Kapan Sastra Indonesia Lahir?

Jumat, 22 April 2022 13:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam dunia sastra, selama ini kita hanya menikmati beberapa karya sastra dan mengetahui sastrawan-sastrawan yang populer yang sering kali kita dengar atau kita temukan pada pelajaran bahasa Indonesia di masa sekolah. Contohnya saja nama-nama sastrawan yang populer itu, seperti Chairil Anwar, WS. Rendra, Pramodya Ananta Thoer, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Namun pernahkah kalian berpikir mengenai pertanyaan kapan sebuah sastra terlahir? Lebih tepatnya lagi, kapankah kesusastraan Indonesia terlahir?

         Kelahiran sastra Indonesia itu sendiri merupakan bagian dari sebuah sejarah sastra yang tentunya sejarah tersebut terjadi di Indonesia. Sampai saat ini penentuan awal kelahiran sastra Indonesia serta tolok ukur suatu karya disebut sebagai sastra Indonesia masih menjadi polemik. Sejauh ini para pengamat dan akademisi sastra (humaniora) memiliki pertimbangan yang berbeda sehingga menghasilkan berbagai pendapat yang berbeda pula mengenai awal lahirnya sastra Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang berbeda mengenai karakteristik sastra Indonesia, juga belum adanya satu kesepakatan yang dapat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.

         Sastra hakikatnya adalah sebuah gejala universal yang tidak selalu dipersepsi secara sama sehingga interpretasi tergantung dari mana sudut yang digunakan oleh penikmatnya dalam memahami sebuah karya sastra. Selain itu, pada hakikatnya ilmu sastra memiliki sifat intersubjektif yakni sejauh pendapat tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan diterima, maka pendapat tersebut dianggap “benar”. Hal inilah yang menyebabkan perumusan kesejarahan sastra yang begitu panjang dan penentuan awal lahirnya sastra Indonesia menjadi rumit bahkan berpolemik.

         Umar Yunus berpendapat, sastra ada sesudah bahasa ada. Misalkan, "sastra X ada sesudah bahasa X ada". Karena bahasa Indonesia baru lahir saat adanya sumpah pemuda pada tahun 1928, maka Umar Yunus berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia baru lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang terbit sebelum tahun 1928 dianggap bukan digolongkan sebagai hasil sastra Indonesia. Melainkan sebagai hasil karya Sastra Melayu saja.

           Sedangkan Ajip Rosidi, mempunyai pendapat yang berbeda. Menurutnya, bahasa tidak bisa dijadikan patokan sebagai kapan sastra itu lahir. Karena, sebelum bahasa diakui secara resmi tentulah bahasa itu sudah ada dan sudah digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut. Sehingga Ajip Rosidi berpendapat, yang seharusnya dijadikan patokan adalah kesadaran kebangsaan. Berdasarkan kesadaran kebangsaan inilah Ajip menetapkan lahirnya kesusastraan Indonesia itu tahun 1920/1921 atau tahun 1922. Karena pada waktu itu pemuda Indonesia seperti Sanusi Pane, Muhammad Yamin dan lain-lainnya menegaskan, bahasa Indonesia itu berbeda dengan Sastra Melayu.

         Pendapat berikutnya yaitu dari A. Teeuw. Ia memiliki pendapat yang berbeda dari dua tokoh di atas. Akan tetapi, tahun lahirnya Sastra Indonesia hampir sama dengan Ajip Rosidi yaitu tahun 1920. Menurutnya, pada waktu itu para pemuda Indonesia untuk pertama kali menyatakan perasaan dan ide yang terdapat pada masyarakat tradisional setempat dan menuangkannya dalam bentuk sastra. Selain itu, pada tahun yang sama para pemuda juga menulis puisi baru Indonesia. Lalu A. Teeuw menegaskan pendapat lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 1920 karena pada tahun ini terbit novel Mirari Siregar yang berjudul ‘Azab dan Sengsara’.

Awal Kelahiran Sastra Indonesia.

            Sastra Indonesia lahir, karena adanya tindakan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa kulit putih yang beriringan dengan kapan tonggak kelahiran sastra, yaitu ketika para penjajah datang ke Indonesia yang hanya semulanya mencari rempah-rempah, akan tetapi berubah dengan menguasai Indonesia. Lalu ketika pemerintah dikuasai oleh penjajah mereka membuat sebuah lembaga penerbitan, yaitu Balai pustaka.

            Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh para penjajah tersebut membangkitkan jiwa-jiwa nasionalisme para sastrawan untuk melawan penjajah. Media tulis, seperti yang dilakukan oleh Abdul Muis pada tahun 1920-an, pada romannya yang berjudul ‘Salah Asuhan’ yang penerbitannya di cekal oleh Balai Pustaka, karena dianggap menentang pemerintahan dan dapat menghasut masyarakat untuk melakukan pemberontakan kembali.

            Akan tetapi, para sastrawan tidak mudah menyerah, mereka terus melakukan perlawanan dengan cara menulis karya-karya sastra melalui media yang lain. Banyak sekali hasil sastra Melayu yang telah ditulis dalam bahasa Melayu tinggi,  kesusastraan Melayu merupakan kesusastraan yang kaya di Nusantara.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sarah Sabrina

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pentingnya Membaca Kritis

Rabu, 23 November 2022 08:00 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler