x

Dok pribadi

Iklan

Imron Supriyadi

Jurnalis www.kabarsumatera.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 5 September 2022 07:19 WIB

Seniman Gubernur

Benar kata ayahku, di muka bumi ini ada tiga bentuk manusia yang sulit diatur. Pertama wartawan, kedua seniman dan ketiga orang gila. Amran masuk kedua watak manusia, seniman juga wartawan. Jadi klop, keras kepalanya dua kali lipat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

17

Cerpen Imron Supriyadi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pagi sekitar pukul 06.30 WIB, Kantor Pandawa, sebuah Even Organizer (EO) Kesenian di kotaku masih sepi. Tapi Pardiman, kali itu sudah muncul. Ia selalu datang lebih dulu dari crew lainnya.

Meski bukan penjaga kantor, tapi Pardiman melakukan sesuatu yang bisa dilakukan untuk menjaga kenyamanan di kantor setiap hari. Termasuk menyapu, merapikan arsip-arsip yang terserak, layaknya office boy pada umumnya.

Sesaat Pardiman membaca sebuah undangan yang tergeletak di atas meja pimpinan. Sebelum merapikannya, Pardiman sempat membaca undangan yang sejak semalam sudah dibuka oleh beberapa crew lembaga. Amplop cokelat itu tertera lambag garuda dan deretan huruf yang menjelaskan undangan berasal dari gubernur.

“Pagi, Man!” Sutarman, Direktrur Pandawa datang menyapa Pardiman.

“Pagi juga!” Pardiman menjawab pendek.

Hubungan antar crew di lembaga ini tidak seperti di perusahaan pada umumnya, yang mengedepankan feodalis struktural. Hubungan antara pimpinan dan bawahan di Venesia bersifat kolektif kolegial. Sehingga, jalinan satu dan lainnya berjalan setara. Hanya pada kebijakan tertentu saja, lembaga ini tetap proporsional, seperti tanda tangan surat dan kontrak dengan sejumlah kolega.

“Cak mano, kito? Nak datang idak di acara agek malam?” tanya Pardiman pada Sutarman.

“Secara kelembagaan, kito dateng bae. Apo lagi ini undangan dari Pak Gubernur,” ujar Sutarman.

“Wong berapo yang boleh datang?” Pardiman sepertinya ingin ikut.

“Kalu di undangan ini dak pulok di cantumke berapo wong-nyo. Jadi aku raso, kito pacak datang galo ke sano. Ini kan undangan untuk para seniman. Jadi yang meraso seniman, yo seharusnyo melok tepanggil,” ujar Sutarman.

Perbincangan mereka terputus ketika sebuah sepeda motor masuk ke halaman. Setelah derum mesin sepeda motor berhenti, seketika Amran, salah satu pelaku sastra pagi itu muncul. Kali ini Amran datang agak lebih pagi dari biasanya.

“Hei, tumben seniman datang pagi!?” Pardiman meledek Amran.

“Harus mengubah pola pikir, Bung! Seniman tak akan maju kalu nak bangun siang terus.

“Alaaaah, paling-paling bangun tepakso kareno ngantar anak sekolah,” kelakar Sutarman.

“Naaaah, itu tahu. Tapi kito terimo kaseh samo anak kito. Sebab kalu be aku ndak bebini dan punyo anak, kuraso aku maseh tula bangun siang,” sahut Amran yang ditingkahi gelak tawa.

“Cak mano, Lur, kau nak datang idak, Am acara agek malam?!” Sutarman langsung pada pokok pembicaraan.

“Kalu aku maaf bae nak datang,” jawab Amran. Pardiman dan Sutarman saling pandang.

“Kalu kau, Tarman, sebagai pimpinan wajib datang, sebab mewakili lembaga. Tapi aku dan mungkin kawan lain, punyo hak idak datang di acara itu,” tegas Amran.

“Am, ini malam penghargaaan seniman!” sahut Pardiman.

“Kau jinguk kop suratnyo. Seharusnya yang ngundang kito Forum Seniman Provinsi, bukan gubernur. Kalu yang tanda tangan Kak Jai, ketua kito, aku datang. Tapi ini kan gubernur. Bukan Ketua Forum. Aku meraso, gubernur sudah mengambil alih kewenangan Ketua Forum,” tegas Amran.

“Mungkin kareno kegiatannyo di Pendopo Utama, jadi gubernur yang tanda tangan, Am!” ujar Sutarman mendinginkan suasana otak Amran.

“Lho, Pendopo Utama itu dibangun dengan duit rakyat. Siapapun rakyat boleh makai kapan saja, tanpa harus gubernur yang tanda tangan. Jangan mentang-mentang dia yang ndanai, atau di rumah dio, laju gubernur sekendak jidat be tanda tangan!” ujar Amran ketus.

“Kito hormati Kak Jai, Am! Dio kan Kepala Dinas Pariwisata. Dan kito juga perlu sama dio. Selamo ini dio juga bantu kito di event-event yang kito garap,” jelas Pardiman setengah merayu Amran agar berkenan hadir di acara nanti malam.

“Nah, itu dio sikok lagi masalahnyo. Kareno Ketua Forum merangkap Kepala Dinas, jadinyo yo cak inilah. Tunduk samo gubernur. Otaknyo pasti struktural,” ujar Amran lagi.

“Jadi….!?” Pardiman masih menunggu jawaban.

“Itu terserah kalian. Kalu aku idak nak datang. Sebab aku meraso hak-hak seniman sudah dikebiri, baik secara pribadi atau secara kelembagaan!” Amran tetap bersikukuh tidak akan datang di malam anugerah seniman nanti malam. Pardiman dan Sutarman tak bisa memberi argumen lagi pada Amran yang keras kepala.

Benar kata ayahku, di muka bumi ini ada tiga bentuk manusia yang sulit diatur. Pertama wartawan, kedua seniman dan ketiga orang gila. Amran masuk kedua watak manusia, seniman juga wartawan. Jadi klop, keras kepalanya dua kali lipat.  

Pardiman dan Sutarman sangat mengetahui watak Amran yang acapkali berpikir tidak logis dan kaku. Tak jarang Amran benturan pemikiran dengan seniman lainnya, hanya lantaran perdebatan sepele. Ya, seperti kop surat dan tanda tangan di undangan saja dipersoalkan.

Bagi seniman lain, hal itu mungkin bukan masalah. Tapi bagi Amran, sikapnya itu demi menjaga ideologi dan hak seniman. Jadi Amran putuskan tidak hadir.

Mungkin bagi seniman lain, logo dan kop surat gubernur bukan hal prinsip. Bahkan sebagian menganggap itu penghargaan. Seniman sedang dimuliakan gubernur. Tapi bagi Amran tidak.

Kebijakan gubernur di acara itu sudah mengecilkan seniman. Sebab selama Amran bergabuung di Forum Seniman, baru kali ini acara anugerah seniman diundang dengan tanda tangan gubernur. “Ini sejarah buruk malam anugerah seniman!” bisik Amran kesal.

*

Ba’da isyak, seperti yang dijadwalkan, ratusan seniman di kotaku sudah memenuhi Ball Room Pendopo Utama, ruang pertemuan di kediaman gubernur. Tak ketinggalan Pardiman dan Sutarman juga sudah ikut hadir. Tampak keduanya bercengkrama dengan beberapa seniman lain yang turut hadir malam itu.

“Hei, ngapo cuma beduo, bae. Mano Amran?! tanya Erwin, seniman Teater yang sudah beberapa kali mendapat penghargaan aktor terbaik di kotaku.

Erwin sangat tahu dengan tiga serangkai, Pardiman, Sutarman dan Amran. Tapi kali itu Amran tidak nongol hingga menjadi bahan tanya Erwin di acara sebesar itu.

“Lagi ado gawe. Kato dio, Amran lagi dikejar deadline berita, jadi dak biso diganggu, gek pecah fokus katonyo,” Pardiman mencoba melindungi Amran.

“Bukan kareno undangannyo ditanda tangani gubernur?!” Erwin sepertinya sudah dapat kabar burung tentang ketidakhadiran Amran. Pardiman dan Sutarman hanya senyum.

“Payah budak itu. Awak seniman, tapi kaku. Seharusnya dio ambek positifnyo bae. Kito pacak silaturahmi di sini. Jangan cak itu lah. Omongi samo Amran, jangan cak itu. Kito hormati Pak Gubernur yang sudah ngundang kito,” ujar Erwin.

“Kami di kantor sudah bahas. Mulut kami sudah berbuih ngajak Aman. Tapi maseh tula nak kendak dio. Amran itu wongnyo kalu ngomong A yo A. Dak pacak nak dibelokke lagi,” ujar Pardiman.

“Itu namonyo idiealisme keblinger, Bro. Mada’i cuma gara-gara tanda tangan undangan dio dak datang. Jadi apo bedanya wong balek haji, laju marah gara-gara dak disebut haji!” Erwin membuat perumpamaan. Pardiman dan Sutarman lagi-lagi hanya bisa menghela napas. Tak bisa lagi berargumen tentang sikap Amran.

*

Ketiganya kemudian menempati beberapa kursi, bersama undngan lainnya ketika MC malam itu sudah mulai membuka acara. Deretan kursi utama terlihat jajaran petinggi di pemerintah provinsi, termasuk gubernur.

“Seniman jangan cuma pacak minta fasilitas, tapi gunakan fasilitas yang ado. Cak mano aku nak memenuhi fasilitas yang lebih, kalu yang ado bae idak tepakai dengan maksimal. Jadi maksimalkan yang ada dulu. Tunjukkan karyamu. Mana karya seniman yang spektakuler. Nanti kalau kurang, bilang sama Pak Kepala Dinas Pariwisata, apa yang diperlukan akan kita cukupi!” tegas gubernur saat memberi sambutan di acara itu.

Malam itu, isi sambutan gubernur terdengar pedas di teliga seniman. Tak ada sambutan gubernur sebelumnya yang seketus malam itu. Nadanya tinggi. Dari ritme dan gaya bicaranya, ada kekesalan yang tersimpan di dada gubernur. Baru malam itu sepertinya ditumpahkan.

Bisa jadi gubernur kesal dengan sejumlah berita di media massa yang cenderung menyerang pemerintah provinsi. Hampir sejumlah media di kotaku memberitakan tentang lemahnya sikap pemerintah provinsi terhadap pemenuhan fasilitas seniman.

Di mata seniman, pemerintah provinsi dianggap kurang respek pada seniman. Sebab fasilitas gedung kesenian yang dibangun tidak memenuhi standar pementasan. Dana juga sangat terbatas. Atas dasar alasan itu, sejumlah kelompok seni yang tampil lebih memilih pentas di tempat lain dari pada di gedung kesenian. Para seniman menilai, ada beberapa auditorium yang dianggap lebih representatif untuk pementasan seni.

Belum lagi, pembangunan gedung kesenian yang jauh dari pusat dianggap para berdampak secara psikologis pada minat dan animo penonton.

Hal nyata sudah terbukti di beberapa event. Setiap kali pementasan teater, sendra tari, pameran dan sejenisnya, jumlah penonton tak memenuhi target. Apalagi pementasan di gelar pada malam hari. Baru terima undangan, muncul keluhan dari penonton. Ini terungkap di berbagai media massa di kotaku.

“Aih, jauh nian. Kak. Apolagi malam, kito ngeri. Daerah itu kalu malam sudah rawan. Tapi kalu siang mungkin kami akan datang,” ujar Rima, salah satu seniman teater di kampusku pada satu kesempatan.

“Kalu siang mungkin banyak jugo penonton. Tapi kalu malam, wong tu malas. Selain jauh, di sano tu sepi, Kak. Kalu balek malam, kami-kami ini yang betino pasti ndak boleh sama ayah. Cubo kalu di pusat kota, kan lemak kito. Deket jugo,” ujar Santi dan Andra, dua mahasiswi di kotaku, menolak datang karena alasan takut.

“Seharusnya Pak Gubernur bangun gedung kesenian di pusat kota bae, jadi lemak untuk latihan. Warga jugo dak kejauhan,” ujar warga lainnya.

“Gedung kesenian itu tidak standar pementasan seni. Tapi lebih tepat untuk acara pernikahan. Dari perform-nya lokasi, tata ruang, lighting dan masih banyak lagi. Seharusnya Pak Gubernur sebelum membangun gedung itu konsultasi dulu, ya minimal ajak dulu seniman ngomong, gimana maunya. Tapi ini kan tidak! Tahu-tahu dibangun bae, dan mengabaikan ide dan gagasan seniman. Akhirnya seniman ya kecewa dengan gedung itu jadi sewaan perkawinan. Coba bandingkan dengan gedung kesenian Jakarta, Taman Ismail Marszuki, Teater Utan Kayu, tambah lagi Salihara, jauh kebanting gedung kita,” ujar Johan, seniman musik yang sudah keliling Indonesia.

Semua kutipan yang ditulis media masaa di kotaku, sepertinya yang membuat menimbulkan gubernur menyerang balik ke seniman. Bongkahan argumentasi dan ketidaknyamanan pemberitaan tentang kesenian benar-benar diluapkan malam itu.

“Seniman itu harus menunjukkan prestasi dulu. Jangan minta dulu baru bernbuat! Mana yang kurang, nanti akan kita bangun sesuai permintaan seniman. Ini kan idak. Gedung yang sudah ado, tapi dak dimanfaatke, tapi minta difasilitasi terus. Ngomog dak sesuai dengan standar pementasan. Bangun dulu iklim dan dinamika berkesenian di daerah kita, baru akan kita lihat di mana sisi kurangnya. Dan saya berjanji, ke depan akan kita anggarkan melalui APBD,” ujar gubernur malam itu, diiringi tepuk tangan para undangan, terutama jajaran pemerintah.

*

Tiba saatnya acara anugerah seniman. Setidaknya malam itu ada 4 cabang seni yang mendapat penghargaan. Masing-masing, Seni Rupa, Teater, Tari dan Musik. Satu cabang seni : sinematografi dan film tidak masuk dalam kategori penghargaan. Alasan Tim Seleksi, di kotaku tidak ada seniman yang konsisten melakukan dan memproduksi sinteron dan film sebagaimana di Jakarta dan kota lainnya di jawa.

Sebagai seniman sinematografi dan film, Ahmad Jastin terlihat bersungut-sungut. Dia tampak gelisah. Beberapa kali Jastin bergser duduk. Sesekali berdiri. Jastin mulai uring-uringan. Beberapa kali menatap seniman lain. Tapi mereka hanya termangu. Tak tahu apa yang akan dilakukan Jastin.

Tiba-tiba, Jastin maju dan naik ke panggung usai pemberian penghargaan. Tepat setelah gubernur memberi sambutan, Jastin merebut mikropon dari MC malam itu. Tak ayal, ratusan undangan yang hadir tercengang. Gerangan apa yang akan diucapkan Jastin.

Di hadapan para tamu, Jastin menabrak ageda acara malam itu. MC tak bisa mengambl kembali, ketika mikropon sudah di tangan Jastin. MC juga gusar. Sesekali Aryanti, MC melakukan koordinasi dengan Ferdi, MC lainnya. Tapi keduanya tak kuasa mencegah Jastin yang sudah terlanjur merebut mikropon dari Aryanti.

“Inilah wajah kota kito. Inilah caro pemerintah yang tidak punya apresiasi terhadap seni. Aku ini sudah empat belas tahun berkesenian di sintron dan film, sampai ke Jakarta. Sudah berapo sintron dan film yang aku bintangi. Aku jugo nulis naskahnyo. Jadi sutradara jugo pernah. Kalu dak pecayo, tanyo be samo wong tivi, wong film di Jakarta! Siapo yang ndak kenal dengan Jastin. Inilah pemerintah yang dak pacak menghargai seniman film, cak aku ini. Sudah itu bae, terimo kaseh!” Jastin kemudian turun panggung dengan langkah lebar.

Sambil tertawa-tawa, Jastin sepertinya malam itu sudah melepas kekesalannya pada tim seleksi yang tidak mencantumkan cabang seni sinematografi dan film dalam malam anugerah. Seniman dan sejumlah udangan yang setuju dengan Jastin kemudian bertepuk riuh. Sementara yang lain, apalagi para birokrat, ikut geram dengan sikap Jastin, yang malam itu seolah-olah mempermalukan gubenrur di tengah undangan resmi.

“Nah, Nyahok gubernur lantak Jastin!” ujar seniman di balik kursinya.

“Alangke melawan Jastin. Kalu gek disentak Pak Gub!” ujar yang lain.

“Apo diolah Jastin. Nak ngomong cak itu pulok. Sudahlah!” ujar lainnya.

Tapi, penguasa tak pernah habis cara untuk menundukkan punggawa. Kekuasaan tetap saja kekuasaan. Nyaris tak ada sejarah penguasa mau kalah dengan rakyat. Demi menjaga nama baik, penguasa akan tetap saja melakukan apapun demi martabatnya. Siaipun penguasanya, tak mau kekuasaan dan status jabatannya dipermalukan di hadapan publik. Pun demikian halnya malam itu.

Gubenur tak kurang akal meredakan emosi Jastin yang baru saja meledak di atas panggung. Gubernur tak mau ditelanjagi di hadapan anak buahnya, apalagi di rumahnya sendiri : Pendopo Utama.

Hanya berselang beberapa detik, gubernur terlihat beranjak dari tempat duduk. Sejumlah pejabat yang berdekatan duduk dengan gubernur berdiri. Sementara yang lain hanya bengong. Heran, gerangan apa yang akan dikatakan gubernur kali itu. 

Suasana jadi hening dan tegang. Tepuk tangan spontan menggemuruh ketika gubernur dipastikan naik ke panggung untuk kali kedua, di luar sambutan resmi. MC buru-buru melangkah ke tengah panggung dan memberikan mikropon pada orang nomor satu di kotaku.

“Mohon maaf, kalau saya harus kembali naik panggung. Sekali lagi saya mohon maaf kalau ada yang terlupa. Ini mungkin kesalahan saya dan juga Tim seleksi yang tidak melibatkan seni sinematografi dan film dalam anugerah malam ini. Saya atas nama pemerintah provisni, dan atas nama panitia malam ini penghargaan seni sinematografi dan film kita masukkan dalam kategori anugerah seni. Mohon maaf kepada Pak Jastin kalau saya tidak tahu sepak terjang anda di film dan sineteron. Saya mohon kepada Pak Jastin bisa naik ke panggung,” ujar gubernur malam itu. Jastin sama sekali tidak menyangka kalau gubernur akan mengajak dirinya ke panggung resmi.

Entah apa yang terpikir di benaknya, seketika Jastin langsung beranjak dari duduk dan melangkah menuju panggung. Bangga, bahagia, haru dan senang. Tak jelas. Sekali lagi, Jastin menyalami gubernur. Wajahnya masih belum puas. Agak sinis terhadap ujaran gubernur malam itu. Sebab Jastin belum mengetahui akhir dari sambutan gubernur dua periode itu.

“Pak Jastin, mohon maaf. Ini hanya kesalahn teknis saja. Malam ini, melalui dinas pariwisata, Pak Jastin berhak mendapat anugerah seni sinematografi dan film, dengan uang pembinaan sepuluh juta rupiah. Pak Kadin Pariwisata, tolong siapkan untuk Pak Jastin sepuluh juta, besok diambil di dinas pariwisata. Kalu dinas dak katek duit, ambek ke rumah, biar duit aku yang kasih uang pembinaan sama Pak Jastin,” ujar gubernur yang ditingkahi tepuk riuh para undangan.

Gubernur langsung turun panggung. Tapi langkahnya terhenti sesaat ketika Jastin tiba-tiba menarik tangan gubernur untuk menyalami sebagai ucapan terima kasih. Kali ini Jastin mencium tangan gubernur. Spontan, wajah Jastin yang tadinya tegang menjadi cair dan sumringah. Di benaknya sudah tergambar uang 10 juta rupiah.

Sebagai ucapan terima aksih, Jastin kemudian menyambar mikropon dari MC. Wajahnya cerah, nyaris mengalahkan lampu panggung malam itu. Napasnya masih belum teratur. Mungkin karena Jastin mendapat kebahagiaan kejutan dari pimpinan pemerintah.

“Nah, inilah contoh gubernur yang bisa menghargai seniman. Ini patut dicontoh oleh gubernur lain di Indonesia. Ini bentuk kepedulian pemerintah pada seniman. Terimo kasih Pak Gubenur, atas penghargaannya. Sekali terimo kaseh nian,” Jastin kemudian turun panggung dengan senyum puas. Kali kedua Jastin mendekati gubernur dan mencium tangan untuk kali kedua.

Di hadapan ratusan udangan, rasa malu gubernur malam itu terselamatkan. Jastin yang meludahi muka gubernur, malam itu kena konck out 10 juta dari gubernur. Beberapa kepala dinas menoleh ke wajah gubernur. Satu diantaranya memberi acungan jempol. Gubernur pun melakukan hal serupa. Tapi sedetik kemudian, gubenur membalik jempol ke arah sepatunya.

Jempol terbalik, mirip adegan pertarungan berdarah di Colloseum pada zaman Kekaisaran Roma antara Commodus dan Maximus di film Gladiator. Commodus pembunuh Kaisar Roma, Marcus Aurelius, di tengah pertarngan menjungkirkan jempolnya, sebagai perintah agar Maximus membunuh lawan kuatnya. Tapi Maximus menolak.

Beberapa kepala dinas melihat isyarat gubenur itu. Sebagian ikut membalikkan ibu jari. Sementara yang lain ragu. Kak Jai, juga melihat. Tapi wajahnya tak berekspresi. Sementara rona gubenur terlihat merdeka dengan senyum kemenangan.  

Seniman lain hanya bengong. Ada yang setuju dan tidak atas sikap Jastin malam itu. Erwin, Sutarman dan Pardiman hanya saling pandang. Sutarman melirik. Kedua tangannya terlipat di dadanya. Sesaat menghela napas panjang. Tak jelas maknanya.

Apapun sikap dan pendapat para seniman malam itu, bukan urusan bagi Jastin. Para tau tak banyak tahu, malam itu Jastin sedang membutuhkan biaya pengobatan anaknya yang opname di rumah sakit.

Melihat itu, malaikat hanya berbisik ke telinga gubernur : pacak nian, kau tu Pak Gub! Malam ini, Tuhan pun kau gusur posisinya!

Jl. Seruni - Palembang, 18 Juli 2019.

Ikuti tulisan menarik Imron Supriyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler