x

Iklan

Rima Gravianty Baskoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Maret 2022

Senin, 4 April 2022 16:44 WIB

Legalisasi Apostille Berdasarkan Convention Abolishing The Requirement of Legalistion fot Oublic Documents di Indonesia: Analisa Stakeholders dan Desain Kebijakan Publik

Dengan diterbitkannya Peraturan Nomor 6 tahun 2022 tentang Layanan Legislasi Apostille (selanjutnya disebut “Apostille”) pada tanggal 26 Januari 2022, erdapat beberapa pro kontra terkait Apostille, dimana yang pro melihat aksesi kebijakan publik internasional ini akan mempermudah proses legislasi dokumen karena tidak lagi memberlakukan prosedur yang kompleks, melibatkan banyak institusi serta memakan biaya dan waktu yang lama. Sedangkan dari sisi yang kontra, dikhawatirkan terdapat celah adanya pemalsuan dokumen, tanda tangan serta cap pejabat publik pada dokumen yang dimohonkan Apostille.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh:

  1.   Rima Baskoro, S.H., ACIArb. (Managing Partner Rima Baskoro & Partners);
  2.   Narendro Baskoro, S.H., M.IP (Partner di Rima Baskoro & Partners)



I.      Latar Belakang

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tanggal 26 Januari 2022, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menerbitkan Peraturan Nomor 6 tahun 2022 tentang Layanan Legalisasi Apostille. Peraturan ini merupakan pengejawantahan dan tindak lanjut dari Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Public Documents yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2021. Legalisasi Apostille (selanjutnya disebut sebagai “Apostille”) merupakan tindakan terhadap dokumen publik berupa pengesahan tanda tangan pejabat, pengesahan cap maupun segel resmi. Dokumen yang boleh dimohonkan Apostille hanyalah dokumen publik berupa surat tertulis atau tercetak lengkap dengan tanda tangan pejabat publik dan cap institusi yang berwenang dan telah lolos verifikasi. Contoh dokumen publik yang dapat diajukan permohonan Apostille adalah dokumen terkait pengadilan, dokumen administratif (akta lahir, sertifikat HAKI, ijazah pendidikan, akta kematian, buku nikah atau akta nikah), dokumen yang diterbitkan oleh Notaris di Indonesia (Akta pendirian perusahaan, akta perjanjian pisah harta, akta hutang piutang), sertifikat resmi yang melekat pada dokumen (pengesahan tanda tangan secara notarial).

4 (empat) stakeholders yang bersinggungan dengan Apostille memiliki perspektif dan kepentingan masing-masing terkait Apostille ini, yaitu: Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pihak Pemohon Apostille, Pihak Penandatangan dalam dokumen yang dimintakan Apostille, Negara penerima dokumen yang telah diberikan Apostille oleh Indonesia. Setiap stakeholders memiliki perhatian, perspektif dan kepentingan masing-masing. Perspektif kontra sehubungan dengan Apostille ini muncul dikarenakan belum adanya penegasan soal peruntukan Apostille itu sendiri terkait otentifikasi tanda tangan dan cap, kepastian tentang kebenaran dokumen, kepastian biaya yang harus dibayar pemohon, dan tidak adanya jaminan kebenaran substansi dari dokumen yang diberikan Apostille. Analisa stakeholders dan desain kebijakan publik ini menarik untuk dibahas karena keterkaitannya dengan kelancaran proses investasi, kemudahan dan kecepatan dalam proses hukum di ranah pengadilan, dan meminimalisir kesulitan masyarakat terkait pelayanan publik, yang mana ketiga bidang tersebut menjadi tolak ukur penentu keberhasilan good governance suatu negara.

 

II.     Analisa Stakeholders, Perspektif & Kepentingan

Analisa stakeholder bertujuan untuk membaca posisi stakeholders yang berkaitan dengan kebijakan publik (Varvasovzsky and Brugha, 2000). Oleh karena itu, analisa stakeholders untuk kebijakan publik Apostille ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Identifikasi stakeholders terkait;
  2. Perspektif Stakeholders dan Perdebatan Kebijakan Publik.

Meskipun baru berlaku pada bulan Juni 2022 nanti, terdapat setidaknya dua stakeholders dari institusi pemerintahan di Indonesia,  satu stakeholder dari masyarakat publik di Indonesia, dan institusi negara penerima dokumen yang memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda sehubungan dengan kebijakan Apostille ini. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dirjen AHU - Kemenkumham RI) sebagai institutsi pemerintahan merupakan pihak yang berwenang menerbitkan sertifikat Apostille atas dokumen yang dimohonkan oleh pemohon. Pejabat publik merupakan stakeholders yang menandatangani dokumen tertulis / tercetak dan dimohonkan Apostille. Masyarakat publik di Indonesia bertindak sebagai pemohon Apostille yang membutuhkan autentifikasi terhadap dokumen yang akan dikirim ke negara penerima atau negara asing. Negara asing penerima dokumen dengan sertifikat Apostille akan meneruskannya ke institusi publik maupun swasta yang akan menggunakan dokumen tersebut. 

Dilansir dari website resmi Dirjen AHU - Kemenkumham RI, diperoleh informasi bahwa Dirjen AHU Kemenkumham RI berpendapat bahwa aksesi konvensi apostille merupakan keputusan yang tepat, karena memudahkan legalisasi dokumen dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara serta mendukung Ease of Doing Business (EODB). Sedangkan bagi masyarakat pemohon Apostille, terdapat dua pandangan. Yang pro dengan Apostille melihat aksesi kebijakan publik internasional ini akan mempermudah proses legalisasi dokumen karena tidak lagi memberlakukan prosedur yang kompleks, konvensional, melibatkan banyak institusi, dan terlebih lagi memakan waktu dan biaya. Dengan Apostille ini, cukup hanya Kemenkumham RI saja yang memprosesnya dan pada akhirnya akan terbit sertifikat Apostille dari Kemenkumham RI sebagai competent authority. Kemudahan legalisasi Apostille terhadap dokumen Indonesia yang akan dipakai di negara asing pada akhirnya juga menguntungkan negara asing karena prosedur yang tidak berbelit-belit dan hanya berfokus pada satu institusi yang berwenang yaitu Kemenkumham RI. 

Namun demikian terdapat kekhawatiran tentang kemungkinan adanya pemalsuan dokumen, tanda tangan dan cap pejabat publik pada dokumen yang dimohonkan Apostille dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pejabat yang menjadi korban pemalsuan. Di Indonesia sendiri telah beberapa kali terjadi pemalsuan dokumen publik yang di dalamnya terdapat cap dan tanda tangan pejabat publik dan jika dokumen yang dipalsukan itu menimbulkan kerugian terhadap pihak penerima di negara Asing, maka kredibilitas dan profil institusi pemerintah penerbit dokumen publik tersebut yang akan jadi taruhannya. Perspektif masyarakat yang kontra terhadap kebijakan publik ini terkait dengan belum adanya kepastian mengenai metode pemeriksaan otentifikasi tanda tangan dan cap dokumen yang dimohonkan, tanggung jawab Kemenkumham RI sebagai the competent authority terkait isi dan kebenaran dalam dokumen, kepastian jumlah biaya yang harus dibayar pemohon untuk pengurusan legalisasi Apostille dokumen, dan pengetahuan serta pengalaman para stakeholders di kekuasaan yudikatif maupun legislatif tentang hukum perdata internasional. 



III.      Desain Kebijakan Publik

Desain kebijakan publik dalam prosesnya  merupakan sesuatu yang cukup kompleks karena pada setiap pembuatannya akan bersinggungan dengan kepentingan publik. William Dunn dalam teorinya membagi desain kebijakan publik dalam 5 (lima) tahap : pertama, penyusunan agenda yaitu stakeholders yang dipilih serta diangkat menempatkan masalah pada agenda publik dengan menentukan masalah apa yang akan diselesaikan; kedua, formulasi kebijakan yaitu merumuskan poin-poin kebijakan yang diusulkan oleh masing-masing stakeholders dan akan digunakan untuk memecahkan masalah; ketiga, adopsi kebijakan yaitu menentukan kebijakan melalui dukungan eksekutif maupun legislatif yang pada sebelumnya telah dirumuskan poin-poin kebijakan yang diusulkan oleh stakeholderskeempat, implementasi kebijakan yaitu kebijakan yang telah diadopsi akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi dengan memobilisasi sumber daya guna mendukung kelancaran implementasi tersebut; dan kelima, penilaian kebijakan yaitu mengevaluasi sejauh mana kebijakan yang telah dibuat dapat memecahkan masalah.

Peters (2018) menyatakan bahwa desain kebijakan publik sedikitnya terdiri dari faktor penting, yaitu: desain kebijakan publik diawali dengan persoalan kebijakan publik (policy design begins with policy problems), kebijakan publik harus berorientasi ke masa depan (policy design must be future oriented), dan kebijakan publik didesain sebagai bentuk pertanggungjawaban (policy design for accountability). Maka untuk mengevaluasi kebijakan publik legalisasi Apostille selayaknya didasarkan pada tiga hal tersebut dan akan dijabarkan lebih lanjut di bawah ini:

  1. Kebijakan publik diawali dengan persoalan kebijakan publik (policy design begins with policy problems)

Kebijakan Apostille diawali dengan adanya permasalahan legalisasi dokumen antar negara yang cenderung berbelit-belit, memakan waktu, dan memakan tenaga. Maka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Pemerintah mengaksesi Convention Abolishing of The Requirement of Legalisation For Public Documents dan pada akhirnya mengeluarkan kebijakan yang sifatnya mandatory agar semua warga negara Indonesia melegalisasi dokumen dengan Apostille untuk hal yang terkait dengan negara asing. Namun perlu diingat bahwa terkadang menciptakan solusi untuk permasalahan sebelumnya, akan timbul potensi permasalahan baru. 

1.  Kebijakan publik harus berorientasi ke masa depan (policy design must be future oriented)

Orientasi pemerintah dari kebijakan publik Apostille seharusnya diimbangi dengan teknologi, SDM, dan biaya yang terjangkau untuk masyarakat melakukan pengurusan Apostille. Ada banyak kemungkinan penyebab masyarakat kontra dengan kebijakan publik ini, salah satunya adalah pemanfaatan teknologi yang masih minim untuk pendaftaran, monitoring, dan informasi tentang proses Apostille. 

 2.  Kebijakan publik didesain sebagai bentuk pertanggungjawaban (policy design for accountability)

Pemerintah menginginkan agar seluruh pihak di Indonesia mendapat kemudahan dalam mengurus dokumen internasional sehingga bisnis berjalan lancar dan investasi semakin meningkat. 

3.  Kebijakan publik didesain sebagai bentuk pertanggungjawaban (policy design for accountability)

Pemerintah menginginkan agar seluruh pihak di Indonesia mendapat kemudahan dalam mengurus dokumen internasional sehingga bisnis berjalan lancar dan investasi semakin meningkat. 

Dalam perjalanannya, permasalahan masih dijumpai pada kebijakan publik yang telah dirumuskan dan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal itu biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kurangnya komunikasi yang baik antar stakeholders dalam meyakinkan publik, kemudian tidak semua stakeholders peka terhadap masalah publik dan masih terdapatnya beberapa kepentingan yang belum terakomodasi. Sedangkan tujuan dari adanya kebijakan publik adalah untuk melindungi hak publik serta menjamin ketertiban dalam bernegara, oleh sebab itu jangan sampai beberapa poin yang dapat menjadi celah pada Apostille membuat kebijakan publik ini tidak mengedepankan keadilan dan hanya memihak kepentingan tertentu.

 

 

IV.   Penutup

Dengan diterbitkannya Peraturan Nomor 6 tahun 2022 tentang Layanan Legislasi Apostille (selanjutnya disebut “Apostille”) pada tanggal 26 Januari 2022, yang merupakan tindakan terhadap dokumen publik berupa pengesahan tanda tangan pejabat, pengesahan cap serta segel resmi yang mana dokumen yang boleh dimohonkan tersebut hanyalah dokumen publik seperti surat tertulis atau tercetak lengkap dengan tanda tangan pejabat publik dan cap institusi yang berwenang dan lolos verifikasi. Walaupun baru akan berlaku pada tanggal 4 Juni 2022 namun terdapat beberapa pro kontra terkait Apostille, dimana yang pro melihat aksesi kebijakan publik internasional ini akan mempermudah proses legislasi dokumen karena tidak lagi memberlakukan prosedur yang kompleks, melibatkan banyak institusi serta memakan biaya dan waktu yang lama. Dengan adanya Apostille ini cukup Kemenkumham RI yang memproses dan menerbitkan sertifikat Apostille tersebut. Sedangkan dari sisi yang kontra, dikhawatirkan terdapat celah adanya pemalsuan dokumen, tanda tangan serta cap pejabat publik pada dokumen yang dimohonkan Apostille.

Untuk menghindari beberapa celah yang terdapat pada Apostille yang bisa merugikan pejabat publik dan pemohon, maka ada baiknya stakeholders menegaskan serta meninjau kembali beberapa poin yang telah dirumuskan dalam Apostille seperti bagaimana jaminan bahwa Apostille di Indonesia tidak membutuhkan legislasi Apostille kembali di negara penerima dokumen, lalu keterbukaan jumlah biaya yang harus dibayar pemohon guna mengurus dokumen Apostille, dan metode pemeriksaan / verifikasi yang menjamin keaslian spesimen pada Apostille sehingga tidak akan terjadi pemalsuan dokumen oleh oknum tertentu.

Ikuti tulisan menarik Rima Gravianty Baskoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler