x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mini-Fashion Trend-nya Indonesia : Prematur dan Pincang

Busana mini akan menjadi tren budaya yang dilakoni secara pincang karena mental kita tak dikondisikan untuk menghadapinya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa tahun silam, kita kembali diingatkan kejadian sekitar 50 perempuan yang rata-rata memakai celana rok pendek menggelar aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, tepatnya pada Minggu sore, 18 September 2011. Mereka menyatakan kekecewaannya terhadap ucapan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, yang sempat mengatakan bahwa cara berpakaian perempuan (celana dan rok mini) menjadi pemicu terjadinya tindak pelecehan seksual dan pemerkosaaan. Sambil berorasi dan meneriakkan yel-yel mereka juga membawa poster yang bertuliskan, “Bukan Rok Kami yang Salah, Tapi Otak Kalian yang Mini”, “Tubuhku tidak Porno, yang Porno Otakmu”, “Kendalikan Nafsumu, Bukan Kendalikan Pakaianku”, dan seterusnya. Sebagai bagian realitas kebudayaan modern (pop), busana mini menuai pro dan kontra dalam konteks kehidupan sosial budaya kita di Indonesia. Untuk diketahui, mini-fashion trend pertama kali dipopulerkan pada tahun 1960 oleh perancang busana berkebangsaan Prancis, Andre Couregges (Father of The Mini). Konsep busana mini ini sendiri sebenarnya mengacu pada tampilan busana kaum wanita yang sedemikian minimalisnya jika dikenakan sehingga tidak menutup bagian tubuh tertentu dan karenanya tidak hanya mengacu pada rok atau celana mini yang notabene kita pahami selama ini.

Kenyataannya di Indonesia, banyak kalangan yang mengecam kehadiran tren budaya berbusana kaum wanita yang serba minimalis ini. Selain menyalahi tata aturan dan etika kesopanan, katanya busana mini ini juga dapat berpotensi pada terjadinya tindak pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu, tren budaya berbusana mini ini seharusnya ditiadakan. Kendati demikian, banyak pula kalangan masyarakat (terutama kaum wanita) yang menentang pandangan di atas. Dalam konteks perjuangan gender, kaum wanita melihat larangan tren berbusana mini sebagai upaya pembatasan kebebasan kaum perempuan dalam hal berbusana. Bukan tanpa alasan, perjuangan kaum wanita untuk memperoleh kebebasan ini mulai mendapat perhatiannya secara luas semenjak dicetuskannya gerakan Feminisme di belahan dunia barat oleh Betty Friedan melalui karyanya “The Feminisme Mystique” yang intinya mengupayakan kebebasan kaum wanita dalam peran sosial, tak terkecuali kebebasan untuk berbusana sesuka hati. Tak disangkal, realitas keberadaan tren busana mini ini pun hingga kini menjadi satu latent social problem yang tiada habis-habisnya diperdebatkan dalam konteks kehidupan sosial di Indonesia.

Dalam satu pandangan yang mungkin lebih dalam dan obyektif guna meninjau fenomena sosial tren berbusana mini di tanah air, kita dapat berangkat dari esensi terbentuknya etika dan norma dalam meregulasi budaya berbusana di Indonesia. Marshall B. Clinard dan Robert M. Meier dalam bukunya Sociology of Deviant Behavior (2008) menyatakan : “ethics and norms does not take in social vacuum and it is a properties social.” Hal ini tentunya menegaskan kembali bahwa etika dan norma lahir dan terbentuk dari kesepakatan sosial yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan, yang selanjutnya bisa kita pahami sebagai sebagai nilai dari etika dan norma itu sendiri. Masyarakat sosial tentunya melahirkan etika dan norma sebagai upaya dalam merespon kondisi sosial-budayanya, terutama mengantisipasi dampak-dampak destruktif bagi kehidupan bersama. Pemahaman ini kemudian kita tarik ke dalam fenomena tren budaya busana mini di tanah air, maka dapat dikatakan etika dan norma yang meregulasi budaya berbusana bagi kaum wanita Indonesia lahir dari refleksi atas situasi dan kondisi sosial-budaya bangsa dan negara Indonesia yang mencerminkan kehidupan kolektivisme. Artinya bahwa dalam kehidupan yang kolektif itu, kita senantiasa memiliki hubungan yang erat dengan orang lain dan tidak semestinya menampilkan hal-hal yang bersifat privasi (aurat) pada ranah publik (tabu) dan selayaknya menyembunyikannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan demikian kita terbiasakan dengan realitas kehidupan ketertutupan akses area privasi. Hingga suatu saat, jika area privasi tersebut dipertontonkan maka tidak heran betapa pekanya kita terhadap situasi dan kondisi yang tidak biasa. Jelas bahwa ketika tren budaya berbusana mini kaum wanita kita secara kasat mata nyaris atau bahkan sama sekali menampilkan area privasi mereka mengakibatkan timbulnya sensitivitas dorongan orientasi seksual pada kaum pria yang menyaksikannya. Menurut Edward T. Hall, orientasi (mental) terhadap budaya seksualitas masing-masing budaya berbeda. Budaya berbusana mini di dunia barat menjadi lumrah dan bahkan bagian budaya mereka karena afeksi mental mereka sedari kecil sudah terlatih dan terbiasakan terhadap akses keterbukaan aurat-aurat yang dapat mendatangkan erotis dan emosi seksual. Asumsinya, semua orang memiliki barang yang sama. Sebaliknya, busana mini ini anggap kontras dalam budaya kita karena afeksi mental kita tidak sama sekali disiapkan dan karenanya sangat peka terhadap akses keterbukaan aurat-aurat yang dapat melahirkan erotis dan emosi seksual. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada benarnya juga bahwa busana mini berpotensi pada pelecehan dan pemerkosaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sampai di sini, muncul pertanyaan bagaimana perihalnya kelompok-kelompok budaya di Indonesia yang kaum wanitanya yang menampilkan aurat bahkan nyaris telanjang dalam kehidupan sosialnya? Setidaknya kita harus pahami bahwa dalam aspek mental atau orientasi seksual individu sangat bergantung pada bagaimana konteks kehidupan sosial mereka berada, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan proses internalisasi nilai semenjak lahir. Adalah hal yang lumrah dan biasa ketika sedari kecil mereka sudah dibiasakan oleh kondisi kehidupan sosial yang demikian dan ini hanya berlaku di antara mereka dalam kehidupan sosialnya. Artinya, ketika mereka bergerak keluar dari kelompoknya dan berinteraksi dengan kelompok budaya yang berbeda nilainya budaya tentunya suatu tuntutan mereka harus menutup area privasinya.

Sepakat bahwa kaum wanita Indonesia memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya melalui berbusana, tak terkecuali mengenakan busana mini. Hanya saja, perlu dipahami bahwa bangsa dan negara Indonesia adalah kelompok masyarakat kolektivisme dengan nilai hidup yang mengisyarakat ketertutupan akses area privasi. Maksudnya, sebagai produk kebudayaan asing, busana mini akan menjadi tren budaya yang dilakoni secara pincang dalam konteks kehidupan sosial-budaya Indonesia. Karena mental kita sebagai orang Indonesia tidak dikondisikan untuk hidup dengan menyaksikan tren budaya demikian. Hal ini juga mungkin menjadi jawaban tak semua kaum wanita Indonesia setuju bahkan menghujat tren budaya berbusana mini. Inilah poin penting terbentuknya etika dan norma yang mendasari budaya berbusana bagi kaum wanita Indonesia. Bukan soal produk etika dan norma itu sendiri, tetapi bagaimana untuk menyadari dan mengerti nilai maksud dan tujuan dibaliknya. Berbeda hal jikalau tren budaya berbusana mini dilakoni di tengah-tengah masyarakat individualisme yang mentalnya sudah ditanamkan untuk terbiasa dan karenanya mentolerir realitas busana mini di ranah publik secara total. Memang konsekuensi perkembangan dan kemajuan peradaban menjadikan kita mau tak mau harus berdaptasi dengan situasi dan kondisi demikian.

Tapi kita juga perlu pahami bahwa aspek budaya materil akan sangat lebih mudah untuk diadaptasi ketimbang aspek budaya non-materil (nilai). Kenyataannya logika adaptasinya terbalik karena kita lebih mempriorotaskan aspek materil (busana mini) daripada aspek nilai yang mendukung eksistensinya. Justru aspek nilainya yang menentukan kualitas keberadaan tren budaya berbusana mini tersebut. Sehingga apa yang diteriakkan dalam kasus aksi demo kaum wanita di atas menyalahkan aspek nilai (pikiran, perasaan, dan mental) kaum pria adalah benar dan sebenarnya itu menjadi lumrah ketika kita pahami kondisi nilai yang dianuti memang demikian. Tranformasi nilai kehidupan bukanlah satu proses yang serta-merta. Hal itu bahkan memakan waktu yang sedemikian lamanya bahkan terkesan sulit karena nilai itu sendiri telah tertanam semenjak kita kecil. Hal yang mau disampaikan adalah kita tidak dapat memaksakan kehadiran tren berbusana mini dalam ranah publik kehidupan sosial Indonesia karena memang kita dikondisikan berada di tengah manusia dan budaya yang belum menganut secara total nilai yang menjamin keberlangsungan tren budaya berbusana mini. Kalaupun dipaksakan akan nampak sebagai budaya prematur karena ditampilkan sebelum waktunya, saat di mana ada keseimbangan antara aspek nilai dan aspek budaya konkretnya. Merespon kenyataan nilai yang dianut publik masyarakata Indonesia yang demikian, tren budaya busana mini harus diadopsi secara sadar akan kesesuaian ruang dan waktu yang layak. Sejauh ini, berani dikatakan tren budaya berbusana mini semestinya masih belum mendapat tempat pada ranah publik dalam konteks kehidupan sosial Indonesia dan selayaknya tetap berada dalam area privasi. Sebaliknya, jika dipaksakan maka tren budaya ini menjadi pincang dan prematur karena tidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya Indonesia saat ini, karena pada tahap ekstrimnya bisa selalu berpotensi pada pelecehan dan pemerkosaan, selaku satu dari sekian banyak faktor penyebabnya tindak kriminalitas tersebut.

Bentuk-bentuk pemahaman demikian setidaknya dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi kita bagaimana menghadapi kontroversi fenomena tren budaya berbusana mini di tanah air. Sulit memang menyikapi persoalan ini secara lebih netral dan obyektif karena masing-masing pihak baik yang pro maupun kontral memiliki kepentingan di dalamnya. Akan tetapi sudah saatnya kita kembali berpikir dan bersikap secara lebih jernih tanpa dihantui oleh kepentingan ego dalam menemukan sesuatu yang sesungguhnya lebih sentral dan fundamental demi kebaikan bersama.

 

 

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu