mendukung pembangunan Bendungan Bener tersebut akan meningkatkan pendapatan warga Purworejo secara signifikan. Selain itu juga pasokan air melimpah untuk wilayah di sekitarnya. Apabila pembangunan bendungan tersebut berhasil mencapai waktu yang telah ditargetkan, maka keuntungan simbolis juga akan diterima masyarakat Wadas, karena pemerintah akan mencanangkan bendungan tersebut sebagai bendungan tertinggi di Indonesia dengan proyeksi ketinggian mencapai 159 meter.

Namun, pembangunan struktural yang digembor-gemborkan pemerintah kembali memperlihatkan ilusinya yang destruktif. Sebab, penambangan andesit yang akan dilakukan di Wadas menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Hal itu tentu akan memarjinalkan kehidupan masyarakat Wadas dalam beberapa waktu mendatang.

Perlu diketahui desa Wadas dikelilingi oleh sumber daya alam yang melimpah dan tentu bernilai ekonomis bagi setiap pelaku ekonomi di wilayah tersebut. Di sana, misalnya, ada komoditas akasia, mahoni, dan lain sebagainya. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mencatat prospek pendapatan dari semua komoditas di Wadas akan mencapai Rp 8,5 milyar/tahun apabila dikelola semaksimal mungkin melalui pengelolaan masyarakat yang berbasiskan pada kearifan lokal.

Namun kemudian, kekayaan sumber daya alam di Wadas disatu sisi telah memicu prahara berkepanjangan terkait konflik agraria. Keberadaan batu andesit menjadi alasan di balik munculnya penambangan andesit oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Tanpa adanya Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk keperluan pembangunan Bendungan Bener dan penambangan yang dipaksakan kapitalis swasta kendati bermasalah dari aspek AMDAL, hanya akan berdampak buruk pada penutupan 27 sumber air. Juga akan terjadi kerusakan alam di wilayah tersebut. Penambangan di desa Wadas ini di satu sisi menunjukkan kembali karakter negara yang cenderung memaksakan pembangunan secara massif. Pemerintah tak memperhatikan kedaulatan masyarakat atas tanah dan aspek pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah.

Ilusi tersebut semakin nyata dengan keterlibatan aparat kepolisian hanya untuk pengawalan atas pengukuran tanah. Kehadiran aparat negara ini seolah digunakan sebagai justifikasi pemerintah untuk proyek tersebut. Kehadiran mereka juga sedari awal ditujukan saat berhadapan vis-à-vis dengan masyarakat Wadas yang menolak tambang di wilayah mereka, mulai dari pengepungan masjid oleh aparat, razia ponsel warga, penangkapan 64 warga oleh kepolisian.

Nampak jelas bahwa masyarakat kembali dipertontonkan konflik agraria antara negara dengan masyarakat sekaligus represivitas aparat kepolisian yang jauh dari visi Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk memperbaiki aparat kepolisian secara sistemik. Tidak hanya konflik frontal antara negara dengan masyarakat, bayang-bayang aliansi bisnis-politik kembali menguat perihal penambangan andesit di Wadas. Proyek ini hanya merupakan intrik dari pemerintah untuk menarik berbagai pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur. Derasnya investasi dari swasta akan menjadi prioritas pemerintah untuk mendapatkan insentif besar bagi pembangunan. Jadi, proyek tersebut kembali dibayangi oleh kuasa oligarki di belakangnya dan sekaligus hanya menguntungkan sebagian pihak apabila proyek tersebut telah beroperasi secara penuh

Logika pembangunan ini kemudian kembali dielaborasikan dengan keterlibatan aparat kepolisian yang diterjunkan hanya untuk mengawal pengukuran tanah. Ini bisa dibaca pengawalan mereka bukan hal yang semestinya diperlukan dalam keperluan survei. Pengawalan tersebut hanya memberikan kesan aparat kepolisian adalah aparat represif yang bekerja atas nama pembangunan. Dampaknya sudah terlihat melalui penangkapan 64 warga desa Wadas sekaligus trauma yang dialami anak-anak Wadas untuk keluar rumah.

Fenomena di Wadas ini seolah menjadi lembaran buku yang kesekian kalinya dalam sejarah konflik agraria di Indonesia. Sebagai negara yang dianugerahi kekayaan alam dan tanah yang luar biasa, konflik tersebut semestinya tidak mendapatkan tempat di negara ini. Kekayaan bumi Indonesia pun sejatinya harus dikelola semaksimal mungkin hanya untuk kesejahteraan rakyat. Sekali lagi, hanya untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun demikian, seiring masifnya investasi dan kebijakan pembangunan yang menganut konsep neoliberalisme, maka kebijakan dan regulasi yang dibuat hanya akan bercokol pada aliansi bisnis-politik antara pemerintah, pengusaha, dan para oligarki di dalamnya. Di satu sisi ini akan mendorong terjadinya perampasan kekayaan alam secara sporadis hanya untuk kepentingan mereka semata.

Tidak hanya pembangunan ala neoliberalisme, terbitnya Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal sebagai Omnibus Law menjadi penegas keberpihakan pemerintah terhadap investasi dan tata kelola swasta dalam pembangunan. Ini justru menihilkan partisipasi masyarakat dan penghormatan akan keanekaragaman hayati di Indonesia. Pelaksanaan undang-undang ini kemudian juga menjustifikasikan tindakan pemerintah dalam pembangunan secara masif tanpa memperhatikan berbagai latar belakang yang ada. Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan koersif dalam mengamankan proyek tersebut, sehingga konflik agraria kembali meningkat pesat. Dalam konflik ini pemerintah dibeking oleh korporasi melawan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan yang sah akan kekayaan alam tempat mereka tinggal.

Terkait keterlibatan aparat kepolisian untuk pengamanan proyek dan sekaligus menekan kelompok sipil yang jelas menentang proyek tambang di desa Wadas, Louis Althusser telah menggagas teori tentang apparatus negara yang represif.  Dikatakan, aparat keamanan diposisikan sebagai bawahan milik negara yang dapat digelar secara serempak oleh negara untuk mengamankan kepentingannya. Tindakan koersif pun juga dilegalkan untuk mendukung pengamanan tersebut.

Penggunaan represivitas aparat sejatinya tercermin dari karakter rezim sebagai tuannya. Negara, menurut Althusser, sejatinya diposisikan sebagai “kepanjangan tangan” dari kaum kapitalis-oligarki di dalamnya. Negara hanya akan mengejar apa yang hendak diinginkan oleh kaum tersebut tanpa peduli konsekuensinya kepada rakyat.

Sementara negara yang merupakan otoritas politik legal dalam suatu masyarakat, maka penggunaan kekerasan atas nama negara akan dianggap sah meski penggunaannya hanya sekedar untuk melanggengkan kuasa dan kepentingan negara yang bahkan tidak selaras dengan tujuan bernegara itu sendiri. Hal ini jelas menjadi pelanggaran bagi kedaulatan agraria di Indonesia secara spesifik, dimana rakyat sebagai konstituen yang berdaulat dalam demokrasi juga senantiasa diberikan kewenangan dan kedaulatan atas tanah dan sumberdaya alam yang dimilikinya. Esensi dari keduanya adalah berperan sebagai sumber penghidupan utama masyarakat. Kedaulatan tersebut kemudian direpresentasikan sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur pokok-pokok kedaulatan rakyat dalam perspektif agraria. Di sana diatur hak rakyat untuk mengelola tanah dan sumber daya secara swakelola untuk kesejahteraan bersama. Pemerintah hanya diamanatkan sebagai perantara untuk mencapai kesejahteraan tersebut.

Disamping itu, kedaulatan agraria di Indonesia sendiri juga sejatinya menjadi identitas masyarakat Indonesia dalam beraktivitas ekonomi. Jadi, setiap kegiatan ekonomi masyarakat yang melibatkan interaksi individu dengan alamnya – baik pertanian, peternakan, hingga kelautan – harus memberikan keleluasaan penuh bagi masyarakat untuk mengelola alam mereka sesuai pengetahuan lokal yang arif. Mereka juga harus mendapatkan kepastian hukum dari pemerintah dan menjamin independensi setiap pelaku ekonomi supaya tanah dan sumber daya alam dibawahnya dapat dikelola secara komprehensif dalam memakmurkan diri mereka sendiri. Juga dalam hal pengelolaan berwawasan lingkungan untuk mencegah kerusakan alam.

Namun demikian, berkaca dari fenomena di Wadas yang dibaca berdasar pendekatan pembangunan berkiblat pada neoliberalisme dan developmentalisme semata, maka kedaulatan agraria menjadi hal yang tidak mudah untuk diperjuangkan masyarakat Indonesia. Perjuangan mereka juga akan menemukan berbagai tantangan yang besar seiring berjalannya waktu. Meski berat, namun perjuangan tetap harus digelorakan oleh kita semua selaku masyarakat sipil. Perjuangan untuk membela kedaulatan ini juga akan menjadi batu pijakan perilaku kita untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman kerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM untuk beberapa tahun mendatang.

 

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler