x

Ilustrasi penjahat demokrasi. Sumber foto: turkau.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Agustus 2022 20:01 WIB

Menuju 2024, Angin Politik Berembus Kembali ke Status Quo

Siapapun yang menang di antara elite partai politik yang mencalonkan diri, situasi dan kondisi negara ini cenderung tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Selama ini, sikap kenegaraan mereka sudah terlihat, dan mereka adalah figur-figur yang cenderung pada status quo, tidak cukup punya visi untuk melakukan perubahan mendasar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Angin politik menuju 2024 tampaknya belum pasti, pusat pusarannya masih berpindah-pindah tempat. Belum jelas benar bagaimana akhirnya nanti siapa saja yang maju sebagai capres dan partai-partai mana yang saling menjalin koalisi. Hingga September tahun depan, pasangan capres/cawapres boleh jadi masih belum jelas benar. Becermin pada pemilihan presiden 2019, bahkan nama-nama pasangan itu mungkin saja muncul di menit-menit terakhir menjelang pendaftaran.

Gerindra misalnya. Walaupun sudah pasti mencalonkan Prabowo Subianto sebagai capres dan menyatakan berkoalisi dengan PKB, namun belum ada kepastian apakah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar akan menjadi pasangan cawapres Prabowo. Kabar yang disampaikan media massa, elite Gerindra sebenarnya lebih berminat untuk mengajak Gubernur Jawa Timur Kofifah Indar Parawangsa, yang barangkali dianggap memiliki hubungan yang lebih baik dengan basis massa PKB, dalam hal ini warga NU, dibandingkan Muhaimin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu pula dengan Partai Nasdem, situasi internal elitenya bisa juga berubah. Dalam Rakernas Nasdem yang baru lalu, partai ini telah menetapkan tiga nama bakal capres, yaitu Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Belakangan, setelah bertemu dengan Puan Maharani, dikabarkan oleh media massa, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh mengatakan bahwa keputusan Rakernas itu masih mungkin berubah. Kata Surya, Puan pun masuk ke dalam radar pantauan Nasdem.

Inilah realitas politik di negeri ini: setiap kali masa pemilihan presiden hampir tiba, segala sesuatu bisa berubah cepat. Tidak mudah memegang kata-kata politisi, yang satu saat bilang begini dan di saat lain berkata begitu. Mereka berupaya menjalin komunikasi dengan saling mengunjungi di antara sesama elite partai. Dengan saling mengunjungi, mereka sebenarnya juga tengah menjajagi keadaan partai kompetitor, sehingga mereka dapat memperhitungkan apakah menguntungkan bila diajak berkoalisi atau justru melemahkan. Intinya adalah bagaimana bertahan di dalam lingkaran kekuasaan.

Rasa-rasanya, pertimbangan yang dibuat elite partai bukan lagi soal ideologis, melainkan lebih pada pertimbangan pragmatis: apakah berkoalisi dengan Partai X akan membawa kepada kemenangan atau sebaliknya; apakah koalisi dengan Partai Z akan membuat capres mereka terpilih atau justru bertekuk lutut. Kalkulasi politik dilakukan untuk menghitung besarnya peluang untuk menang, bukan alasan ideologis ataupun kesamaan visi—sesuatu yang abstrak dan mudah sekali mereka padu-padakan.

Hingga menjelang masa pendaftaran capres pada September tahun depan, situasi politik akan terus berubah. Dinamikanya semakin tinggi. Tiap-tiap elite politik akan mengambil inisiatif untuk dapat memastikan siapa yang akan mereka calonkan. Pilihan mereka cukup terbatas bila mengandalkan nama-nama yang beredar selama ini: Prabowo, Airlangga, Muhaimin, Puan, Ganjar, dan Anies. Lalu ada Erick, Agus Harymurti, dll.

Keterbatasan nama yang berpotensi maju ke kompetisi pilpres sebenarnya memperlihatkan betapa sirkulasi kepemimpinan nasional beredar di kalangan terbatas. Prabowo, Airlangga, Muhaimin, dan Puan adalah sosok-sosok yang berada di lingkaran pertama elite partai, yang sudah bertahan bertahun-tahun bercokol di lingkaran ini. Nasib Ganjar dan Anies bergantung pada elite lainnya yang tidak berhasrat mencalonkan diri karena alasan tertentu. Sayangnya, semua elite ini cenderung berpikir pragmatis: bagaimana ikut dalam parade kemenangan pilpres dan pileg agar bisa bertahan di lingkaran dalam kekuasaan atau bagaimana agar bisa masuk ke dalamnya bagi yang masih berada di luar.

Maknanya pula, siapapun yang menang di antara elite terdalam partai tersebut, situasi dan kondisi negara ini cenderung tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Selama ini, sikap kenegaraan mereka sudah terlihat, dan mereka adalah figur-figur yang cenderung pada status quo, tidak cukup punya visi untuk melakukan perubahan mendasar. Terlebih lagi apabila partai-partai yang sekarang ini berkuasa akan memilih bergabung dengan pemenang pilpres dan pileg mendatang. Status quo semakin tidak akan terusik. Rakyat banyak yang mengharapkan perbaikan dan kemajuan di berbagai lapangan melalui kepemimpinan yang baru mungkin akan kecewa karena kemungkinan tersebut berpeluang lebih besar untuk terjadi, kecuali bila ada keajaiban yang turun dari langit. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler