x

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Jumat, 11 Maret 2022 17:25 WIB

Pembangunan Nir-Transparan: Mengangkangi Partisipasi dan Hak Atas Lingkungan

merespon fenomena pembangunan dan investasi ekonomi, yang belakangan ini tampak menyepelehkan keterbukaan dan berdampak terhadap perampasan HAM dan Hak Sosial ekologis Masyarakat. dari berbagai konflik perampasan lahan dan ruang hidup ekologis hingga kebijakan investasi yang beroperasi dan mendapat legitimasi dari rezim, telah melahirkan berbagai dampak yang tak terhingga. baik ekonomi, sosial, politik, lingkungan serta HAM dan Demokrasi. penulis memandang bahwa, keterbukaan informasi adalah prasyarat mutlak bagi pembangunan yang partisipatif dan dengan begitu, sasaran dari pembangunan benar-benar menjawab problem ril yang dihadapi masyarakat. tetapi faktanya, hak atas informasi dan partisipasi masyarakat selalu dinomor sekiankan dari orientasi pembangunan yang bertumpu pada akumulasi dan ekspansi modal telah berangsur-angsur dan secara gradual mempersempit ruang partisipasi, "membangkang" terhadap konstitusi serta praktis melanggar HAM. karena itu, artikel ini mencoba membahas dua hal pokok. pertama, ketertutupan informasi sebagai bentuk pelanggaran HAM, dan kedua, implikasi dari hal tersebut menyeret rakyat ke dalam kondisi keterancaman ekologis melalui revisi kebijakan yang nir syarat-syarat demokratis. penulis menautkan beberapa problem keterbukaan secara umum dan secara khusus mendedah problem serupa pada kontesk perubahan Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah di Daerah, di Kota Batu Jawa Timur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keterbukan informasi publik merupakan suatu problem mendasar yang secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas demokrasi. Politik demokrasi yang berlangsung pasca jatuhnya orde baru, tidak terlepas dari prinsip keterbukaan ruang dan akses informasi yang ditandai dengan menguatnya control publik terhadap penyelenggaraan Negara, Termasuk partisipasi publik dalam politik electoral. bahkan praksisnya keterbukaan informasi menjadi indicator kunci dalam mengukur kualitas dan performa kelembagaan setiap badan publik, lebih-lebih dalam konteks pelayanan dasar bagi warga Negara.

Menjadi bagian penting dari proses transisi demokrasi, keterbukaan informasi  publik semestinya dibangun dalam suatu kerangka paradigmatic yang demokratis dan partisipatoris. Bahwa informasi publik adalah hak asasi manusi yang mestinya disediakan dan didistribusikan secara merata oleh Negara/pemerintah. Lebih-lebih ketika hak atas informasi dijamin dalam konstitusi dan diperkuat legitimasinya melalui undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Maka, dalam konteks demokratisasi, dan sebagai wujud dari pelaksanaan Good governance, Negara/pemerintah semestinya sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak menyediakan, mendistribusikan dan menyebarkan informasi secara terbuka kepada rakyatnya.

Meski demikian, tidak bisa dinafikan bahwa dalam praktiknya masih dijumpai sejumlah fakta yang justeru mengkonfirmasi belum adanya komitmen pemerintah dalam menjamin hak atas informasi bagi setiap warga Negara. Bagaimana tidak?, kesulitan mengakses informasi dan dokumen publik seperti musrenbang, baik desa/kelurahan, kecamtan dan kota; alur layanan public; alur pengelolaan anggaran; dokumen laporan keuangan dan sejumlah informasi umum lainnya seolah-olah merupakan suatu hal yang tabu yang “membahayakan dan mengancam” kedudukan elit birokrat dan politisi penguasa manakala dipublish.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Parahnya, hegemoni ruang publik secara berangsu-angsur memangkas hak publik dalam setiap proses pengambilan keputusan. Tidak ada pelibatan publik yang secara sungguh-sungguh. Rakyat hanya dilibatkan pada saat pelaksanaan program tanpa mengetahui secara substansial, tujuan, sasaran serta dampak dari setiap program terhadap hajad hidupnya. Bahkan, tidak jarang para pemangku kepentingan juga enggan mengeksekusi putusan komisi informasi yang memenangkan koalisi masyarakat sipil dalam sengketa informasi. Dengan kata lain, masyarkat boleh saja menang dalam gugatan informasi namun yang memiliki kewenangan untuk mengeksekusi adalah lembaga pemerintahan terkait yang, acap kali tidak begitu diindahkan, terutama dokumen tersebut berkaitan dengan proses perizinan dan perpanjangan izin operasi pertambangan.

Problem ketertutupan informasi publik semacam ini terjadi hampir diseluruh daerah di tanah air, salah satunya adalah di Kota Batu, Jawa Timur. Dimana, pemerintah Kota Batu pada 2018 lalu secara diam-diam membahas dan mengesahkan Perubahan Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) tanpa mensosialiasikan terlebih dahulu kepada masyarkat kota Batu. selanjutnya, perda tersebut diujipublik namun lagi-lagi seluruh aspirasi masyarakat yang diajukan tidak pernah diindahkan hingga kini. Parahnya lagi, pemerintah Kota Batu tetap bersikeras dengan agenda revisi tersebut meski mengangkangi hak dan partisipasi publik, bahkan syarat dengan kepentingan ekonomi investasi.

Salah satu indikasinya adalah pemerintah, secara khusus kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BapPemDa) Kota Batu hingga kini tidak pernah merespon permohonan informai dan dokumen publik berupa dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diajukan oleh Aliansi Selamatkan Malang Raya sebagai kelompok masyarakat sipil yang memiliki konentrasi terhadap gerakan penyelamatan lingkungan Hidup di Malang Raya. Padahal diketahui, dokumen tersebut merupakan kerangka dasar yang menjadi acuan suatu perubahan kebijakan Tata Ruang dilakukan. Artinya, ketiadaan respon dari pemerintah Kota Batu terhadap pengajuan informasi tersebut tidak saja mengindikasikan pemerintahan yang teretutup, tetapi patut diduga pemerintah Kota Batu sejak awal hingga kini tidak mengantongi dokumen KLHS sebagai dasar pengajuan revisi.

 

Melanggr HAM

Secara filosofis, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 mengatur informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional. Memperoleh informasi merupakan hak  asasi manusia dan keterbukaan informasi publik adalah salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, serta merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya. termasuk, segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan public.

Dalam konteks yang spesifik, Hak atas informasi merupakan Hak Asasi Manusia yang mesti dijamin oleh negara telah menjadi kesepakatan internasional. Dimana, dalam Resolusi No. 59 (I), Majelis Umum PBB telah menyatakan bahwa:”hak atas informasi merupakan hak asasi manusia fundamental dan ....standar dari semua kebebasan yang dinyatakan ”suci” oleh PBB”. Deklarasi Umum Hak asasi manusia tahun 1948, Pasal 10, secara prinsip menyebutkan bahwa, Hak kebebasan informasi merupakan hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Sementara itu, Secara konstitusional, hak berkomunikasi dan memperoleh inforamsi adalah hak asasi manusia. Pasal 28 f Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan, “hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan kehidupan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Penjelasan diatas selanjutnya dimuat dalam pasal 14 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentnag Hak Asasi Manusia bahwa, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Dengan demikian maka, tindakan pemerintah Kota Batu yang terkesan menutup-nutupi informasi tentang proes revisi Perda RTRW dan dokumen KLHS yang tidak pernah dipublikasi sebagaimana telah disinggung di atas merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM, bahkan terkesan “membangkan” terhadap kesepakatan internasional, Konstitusi, dan sejumlah regulasi lain yang mengaturnya. Terlebih, dalam konteks lingkungan hidup, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama tentang sistem informasi lingkungan hidup, dalam pasal 62 ayat 1 dan 2 secara tegas menyebut “Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sistem ini harus dilakukan secara terpadu, terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada publik”.

 

Melegitimasi Perampasan Ruang Hidup.

Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Kota Batu selalu mengundang problematik yang cukup pelik. Mulai dari penyusutan hutan primer, ruang terbuka hijau, hingga puncaknya pada tanggal 4 November 2021 terjadi banjir bandang yang merusak permukiman di kampung-kampung sepanjang aliran sungai Brantas. Hal ini diperparah dengan kebijakan Pemerintah Kota Batu dalam memberikan izin pembangunan bagi bangunan usaha yang berdiri di kawasan yang bukan peruntukannya. Di antaranya, seperti perumahan atau wisata buatan yang berdiri di kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Alih fungsi lahan inilah yang berdasarkan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menyebabkan penyusutan kawasan hijau di Kota Batu, sehingga turut memberikan kerentanan wilayah terhadap bencana ekologis.

Kondisi ini semakin diperparah dengan revisi Kebijakan tata ruang yang dilakukan  dilakukan secara sepihak dan mengabaikan partisipasi dan hak sosial ekologis masyarakat. dimana, dalam catatan Aliansi Selamatkan Malang Raya, sebuah alinasi masyarakat sipil yang aktif dalam mengawal issu lingkungan hidup di Malang Raya, menemukan setidaknya terdapat beberapa perubahan pasal yang mengarah kepada alih fungsi lahan skala massif ke depan. Diantaranya: Penghilangan tiga jenis kawasan lindung; Pereduksian kawasan lindung setempat; Pengurangan jumlah kawasan sempadan mata air yang dilindungi dari 111 mata air menjadi kawasan mata air hanya di tiga Desa; Pengurangan besaran sempadan sungai dan perubahan kalimat dari “kawasan pemukiman/diluar pemukiman” menjadi “kawasan terbangun/tidak terbangun” yang melegitimasi kondisi ketidakteraturan pembangunan di Kota Batu; Penghilangan kawasan cagar budaya; Alih fungsi kawasan di keseluruhan wilayah hutan lindung menjadi wilayah hutan produksi.

Dengan demikian maka, praktik pelanggaran HAM oleh pemerintah terhadap masyarakat tidak semata pada wilayah peminggiran ruang partisipasi dan tertutupnya dokumen dan informasi publik, melainkan juga ada ancaman perampasan ruang hidup begitu nyata bagi masyarakat Kota Batu di masa depan manakala ranperda tersebut akhirnya disahkan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan mendatangkan bencana lebih intens sekalipun berbagai upaya perlindungan dan pencegahan dilakukan, tetapi itu tidak cukup, apalagi sekedar penanaman pohon, pembersihan kali dll, sebab, kebijakan tata ruang yang sensitif terhadap perlindungan dan penyelamatan lingkungan adalah salah satu solusi paling utama, paling tidak mencegah kawasan lainnya dari ancaman kerusakan sambil lalu mengupayakan pemulihan terhadap kawasan lainnya yang terlanjur rusak akibat pembangunan infrastruktur dan bisnis pariwisata, akan lebih mudah dilakukan ketimbang merevisinya yang justru melegitimasi praktik perampasan ruang hidup kota Batu di Massa mendatang.

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler