x

Iklan

Meldiansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Juli 2022

Jumat, 15 Juli 2022 22:13 WIB

Kritik Sosial dalam Cerpen Anak Ini Ingin Mengencingi Jakarta

Dalam 3 Kritik Sosial dalam Cerpen Anak Ini Ingin Mengencingi Jakarta ini dapat menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat yang bisa mengerti dari kritik sosial yang terkandung di dalam cerpen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kritik yang terdapat di dalam karya sastra dapat bersifat sebatas mengangkat sebuah masalah ke permukaan ataupun disertai dengan jalan keluar yang bersifat subyektif. Salah satu tema yang banyak digunakan dalam karya sastra indonesia zaman sekarang adalah perlawanan terhadap kepemimpinan yang dinilai tidak beres.
 
Kritik dalam kaitannya dengan tema tersebut bertujuan untuk menggugah nurani masyarakat dalam menyikapi ketidakberesan-ketidakberesan yang dilakukan para penguasa.
Pengarang dari cerpen merupakan "Anak Ini Ingin Mengencingi Jakarta" salah satu sastrawan yang gemar merespons problematika yang terjadi di tengah masyarakat lewat cerpen-cerpennya. Salah satu cerpennya yang merefleksikan realita adalah cerpen "Anak Ini Ingin Mengencingi Jakarta". Berikut kritik sosial dalam cerpen.
 
1. Kritik Sosial Terhadap Perhatian Pemerintah Tentang Masalah Kemiskinan
Kemiskinan merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk bertahan hidup. Ketidakmampuan tersebut banyak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat indonesia termasuk di jakarta. Kemiskinan kerap kali menjadi masalah dan menjadi salah satu yang harus diatasi oleh pemerintah.
Masalah kemiskinan terlihat ketika digambarkan tentang keadaan kehidupan warga pinggir rel yang sedang beraktivitas. Keadaan itu meliputi rumah dan pekerjaan tokoh dalam cerpen. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut.
 
“Kereta itu berhenti di wilayah kehidupan orang-orang pinggir rel. Kehidupan yang sungguh merdeka dan berdaulat, sedang mulai bergerak. Tetapi, sebagian besar mereka masih terbaring dalam gubuk-gubuk kardus yang menyandar ke tembok pembatas jalur-jalur rel. Ada yang hanya tampak kaki, dan tubuh mereka terlindungi di bawah atap sangat rendah lembaran rongsok. Di balik semak yang meranggas dan berdebu, seorang lelaki dan anak kecilnya sudah bangun. Di dekat mereka ada perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain melingkar di atas gelaran kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu tampak lelah. Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal. Entahlah, mungkin perempuan itu tadi malam berjualan birahi sampai pagi”.
 
Kutipan di atas memperlihatkan tentang keadaan rumah ketiga warga pinggir rel yang berupa gubuk-gubuk kardus beratapkan lembaran rongsok. Gubuk-gubuk kardus tersebut menjadi salah satu harta yang dimiliki tiga warga tersebut untuk bertahan hidup. Penggunaan kata lembaran rongsok yang diartikan sebagai barang bekas berupa atap yang terbuat dari asbes atau seng yang diambil dalam keadaan bekas.
Diperlihatkan juga tentang pekerjaan perempuan yang menjadi wanita malam atau pekerjaan prostitusi untuk bertahan hidup sehari-hari. Pekerjaan tersebut menjadi salah satu faktor masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan lainnya terlihat ketika tiga warga pinggir rel kereta api berbagi makanan. Makanan tersebut berupa sebungkus mi instan yang mereka anggap sebagai makanan pokok sehari-hari. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut.
 
“Di tangan kanan laki-laki itu ada sebungkus mi instan. Di warung kopi seberang jalan, sudut bungkus mi disobek dengan hati hati sekadar untuk membuat lubang. Saset-saset bumbunya dikeluarkan. Lalu disodorkan selembar uang ribuan kepada perempuan warung yang segera mengambil termos dan membuka tutupnya”
 
Kutipan di atas menjelaskan tentang tokoh laki-laki yang ingin menyiapkan sarapan berupa mi instan untuk keluarganya yang diseduh di warung kopi seberang rumahnya. Pengarang mengunakan mi instan dikarenakan mi instan merupakan salah satu makanan pengganti nasi dan harganya yang merakyat atau murah. Dengan harga yang murah, mi instan dimaksud sebagai pelambang dari kemiskinan, untuk orang tidak mampu membeli nasi sebagai makanan sehari-hari.
 
“Tapi aku ingin minum kuahnya juga, pa.”
“Kuahnya masih terlalu panas. Lagi pula kamu jangan serakah. Kuah mi selalu buat emak. Dia suka sekali”
 
Kutipan di atas memperlihatkan tentang seorang anak yang ingin minum kuah mi instan yang dipegang oleh ayahnya. Ayahnya menolak karena kuah mi tersebut untuk ibunya. Dalam kutipan tersebut, terdapat kata selalu yang berarti bagi mereka mi instan adalah makanan pokok yang mereka makan setiap hari. Penggambaran itu membuktikan bertapa kuatnya masalah kemiskinan untuk bertahan hidup warga pinggir rel kereta api tersebut.
Pengarang memgambarkan masalah kemiskinan ini melalui pengelihatan warga yang berada dalam kereta api. Warga dalam kereta api tersebut menganggap bahwa melihat warga pinggir rel dengan keadaan itu merupakan keadaan yang kurang layak bagi manusia. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut.
 
“Disana, pintu terdekat kereta api sudah terbuka. Atau sudah lama terbuka. Ada satu kondektur dan satu penumpang berdiri tegak. Mereka berasa sedang menonton pentas dari alam yang berbeda.”
 
Kutipan tersebut memperlihatkan dua warga yang berada dalam kereta api yang sedang menonton warga pinggir rel dengan keadaan yang kurang layak. Kehidupan yang kurang layak tersebut diperjelas dengan kalimat menonton pentas dari alam yang berbeda. Kata pentas diartikan sebagai keadaan, sedangkan kata alam yang berbeda menjelaskan tentang kehidupan sosial yang berbeda. Penjelasan tersebut dapat simpulkan bahwa kehidupan sosial warga pinggir rel dengan warga di dalam kereta api sangat berbeda, keadaan warga pinggir rel yang tidak terurus.
 
Pengarang membuat cerpen ini sebagai sebuah kritikan sosial terhadap perhatian pemerintah terhadap masalah kemiskinan. Kritik sosial tersebut sangat jelas disampaikan oleh Pengarang melalui percakapan tokoh-tokoh. Kritik tersebut terdapat pada tokoh anak yang merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Dengan sifat kepolosannya yang dibuat pengarang pada tokoh anak ini, membuat sebuah pesan kritik sosial terhadap perhatian pemerintah yang menjadi inti dari cerpen ini. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut.
 
“Kencing dekat punggung emak, tidak boleh. Kencing dekat buntalan pakaian, juga tidak boleh. Yang boleh dimana, pa?” si ayah tersenyum. Wajahnya sungguh menampakan wajah manusia bebas-merdeka, khas wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api.
“Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta. di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?”
 
Kutipan-kutipan di atas menjelaskan tentang bentuk protes tokoh anak yang dilarang oleh ayahnya ketika anak tersebut ingin kencing di dekat punggung emaknya dan di dekat buntalan pakaian. Ayahnya pun memberi saran kepada anaknya untuk kencing dimanapun di tempat-tempat di Jakarta. Kutpian-kutipan tersebut sebagai bentuk kritik sosial terhadap perhatian pemerintah yang menelantarkan masyarakat miskin. Hal itu terlihat ketika tokoh laki-laki ayah memberi saran untuk anaknya yang boleh kencing di manapun di seluruh jakarta.
Dari kutipan-kutipan diatas, penggunaan kata kencing sebagai bentuk protes atau kemarahan terhadap pemerintah. Bentuk protes atau kemarahan tersebut berupa suatu penghinaan atau meremehkan terhadap perhatian pemerintah kepada rakyat kecil. Mereka sudah tidak peduli dengan sistem pemerintahan dan menganggap semua tempat di jakarta adalah miliknya. Pernyataan itu didukung ketika pengarang menggunakan kalimat wajahnya sungguh menampakan wajah manusia bebas merdeka yang dapat diartikan bahwa mereka melakukan sesuatu semau mereka tanpa ada rasa bersalah.
Kemiskinan bagi sebagian orang menjadi masalah yang serius. Karena kemiskinan merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam sistem pembagunan negara indonesia. Kemiskinan memang harus perhatikan dan diatasi oleh pemerintah. Tetapi, pemerintah haruslah melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada rakyat miskin untuk mengatasinya.
 
2. Kritik Sosial Terhadap Pelanggaran Norma-Norma Masyarakat
Kritik sosial terhadap pelanggaran norma-norma masyarakat juga disinggung dalam cerpen "Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta" ini. Norma-norma merupakan atauran yang dibuat oleh masyarakat untuk masyarakat itu sendiri. Aturan-aturan itu dibuat sebagai panduan kehidupan yang sesuai dan bisa diterima oleh masyarakat lain. Ketika pelanggaran norma-norma masyarakat pada cerpen ini terlihat pada tokoh perempuan.
Pelanggaran norma yang dilakukan oleh tokoh perempuan dikarenakan faktor kemiskinan yang dialaminya. Tokoh perempuan tersebut menjual dirinya atau bekerja sebagai pelacur yang dianggap masyarakat sebagai pekerja yang tidak terpuji. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut.
 
“Di dekat mereka ada perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain melingkar di atas gelaran kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu tampak lelah. Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal. Entahlah, mungkin perempuan itu tadi malam berjualan birahi sampai pagi”
 
Kutipan tersebut mengambarkan tokoh perempuan yang sedang tertidur lelap dikarenakan pekerjaannya sebagai pelacur. Penggunaan kalimat Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal merupakan kalimat yang memperjelas pekerjaan perempuan sebagai pelacur. Penggunaan kalimat tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal merupakan kalimat yang memperjelas pekerjaan perempuan tersebut. Pengarang memperjelas lagi pekerjaaan perempuan tersebut lewat kutipan berikut.
 
“Pagi sudah terang. Sosok perempuan itu menjadi lebih jelas. Usiannya mungkin empat puluhan. Gincu dan bedak pipinya memang tebal. Atau lebih tebal di awal malam ketika dia mulai berjualan. Dan kehidupan yang amat bedebu dan jauh dari air membuat perempuan itu sewarna dengan sekelilingnya yang juga penuh debu”
 
Kutipan di atas menggambarkan tentang tokoh perempuan yang sudah bangun dan masih dengan wajah yang penuh dandanan tebal yang belum di bersihkan dari tadi malam saat menjadi pelacur. Kutipan tersebut memperjelas pekerjaan tokoh perempuan, sekaligus pengarang memberi pesan lewat kalimat berikut. Dan kehidupan yang amat berdebu dan jauh dari air membuat perempuan itu sewarna dengan sekelilingnya yang juga penuh debu yang dapat diartikan bahwa pekerjaaan sebagai pelacur itu sangat tidak terpuji dan dianggap sebagai sampah oleh masyarakat.
 
3. Kritik Sosial Tehadap Pencemaran Lingkungan
Kritik sosial terhadap pencemaran lingkungan dalam cerpen "Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta" terlihat pada tokoh perempuan. Pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh tokoh perempuan merupakan hal yang tidak sepatutnya ditiru. Pencemaran lingkungan tersebut digambarkan ketika tokoh perempuan menghabiskan kuah mi instan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
 
“Kantung plastik sudah sempurna kosong, dilemparkan oleh perempuan bersolek tebal itu ke samping dengan sikap tak peduli. Kantung itu menyangkut di ranting semak yang meranggas dan berdebu.”
 
Kutipan tersebut menggambarkan tokoh perempuan yang sedang membuang bungkus plastik kuah mi instan ke ranting semak-semak dengan sikap yang tidak peduli. Plastik merupakan limbah yang susah sekali hancur dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang mengakibatkan masalah-masalah lain muncul. Selain itu, terdapat kalimat “kantung itu menyangkut di ranting semak yang meranggas dan berdebu” yang memiliki makna sebagai suasana kota jakarta yang gersang dan tidak terurus. Masalah pencemaran lingkungan yang terdapat dalam cerpen ini terlihat ketika pramusaji kereta api membuang sisa-sisa makanan. Masalah tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
 
“Orang ketiga adalah gadis pramusaji yang cantik seperti pramugari. Ditangganya ada kantung warna hitam, tentu berisi sampah sisa makanan. Kantung itu dilempar kebawah dan jatuh empat meter di hadapan tiga warga pinggir rel. Nasi sisa, tulang-tulang ayam goreng, ada juga paha ayam goreng yang masih utuh, potongan daging bakar, berserakan di pelantaran batu kora”
“Mata anak laki-laki usia lima tahun itu menyala dan membulat ketika melihat ada paha ayam goreng tergeletak di atara serakah sisa makan. Dan anjing yang tadi kencing di dekat lampu sinyal ternyata bergerak lebih cepat. Si anak tertahan. Apalagi si ayah menekan pundak anaknya agar tidak melangkah.”
 
Kutipan pertama menggambarkan gadis pramusaji yang membuang kantung plastik sampah yang didalamnya terisi sisa-sisa makanan bekas warga yang berada dalam kereta api. Kantung tersebut di lempar keluar kereta yang ditujukan kepada warga pinggir rel. Kutipan kedua menjelaskan tokoh anak yang ingin mengambil sisa makanan dan dilarang oleh ayahnya. Hal tersebut membuktikan tentang masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pramugari, ketika tokoh laki-laki melarang tokoh anak untung mengambil katung yang berisikan sisa makanan. Larangan tokoh laki-laki itu membuat kantung itu tidak tersentuh oleh siapapun dan menjadi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kantung tersebut.
Pencemaran lingkungan yang dilakukan dengan cara membuang sampah sembarang merupakan hal yang tidak patut ditiru oleh masyarakat. Masalah pencemaran lingkungan ini harus diatasi oleh pemerintah demi kelancaran pembangunan kota.
 
Cerpen "Anak Ini Ingin Mengencingi Jakarta" menceritakan kehidupan rakyat miskin yang di dalamya terdapat tiga orang warga pinggir rel kereta api. Ketiga warga tersebut menjalani hidup dengan apa adanya dengan kondisi rumah gubuk yang terbuat dari kardus serta mi instan sebagai makanan pokoknya. Hal tersebut digambarkan dengan detail oleh pengarang, dan sebagai salah satu kritikan untuk pemerintah.
 
Dalam cerpennya, pengarang mengkritik tentang kritik sosial terhadap perhatian pemerintah tentang masalah kemiskinan, kritik sosial terhadap pelanggaran norma-norma masyarakat, dan kritik sosial tehadap pencemaran lingkungan.

Ikuti tulisan menarik Meldiansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler