x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 2 Maret 2022 08:08 WIB

Usulan Penundaan Pemilu, Krisis Moralitas Politisi

Usulan penundaan pemilu oleh sejumlah politisi sama artinya mengabaikan hak konstitusional rakyat memilih pemimpin. Para politisi lebih memilih melecehkan fatsoen politik ketimbang menghormati konstitusi. Usulan penundaan juga memperlihatkan adanya problem serius moralitas politik kaum elite. Mereka mengatasnamakan pendapat sedikit orang lalu mengklaim sebagai keinginan rakyat banyak. Negeri ini krisis negarawan. Yang ada hanya para politisi pemburu kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Usulan penundaan pemilihan umum 2024 semakin memperlihatkan betapa konstitusi hanya dijadikan alat legitimasi terhadap kepentingan dan kebutuhan elite. Konstitusi hendak diubah demi memenuhi hasrat kekuasaan yang tidak kunjung ada batasnya. Ketika batas waktu berkuasa nyaris tiba karena dibatasi oleh UUD, konstitusi pun hendak diubah untuk memperpanjang batas waktu itu.

Apakah para elite politik tidak memahami konstitusi? Rasanya mereka tahu bahwa konstitusi telah membatasi masa jabatan kepresidenan hanya dua periode. Jabatan-jabatan politis lain juga mengikuti aturan periodisasi melalui pemilihan umum. Masa jabatan presiden tidak boleh tiga periode dan tidak boleh ada perpanjangan masa jabatan. Elite tahu pembatasan kekuasaan oleh konstitusi ini, tapi usulan penundaan itu menunjukkan bahwa mereka memang mengabaikan fakta tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menunda pemilu berarti menangguhkan hak konstitusional rakyat untuk memilih pemimpin. Menunda pemilu juga dapat melahirkan konsekuensi perpanjangan masa jabatan presiden dan wapres. Pemegang jabatan lainnya, seperti pimpinan DPR/DPD/MPR maupun kepala daerah, mungkin juga kepingin diperpanjang. Institusi apa yang berwenang memperpanjang masa jabatan itu, karena selama ini konstitusi menetapkan presiden dipilih melalui pilpres? Bagaimana mekanismenya?

Tentang apa landasan dan bagaimana mekanismenya, niscaya elite politik dapat mencarikan 100 alasan untuk membenarkan langkah tersebut dan mencari dukungan pakar hukum. Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, sudah menyampaikan tiga alasan, sedangkan Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, menyodorkan enam alasan. Airlangga Hatarto, Ketua Umum Golkar, mengaku akan menyalurkan aspirasi petani di Siak. Siapa lagi ketua umum partai yang akan mengikuti jejak langkah mereka?

Alasan-alasan mereka memperlihatkan bahwa tidak ada pijakan yang sangat kuat dan mendasar untuk menunda penyelenggaraan pemilu. Alasan tersebut cenderung mengada-ada hanya untuk pembenaran belaka. Sungguh memprihatikan, elite politik menyingkirkan fatsun atau etika politik demi mencapai tujuan kekuasaan. Jika aturan konstitusi dianggap merintangi tercapainya tujuan, lantas konstitusi yang diubah. Salahkah bila tindakan seperti itu disebut ‘tujuan menghalalkan cara’? Bahwa cara apapun akan ditempuh asalkan tujuan dapat tercapai. Terlihat bahwa mereka belum mencapai tataran negarawan yang menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan kelompok maupun individu.

Usulan penundaan juga memperlihatkan adanya persoalan moralitas politik di kalangan kaum elite. Mereka mengatasnamakan pendapat sedikit orang lalu mengklaim pendapat itu sebagai keinginan rakyat banyak. Tindakan seperti ini mengingatkan pada praktik Orde Baru menjelang pemilu dilaksanakan. Berbagai organisasi dan pihak lain didorong-dorong untuk menyuarakan dukungan agar Presiden Soeharto dipilih kembali, hingga dikenal istilah yang sangat populer: ‘kebulatan tekad’. Lalu Presiden Soeharto memberikan jawaban yang juga populer: ‘bila rakyat menghendaki’. Elite berusaha menciptakan kesan bahwa usulan pemilihan kembali Presiden Soeharto itu berasal dari rakyat bawah.

Mengubah isi konstitusi hanya untuk melegitimasi kekuasaan bukanlah tindakan etis. Para ahli hukum juga sudah menyampaikan pandangan bahwa secara moral rencana tindakan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jika rencana penundaan pemilu, yang diikuti perubahan isi konstitusi, dan berkonsekuensi perpanjangan masa jabatan presiden—maupun pimpinan dan anggota institusi negara lainnya—kerusakan yang terjadi akan parah. Aturan konstitusi ditabrak lalu diakali secara bersama-sama. Memilih pemimpin adalah hak konstitusional rakyat yang harus ditunaikan dan tidak boleh ditunda, apa lagi dengan alasan-alasan lemah seperti dikemukakan para ketua partai itu.

Penundaan pemilu melahirkan konsekuensi yang tidak baik, di antaranya kepercayaan rakyat terhadap institusi negara berpotensi semakin merosot, karena rakyat melihat bahwa sekalipun konstitusi telah disusun untuk membatasi kekuasaan, ternyata para pimpinan institusi—termasuk partai politik—tetap melanggarnya. Institusi negara disalahgunakan oleh kaum elite untuk mencapai tujuan kekuasaan dengan menjadikan masa depan bangsa dan negara sebagai tujuan sekunder.

Elite tidak menunjukkan komitmen untuk menjaga konstitusi agar negara berjalan di rel yang benar menuju demokrasi yang semakin matang, melainkan malah berusaha keras membalikkanya kembali ke masa lampau sebelum 1998. Menjadi jelas bahwa gangguan-gangguan terhadap pendewasaan demokrasi kita bukan berasal dari rakyat, melainkan dari kaum elite yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri. Mereka menunggangi partai politik maupun institusi negara demi meraih tujuan sendiri dengan membangun klaim-klaim dukungan dari bawah.

Kaum elite lupa bahwa pergantian kepemimpinan itu proses alamiah. Kepemimpinan tumbuh silih berganti, jangan kemudian dipaksakan untuk menindas kemunculan tunas-tunas baru kepemimpinan. Negeri ini tidak akan runtuh hanya karena pergantian kepemimpinan. Sebaliknya, penundaan pergantian kepemimpinan yang dipaksakan oleh elite hanya akan menimbulkan komplikasi persoalan yang merusak masa depan bangsa. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler