x

DPR

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 17 Februari 2022 12:42 WIB

Rakyat Hebat, Hanya untuk Atas Nama?

Sandiwara pemilihan Komisioner KPU dan Bawaslu telah menuju adegan pelantikan. Setelah itu, adegan berikutnya pun akan berlanjut, sebab dari mana asal 7 anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu juga sudah diketahui oleh rakyat, dari mana mereka berasal. Setelah itu, sasaran berikutnya adalah rakyat. Kata-kata: Demi rakyat. Atas nama rakyat. Untuk rakyat. Untuk sosial. Untuk Kepentingan Masyarakat, dan sejenisnya, hingga kapan pun akan terus dijadikan senjata, lho. Hebatnya rakyat. Tapi...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2022-2027 ditetapkan Komisi II DPR, Kamis (17/2/2022) dini hari. Pun Lima anggota Bawaslu, juga diketok palu. Kemudian nama-nama tersebut akan diserahkan kepada Presiden untuk dilantik.

Tahukah rakyat? Dibalik terpilihnya mereka ada sandiwara apa? Ingat orang-orang yang kini duduk di parlemen hingga Presiden, siapa yang memilih? Siapa operator pemilihan mereka? Bukankah KPU dan Bawaslu? Tapi, kini mereka memilih anggota KPU dan Bawaslu di saat rakyat negeri ini tahu, bahwa siapa yang kini yang sedang menjadi penjajah baru Indonesia. Dan terus berupaya merebut dan mempertahankan jajahannya.

Yah, sandiwara KPU dan Bawaslu telah menuju adegan pelantikan. Setelah itu, adegan berikutnya pun akan berlanjut, sebab dari mana asal 7 anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu juga sudah diketahui oleh rakyat, dari mana mereka berasal. Setelah itu, sasaran berikutnya adalah rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata-kata: Demi rakyat. Atas nama rakyat. Untuk rakyat. Untuk sosial. Untuk Kepentingan Masyarakat, dan sejenisnya, hingga kapan pun akan terus dijadikan senjata oleh orang-orang dan pihak-pihak yang menjalankan aksi program dan kegiatan yang sejatinya hanya sebagai bungkus. Tetapi, di balik itu, tujuan utamanya adalah untuk kepentingan dirinya sendiri, kelompok, dan golongannya.

Bahkan, mirisnya, orang-orang dan pihak-pihak yang dalam menjalankan program dan kegiatan yang memakai atas nama rakyat dan masyarakat, sudah sangat dikenal tabiatnya, karakternya, sifatnya, dan perilakunya oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Pun diketahui oleh para sejawatnya.

Jadi, bila orang-orang atau pihak-pihak yang sudah diketahui rahasia dapurnya, mereka akan beraksi menjalankan program atau kegiatannya dengan ke luar dari zona tak nyaman. Lalu, mencari zona nyaman yang masyarakat lain tidak tahu latar belakang dan rahasia dapurnya.

Dengan begitu, orang-orang dan pihak-pihak yang tujuannya hanya mencari nama, ketenaran, keuntungan pribadi, hingga elektabiltas, akan terus menggunakan kata-kata: Demi rakyat. Atas nama rakyat. Untuk rakyat. Untuk sosial. Untuk Kepentingan Masyarakat, dan sejenisnya, sampai kapan pun, sebelum rakyat dan masyarakat merasa tertipu dan ditipu.

Di dunia politik, rakyat?

Lihatlah di dunia politik kita. Dalam menjalankan demokrasi, karena demos artinya rakyat, kratos maknanya pemerintahan, maka kata rakyat selalu dan pasti, disebut oleh hampir semua elite politik di aneka pidato, talk show, atau iklan politik.

Tetapi, faktanya, rakyat adalah sebuah nama tanpa eksistensi, yang hanya disebut, tapi tidak eksis. Rakyat adalah kategori paling utama dalam politik demokratis sehingga motif utama politik adalah demi rakyat.

Dengan begitu, rakyat selalu disebut tapi tak ada eksistensinya, diberi nama tapi tak punya ruang sosial, ditempatkan tapi tak punya bagian, disuarakan tapi tak punya suara, dihitung tapi tak ada harganya, persis seperti ungkapan Jacques Ranciere, seorang filsuf asal Prancis yang mendalami mengenai politik dan estetika yang pendapatnya sering menjadi acuan berbagai pihak dalam urusan politik khususnya menyangkut rakyat.

Rakyat terus dijadikan alat legitimasi demi memuluskan segala akal licik. Kata rakyat jadi alibi, jadi media testimoni untuk citra kekuasaan, prestasi elite dan pemerintah, alat isu kapasitas intelektual dan kepemimpinan, via survei yang juga sudah diskenario dan disutradara.

Karenanya, bila logika demokrasi yang benar, segala bentuk tindakan demi rakyat. Keadaannya kini di balik menjadi segala bentuk penyebutan, penamaan, dan pengerahan rakyat demi elite politik. Rakyat kini direduksi menjadi bahan baku politik dalam iklan, pidato, spanduk, poster, talk show. Tetapi tanpa ada realisasinya dalam dunia nyata. Rakyat tetap miskin ilmu, miskin harta, menderita, dan terus merasakan ketidak-adilan.

Demokrasi yang seharusnya, kekuasaan di tangan rakyat, kini bekerja sebaliknya, kekuasaan memanfaatkan rakyat.

Demos menjadi mitos, karena yang katanya untuk dan atas nama rakyat, wujudnya selalu cerita, khayal, mimpi. Rakyat hanya dan terus dijadikan alat demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Rakyat bukan pemegang kekuasaan.

Menjelang Pemilu 2024, ada dua paradigma politik yang bersaing, dalam relasinya dengan eksistensi rakyat.

Rakyat pun tetap dibikin bodoh dan menderita, agar mudah digiring untuk menentukan pilihan politik yang dibikin harus merasa membalas budi. Padahal, apa yang diberikan dalam upaya menggiring dengan iming-iming dan pemberian, juga memakai uang rakyat. Rakyat tak sadar terus dibikin bodoh dan menderita, karena kebodohan dan penderitaan, adalah bahan baku politik itu sendiri sebagai jualan untuk janji-janji agar rakyat tergiring dan masuk perangkap.

Contohnya, dilakukan dengan datang dan berkunjung ke ruang-ruang terpencil, kumuh, sumpek, dan bau, untuk mendengarkan keluhan, keinginan, dan aspirasi mereka. Luar biasa.

Banyak yang terinspirasi

Akibat dunia politik yang selalu mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, kelompok, golongan, partai, dinasti, dan oligarki, rakyat pun jadi ikut-ikutan.

Ada perorangan atau kelompok atau grup yang bikin kegiatan sosial dalam bentuk atas nama pribadi atau yayasan, dengan berbagai kedok. Tetapi, dasarnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok atau grupnya dll, karena biar dapat nama, dapat penghargaan, dapat bantuan, dapat sponsor dll.

Sayangnya, perorangan atau kelompok atau grup yang bikin kegiatan sosial dalam bentuk atas nama pribadi atau yayasan, dengan berbagai kedok ini, banyak yang tak sadar dan tak mengukur diri, sebab sepak terjang dan dapurnya,, sudah banyak diketahui oleh masyarakat karena memang tak ikhlas dan hanya mencari keuntungan untuk perorangan atau kelompok atau grupnya dll.

Atas kondisi tersebut, agar tak terus dimanfaatkan, kita sebagai rakyat, teruslah belajar agar memahami dunia dan isinya serta perkembangannya, plus segala perilaku manusianya.

Ingat, kebodohan dan penderitaan sepertinya memang sengaja dicipta agar mereka terus dapat memanfaatkan rakyat demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sebab, lewat kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan adalah aset mereguk suara untuk kursi = kedudukan. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu