x

ilustr: cermati.com

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Kamis, 30 Juni 2022 09:15 WIB

Bertanya kepada Guru (1)

Belajar tanpa guru (suka) keliru. Bertanya tentang sesuatu kepada guru yang memang ahlinya, selalu menemu jawaban bijak. Cerpen ini mengungkapkannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Bagian 1)

            AKU datang kepada seorang guru dan bertanya.

            “Beri penjelasan kepadaku ihwal hidup, guru!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Hidup bukan mati. Untuk itu, banyak sekali perbedaannya.”

            “Misalnya, guru ….”

          “Hidup harus punya arah yang jelas. Namanya: cita-cita. Juga harus berani melihat dan menghadapi kenyataan.”

            “Tapi, seringkali kenyataan lebih pahit guru!”

            “Di sinilah keterkaitan hidup dan kehidupan. Artinya, bila kau mau hidup tanpa persoalan hayatilah persoalan hidup yang selalu menampakkan dirinya dalam kehidupan.”

            “Meski itu pahit sekali pun?”

            “Ya!”

            “Kalau begitu, bagaimana cara memulainya?”

    “Tidak sulit. Asalkan kita selalu berpikir dan berpijak pada bumi dan menggantungkan cita-cita di atas langit. Ini artinya, hanya jangan mandeg pada lapisan pertama. Terus dan tembus lapisan demi lapisan berikutnya!”

            “Tidak berlebihan guru?”

            “Ada sedikit catatan. Pertama, jaga keseimbangan antara pikir dan rasa. Kedua, becermin selalu dalam setiap langkahmu. Artinya, kemarin yang kau miliki adalah esok yang melaju. Nah, untuk itu selalu berangkatlah dengan hari ini! Hari ini dengan kenyataan-kenyataan. sebab, apa yang sering melintas dalam benakmu –tentang kemarin yang indah- sebenarnya cuma kabut senja yang terkadang menyamarkan jarak pandang.

            Kita dapat merasakan, tetapi tak sepenuhnya hadir. Cermin yang kau pegang, selalu memberikan isyarat tentang jati dirimu: pada saat apa dan bagaimana pun.”

            “Aku kurang paham, guru!”

       “Baiklah. Kongritnya begini: jika sekarang kau punya keinginan, laksanakan! Mulailah dari nol. Maksudku, langkahmu. Merangkaklah. Lalu, pelan-pelan bangkit sambil berdiri kita mulai berjalan dan menghitung: nol, satu, dua, tiga ….”

            “Bila jatuh, guru?”

            “Hahahahaha … Jatuh bangun itu merupakan pengantar dalam hidup dan ilmu kehidupan. Prosesnya memang begitu. Pohon yang tumbuh subur di sekitar kita, tidak langsung tinggi. Manusia tidak langsung jadi bayi. Sebelum itu didahului proses, yakni: pembuahan. Itu tidak langsung. Namun, ada proses antara yang me- dan yang di- (buahi). Belajarlah dalam hal proses-memroses yan merupakan hukum alam.”

         “Guru, aku pernah melihat hal yang sebaliknya. Ia tidak mengalami proses, namun langsung jadi.”

            “Contoh?”

            “Seorang rekan yang punya bapak kaya raya. Ia tidak memulai dari nol. Tapi langsung 100 bahkan mungkin 1000. Dalam segala hak, ia selalu menjadi pemain hidup yang menguasai panggung kehidupan.”

            “Jangan terlalu picik, anakku! Sebelum itu tentu ada proses. Sebab, sebenarnya ia pun masih merupakan kelanjutan dari proses. Proses dari nol sampai ke sekian … katakanlah 999 sudah dimulai ari sang bapak. Sang anak tinggal meklanjutkan yang ke-1000. Perlu anakku ingat, setiap kita yang memulai bukan dari nol, hakikatnya menanggung resiko besar. Jika ia jatuh, kejatuhan itu akan lebih drastis. Ini dapat diibaratkan seorang penerjun paying yang tidak dapat membuka tali parasutnya ketika mulai dilempar ke udara bebas.

           Ia akan terus-menerus berjuan membuka tali pengikatnya. Ada dua kemungkinan. Bila kebetulan, ia berhasil membuka tali pengikatnya. Akan tetaoi bila tidak, petakalah yang bakal menghadangnya di bumi. Mungkin sekarat, dan setelah itu mati.”

            “Terlalu jauh guru menjelaskan. Aku hanya ingin yang sederhana dan nyata saja.”

            “Contoh itu sederhana dan nyata ….”

     “Maksudnya begini guru. Anak orang kaya yang kucontohkan tadi, selalu mendominasi panggung kehidupan dan mampu menyingkirkan kami –kaum miskin. Misalnya, bersaing dalam hal pasangan hidup. Kami kan golongan ekonomi lemah, mana mungkin menyainginya? Lagi pula kaum hawa pun lebih cenderung kepada ….”

            “Soal pacar atau istri maksudmu?”

            “Benar!”

            “Oh, alangkah picik cara berpikirmu. Itu hanyalah persoalan cinta-mencintai seseorang kepada orang lain yang berlainan jenis. Praktis dan sederhana saja persoalan itu jika kau mau menydarinya.”

            “Maksud guru?”

            “Tidak semua kaum hawa punya alur piker seperti kau bayangkan. Banyak kaum hawa berhati mulia dalam hal ihwal cinta-mencintai. Banyak sudah kisah yang meriwayatkan hubungan antara kaum hawa yag berbeda latar status, mau dipersunting kaum Adam. Maksudku yang kaya hawa dan yang Adam papa. Banyaklah belajar dari pengalaman! Sebab, pengalaman merupakan guru yang paling baik!”

            “Nah, itu semua merupakan satu sisi hidup. Perlu kau camkan. Sekali lagi, itu memerlukan proses. Proses yang panjaaaaaang sekali. Prinsipnya, maukah kita mengangkat senjata untuk berjuang? Senjata itu bakan senjata dalam arti sebenarnya. Akan tetapi: otak, akal. Pakailah akalmu sebagai bekal yang diberikan oleh-Nya. Sebab, kita bukan binatang. Binatang berjuang dengan naluri. Karena itu, binatang sering menggunakan naluri itu dengan kekerasan, misalnya.”

            “Kekerasan kadang juga diperlukan, guru!”

           “Benar, tapi tidak selalu. Jangan lupa, kekerasan dapat diatasi dengan senyuman. Senyuman berarti mengobati jiwa yang tertekan dan menekan otot kekerasan menjadi lentur kembali. Lantas, jalan pikiran dan rasa kita berimbang. Paham, Anakku?”

            “Ya.”

            “Syukurlah!”

            “Guru, benarkah kata orang hidup ini indah?”

            “Pertanyaanmu membuatku selalu memuji kebesaran-Nya.”

(Bersambung)

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler