x

Ilustrasi dinasti oligarki. Sumber foto: jejakrekam.co.id

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Kamis, 10 Maret 2022 11:23 WIB

Ijon Politik Membentuk Iklim Birokrasi Korup di Aras Lokal

Sifat korupsi selalu berkelanjutan. Sebuah kasus korupsi yang berhasil diungkap, bakal merambat ke kasus lain dengan aktor intelektual sama maupun berbeda. Ada yang semula tak terlibat, ternyata ikut main di kasus lain. Ini layaknya rantai yang bertaut temali dalam roda kekuasaan pemerintahan. Hal ini, antara lain, terlihat dalam praktik korupsi kepala daerah di Kota Batu pada 2017 lalu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap perbuatan korupsi selalu menyisahkan jejak korupsi selanjutnya, begitupun dengan penindakannya yang penuh teka-teki. Siklus ini terus terjadi pada setiap kasus korupsi di berbagai daerah di tanah air. Kota Batu misalnya, pada tahun 2017, Kepala Daerahnya, Edy Rumpoko ditangkapk oleh KPK atas perbuatan suap yang melibatkan seorang pengusaha, Filipus Djap, dan satu pejabat lainnya di lingkang pemerintahan Kota batu, Edi Setiawan. Mereka divonis bersalah oleh pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan rakyat.

Meski begitu, bukan berarti agenda pemberantasan koripsi di Kota Batu telah berakhir, sebaliknya OTT hanyalah penanda dimulainya pengusutan kasus lebih lanjut. Dimana, pada 9 November 2021 lalu, Komisi  pemberatasan Korupsi (KPK) kembali mendakwakan eks Walikota Batu, Edy Rumpoko dalam dugaan kasus gratifikasi. menurut KPK, gratifikasi tersebut diterima dari sejumlah pihak selama dua periode masa jabatannya. Dalam kesempat yang sama, KPK juga menyebut sejumlah nama yang diduga sebagai pelaku pemberi gratifikasi, baik dari pihak pejabat daerah maupun pihak swasta. Kasus ini sedang berlangsung hingga kini dengan agenda pemeriksaan sejumlah saksi oleh Pengadilan Tipikor Jatim.

Perkara ini sebetulnya merupakan tindak lanjut dari penggeledahan yang dilakukan oleh KPK pada sekirar bulan januari 2021 lalu. KPK menggeledah sejumlah kantor Organisasi perangkat Daerah (OPD) beserta ruang kerja walikota, Dewanti Rumpoko. bahkan, KPK juga menggeledah rumah dinas walikota dan salah satu tempat hiburan di kota Batu. Dari penggeledahan itu, KPK Menemukan sejumlah dokumen penting yang akan dipelajari lebih lanjut. Dokumen tersebut diduga berkaitan dengan sejumlah proyek pengadaan dan perizinan. Dua sektor dominan yang sering menjadi objek korupsi dalam strukur politik dilingkungan birokrasi pemerintahan daerah termasuk di Kota Batu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Korupsi Politik

Secara umum, korupsi politik dipahami sebagai penyimpangan kinerja orang-orang yang ada didalam sistem politik, dan tujuan dari perilaku korup mereka adalah untuk mempertahankan cengkraman kekuasaan yang mereka pegang. Oleh karena itu, korupsi politik adalah untuk memupuk harta kekayaan, baik bagi pribadi atau kelompok dengan tujuan agar kekuasaan semakin mapan.

Bentuk korupsi politik selalu melibatkan dua entitas yang saling membutuhkan, politisi dan pengusaha. Lebih lanjut, korupsi kadang didasari oleh kerakusan yang berlebihan terhadap sumberdaya materil, namun tak dapat disangkal, ia juga terjadi karena kebutuhan pembiayaan kekuasaan yang begitu besar dalam sistem demokrasi. semakin tinggi jenjang kekuasaan yang hendak diperoleh, biaya untuk mendapatkannya jauh lebih besar dan untuk itu, sang oligark harus menggunakan otoritas kekuasaannya untuk mengembalikan harta yang telah di buang untuk membayar kekuasaan yang diperoleh, (Patittingi dan Jurdi, 2016: 64). (patittingi dan jurdi, 2016: 63).

Dalam konteks kasus di Kota Batu, hubungan Korupsi Politik semacam ini juga mudah dipelajari. Salah satunya melalui Putusan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Pertama PN Surabaya. Sebai contoh, dalam dokumen tersebut dijlaskan bahwa Edy Rumpoko pernah meminta Edy Setyawan untuk datang ke rumah seorang pengusaha berinisial (Y) untuk mengambil uang sebesar 5 Milyar. Uang tersebut akan digunakan untuk mendanai kampanye Istrinya pada Pilkada Kota batu tahun 2017.

Dugaan aliran dana Kampanye tersebut diperoleh melalui rapat pada bulan April atau Mei tahun 2017, rapat tersebut dipimpin oleh Walikota Batu yang dihadiri oleh swasta, rekanan inisial Y, Fhilipus Djap, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM dengan agenda membahas pembagian fee dengan perhitungan 7-10% (tergantung bobot pekerjaan) untuk Walikota, 2,5% untuk SKPD. Lebih lanjut, kesaksian ES dalam rapat tersebut juga menerangkan bahwa, "Para Kepala Dinas yang saya ketahui pernah dijelaskan tentang pola pembagian fee tersebut antara lain, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum”. Pertemuan itu bukan tanpa maksud, sebaliknya merupakan rangkaian penting untuk memutuskan kepentingan transaksional diantara mereka.

Perihal bentuk keuntang seperti apa yang telah diterima oleh para aktor dalam aliansi korup di atas, penulis membaginya dalam dua hal. Pertama. Sebagai penguasa politik, Edy Rumpoko akan menerima keuntungan berupa sejumlah komisi, baik perupa uang maupun akses lainnya sebagai kompensasi dari setiap keputusan politiknya. Perihal nilai komisi yang diterima, KPK dalam persidangan dengan terdakwa Edy Rumpoko pada perkara gratifikasi menjelaskan bahwa, Tterdakwa selama dua periode masa jabatannya antara 2007-2012 dan 2012-2017 menerima uang gratifikasi sebesar 46.8 Milliyar. dari jumlah tersebut, sebanyak 5 Milliyar diantaranya merupakan pemberian dari seorang kontraktor untuk kepentingan pembiayaan kampanye Isteri terdakwa (walikota Batu sekarang) yang terpilih pada pilkada 2017 lalu.

 Kedua, dari pihak pengusaha,  keuntungan yang diperoleh diantaranya, kemudahan izin bagi investor untuk memperluas modalnya melalui berbagai bentuk usaha disekto pariwisata. Sementara bagi para kontraktor mendapat sejumlah kontrak proyek di lingkungan pemerintahan kota batu. Sebagai missal, seorang investor kelas kakap yang memiliki kerajaan bisnis wisata di batu dengan gampang membangun industri wisatanya meski melanggaran aturan tata ruang sekalipun, seperti: pembangunan Predaror Fun Park, Kemudahan serupa juga diberikan pengusaha perhotelan dan property. Misalnya pembangunan hotel The Raydja yang mengancam kawasan sumber dan perlindungan setempat, dan Perumahan Mutiara Residence/regency pada tahun 2015 sebanyak 7 (tujuh) unit rumah, tahun 2016 sebanyak 49 unit rumah, dan tahun 2017 sebanyak 58 unit rumah, (Baca: LHP PPK Jatim, 2020). 

Selanjutnya dari pihak kontraktor, keuntungan yang diterima dari pemberian gratifikasi kepada penguasa politik adalah memenangkan sejumlah tender proyek pemerintah. Sebagai contoh, kontraktor Y memenangkan 6 Paket Pekerjaan selama 2017 menggunakan dua perusahaan sekaligus. PT. CKMT mengerjakan 4 proyek dan CV MB mengerjakan 2 proyek. Kontraktor lain adalah MZI, seorang kontraktor yang juga diduga memberi sejumlah komisi kepada terdakwa dan mengerjakan tiga proyek di pemkot Batu selama 2016. Seperti, proyek pembangunan taman kontor Block Office.

Artinya, pembiayaan politik yang begitu besar dalam sistem demokrasi elektoral hari ini memungkinkan para kandidat menggalang dukungan sebanyak mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan pembiayaannya, oleh karenanya mereka menggunakan cara-cara yang praktis dan cepat dengan membentuk aliansi bersama para pengusaha. Tentu dengan kesepakatan-kesepakatan yang saling mengungtungkan. cerita pertalian korupsi di atas cukup menggambarkan situasi kekuasaan terfagramentasi oleh hubungan-hubungan pertukaran sumberdaya. Dalam konteks politik, hubungan semacam ini salah satunya dipraksisnya dengan cara-cara mengijonkan kekuasaan atau disebut ijon politik.

Dalam sebuah penelitian berjudul ljon Politik Izin Usaha Pertambangan dalam bentuk Dalam  Patronase dan Klientalisme pemilukada Kalimantan Timur 2018” Habibi, menjelaskan bahwa, politik ijon terjadi karena adanya kesepakatan antara pengusaha atau korporasi sebagai penyandang dana politik dengan para politisi (kandidat, parpol, timses) yang berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah. Bantuan dana politik inilah yang kemudian hari "dibayar" oleh para politisi pemenang pemilu dengan memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana, mulai dari kelancaran perizinan jaminan politik dan keamanan, pelonggaran kebijakan dan kelonggaran pajak, pengkondisian tander proyek sampai dengan pembiaran pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara (Habibi, 2018:40).

 

Relasi Korup di lingkungan birokrasi.

Korupsi birokrasi ditandai dengan sejumlah tindakan para birokrat dalam melayani rakyat secara tidak profesional, tidak transparan dan akuntabel. Sementara tata kelola birokrasi berlangsung tidak memadai sehingga memungkinkan kejahatan korupsi dilingkungan birokrasi begitu terstruktur, (Patittingi dan Jurdi, 2016). Demikian halnya di Kota Batu, praktik korupsi birokrasi selalu beririsan dengan kekuuasaan politik kepala daerah dalam mengintervensi berbagai program, terutama pada sektor pengadaan barang dan jasa. Akibatnya, terjadi monopili pengadaan, temuan berulang, dan kekurangan volume pada sejumlah proyek yang dkerjakan menjadi praktik lazim di Kota Batu.

Malang Corruption Watch dalam riet potensi kerugian keuangan negara di Jatim menyebukan bahwa, Kota batu dalam rentang 2015-2017 berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan pemeriksaan Keuangan (BPK) Jatim ditemukan sejumlah proyek bermasalah yang terus berulang seperti Keterlambatan pengerjaan, kekurangan volume, dan tidak sesuai kontrak. Permasalahan ini terjadi pada proyek pembangunan Block Office, Gor dan gedung LVRI di beberapa dinas, salah satunya adalah PUPR.

Sementara bentuk intervensi kekuasaan seorang kepala daerah terhadap kinerja pejabat birokrat di kota batu juga nampak dalam surat dakwaan JPU KPK yang menjelaskan bahwa, selama menjabat sebagai Walikota Batu, ia pernah membuat keputusan sepihak melalui kepala BKAD untuk mewajibkan adanya nota dinas dengan persetujuannya sebagai syarat untuk setiap pengajuan surat pencairan pembayaran (SPM) yang berisi seluruh dafatar kegiatan pekerjaan di lingkungan pemerintahan untuk kemudian diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh BKD. Selain itu, Kewenangan diskresi ini pun sewaktu-waktu ia gunakan untuk menjegal para rekanan yang memenangkan tender namum tidak sesuai dengan keinginannya. Implikasinya, ia bersama kelompoknya akan memperoleh keuntungan dan secara bersamaan merugikan rakyat pada umumnya.

Buruknya tata kelola birokrasi lazimnya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Eko Prasojo, dalam nasional.kompas pada 2012 lalu mengungkapkan bahwa, korupsi di lingkungan birokrasi seringkali dipengaruhi oleh problem internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan perekrutan birokrat yang menyimpang, tidak transparan dan tidak objektif. Kondisi ini tidak berdiri sendiri, namun berkaitan dengan sub sistem lainnya seperti, promosi jabatan secara tertutup, sistem remunerasi tak terkait kinerja, dan praktik bisnis dalam pelayanan dengan maksud mengambil uang negara dalam jabatan dan wewenang. Sementara faktor eksternal, dipengaruhi oleh kuatnya relasi kooptasi dan intervensi. Dalam banyak kasus korupsi di daerah, tekanan politik menjadi salah satu penyebab. Kedua faktor ini sama-sama menyokong terjadinya korupsi dilingkungan birokrasi.

Bentuk kooptasi kekuasaan dari Edy Rumpoko terhadap penyelenggaraan 31 paket pengerjaan proyek pengadaan tersebut telah menyebabkan adanya potensi kerugian keuangan negara sebesar 4,5 M. Salah satu PT yang turut menyumbang potensi kerugian tersebut adalah PT GAJ sebesar 471 JT. Bahkan melalui kekuasaan tersebut, ia secara sewenang-wenang menjegal pihak lain yang mencoba membangkan terhadapnya meski telah menyediakan sejumlah fee. Sebagai contoh, ia membatalkan hasil lelang yang telah dimenangkan oleh seorang rekanan pada Dinas PUPR, hanya karena proses pengkodisiannya tanpa melibatkan dirinya.

Pada akhirnya dapat dipahami bahwa struktur kekuasaan memainkan peran dominan dalam pembentukan elit korup beserta struktur organisasi pemerintahan yang menaunginya. Kepala daerah dengan sumberdaya  kekuasaannya dapat sewenang-wenang mengintervensi kinerja bawahannya, sementara para birokrat yang bekerja dibawah kontrol kekuasaannya tak kuasa menantangnya karena menyangkut kedudukan dan jabatan mereka. Sekalipun tidak semua dari para birokrat memiliki kepentingan yang sama untuk mebajak sumberdaya publik, tetapi dalam struktur politik-birokrasi yang telah terfragmentasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan transaksional seperti itu membuat mereka tidak punya pilihan kecuali mengafirmasinya sebagai sebuah kewajaran dan membentuk kultur kerja birokrasi yang memfasilitasi kepentingan-kepentingan memperkaya diri dapat terselenggara seoal-olah legal adanya.

Oleh karena itu, upaya mencegah dan meminimalisir praktik korupsi dilingkungan birokrasi pemerintahan daerah mesti menyentuh problem politik dan selanjutnya mendorong reformasi radikal terhdap struktur birokrasinya. Kedua hal ini saling berhubungan satu sama lainnya hingga pada akhirnya membuka ruang partisipasi publik dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih memadai dan utuh di masa depan. 

 

 

Daftar Bacaan.

Hasil analisis MCW terhadap Putusan Nomor 27/Pid.Sus/TPK/ 2018/ PN.Sby halaman 130, tentang dugaan aliran dana kampanye pada beberapa kesaksian.

Putusan Nomor 27/Pid.Sus/TPK/ 2018/ PN.Sby halaman 130

Rilis MCW, Dugaan Korupsi pada Dinas PU dan Dinas Pendidikan Kota batu, 2021

Patittingi dan Jurdi, 2016. “Korupsi Kekuasaan; Dilema Penegakan hukum di Atas Hegemoni Oligarki”. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: Hal 63-79.

 

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu