x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Selasa, 18 Oktober 2022 06:47 WIB

Wacana Pilkada melalui DPRD; Ancaman Bagi Demokratisasi dan Partisipasi Publik

Publik dihebohkan oleh wacana pengembalian mekanisme Pilkada ke DPRD. Wacana yang digulirkan MPR dan Dewan Pertimbangan Presiden ini mengancanm demokratisasi dan partisipasi publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Per tanggal 11 Oktober 2022, tepat jelang akhir tahun 2022, publik kembali dihebohkan wacana pengembalian mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Kedua lembaga itu menggulirkan wacana agar pelaksanaan Pilkada dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD, terutama oleh DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota apabila pemilihan kepala daerah dalam skala provinsi hingga kabupaten/kota dilaksanakan.

Wacana ini disampaikan oleh Bambang Soesatyo (Bamsoet) selaku Ketua MPR. Legislator yang ini menyatakan pagelaran Pilkada selama ini telah mengalami berbagai masalah sejak berlakunya PIlkada langsung pada tahun 2004. Pilkada langsung didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Permasalahan yang muncul tertuju pada dua hal, yaitu praktik korupsi yang semakin terdesentralisasi dan ramainya politik uang.

Korupsi yang semakin terdesentralisasi pada era Reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari fenomena desentralisasi elite politik yang semakin menjamur sejak Orde Baru berakhir, dimana mundurnya Soeharto sebagai tonggak kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998 praktis membuka prospek baru terhadap liberalisasi politik yang semakin masif, dengan perubahan sistem politik menuju demokrasi semakin kencang arusnya, dan perubahan yang dilangsungkan pun juga langsung tertuju pada aspek prosedural terlebih dahulu berupa pemilu legislatif, amandemen UUD 1945, dan pembatasan jabatan eksekutif untuk menjamin demokratisasi dari segi politik dan pemerintahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak hanya pada tataran nasional, gagasan desentralisasi sebagai upaya pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah juga digalakkan untuk menjamin pelaksanaan demokratisasi secara menyeluruh pada level daerah – termasuk wilayah provinsi hingga kabupaten/kota – dan pemilihan umum di daerah pun juga dilaksanakan melalui pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah dengan harapan untuk menghasilkan pemimpin yang demokratis dan pelaksanaan kebijakannya pun juga diharapkan dapat memenuhi harapan dari konstituen.

Namun demikian, kendati proyek demokratisasi di Indonesia berjalan masih pada tahap permukaan, sistem demokrasi yang berlangsung sejak era Reformasi ternyata tidak praktis membuatnya semakin terkonsolidasi dan membuatnya menjadi demokrasi substansial sebagaimana yang diharapkan oleh pakar dari Barat. Pemilu yang dipandang sebagai mekanisme utama untuk seleksi pejabat politik nyatanya tidak lepas dari praktik politik uang dan patron-klien antara caleg dengan konstituen.

Politik uang dalam pemilu tidak bisa dipungkiri merupakan dampak dari gagalnya fungsi partai politik dalam menguatkan kerekatan antara konstituen dengan partai atau dikenal sebagai party-ID dan melemahnya party-ID diantara masyarakat tersebut juga membuat masyarakat lebih mengedepankan uang atau bukti materill sebagai faktor pemikat dengan politisi yang akan bertarung dalam Pilkada. Alhasil, praktik ini berdampak pada penggunaan modal keuangan yang begitu besar untuk bisa lolos sebagai pejabat publik dan pejabat yang terpilih pun nantinya juga menggunakan kebijakan pemerintah untuk mengembalikan modal yang sudah dipakai sejak pilkada, sehingga hal ini justru berdampak pada praktik korupsi yang dapat dilakukan oleh kepala daerah hingga legislator untuk mendapatkan keuntungan material dari proyek pemerintah yang sedang berjalan.

Atas dasar itulah, Pilkada saat ini memang belum bisa sepenuhnya lepas dari politik uang sebagai akibat dari bercokolnya oligarki lokal serta pelaksanaan demokrasi yang hanya bertumpu pada aspek prosedural, dan Pilkada pun juga disatu sisi menjadi ladang subur bagi pejabat untuk melakukan korupsi pasca mereka terpilih sebagai pemimpin daerah.

Berkaca pada fakta tersebut, Bamsoet menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan oleh DPRD dengan mekanismenya mengacu pada penunjukkan kepala daerah secara langsung melalui musyawarah internal lembaga DPRD dan pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga dipandang perlu untuk menekan angka korupsi di lingkungan daerah. Bamsoet memandang bahwa pemilihan ini tetap berlangsung demokratis oleh karena dilakukan oleh mekanisme DPRD yang juga merupakan wakil konstituen dan musyawarah internal DPRD untuk memilih kepala daerah juga mewakili sila ke-4 Pancasila yang melambangkan demokrasi permufakatan, sehingga Bamsoet berdalih bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah baru ini tetap demokratis.

Selain itu, Wiranto selaku Ketua Wantimpres turut mendukung wacana tersebut dengan alasan bahwa situasi dunia mulai berlaku dengan tidak pasti dan segala upaya penanganan juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi isu dunia yang terjadi saat ini, sehingga pemilihan kepala daerah oleh DPRD dipandang oleh Wiranto akan memberikan keuntungan bagi pemerintah untuk menghemat sumber daya mereka demi menghadapi ancaman resesi yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Kendati MPR beserta Wantimpres mengajukan wacana tersebut sebagai alternatif untuk membentuk kepemimpinan politik yang demokratis di daerah, namun wacana tersebut tidak lepas dari kritik berbagai pihak yang menganggap wacana ini jelas tidak demokratis. Kritik pertama datang dari masyarakat sipil, yakni LBH Jakarta dan Formappi. LBH mengatakan pilkada tidak langsung justru akan mempersempit kedaulatan rakyat dalam memilih pimpinannya sendiri. Pilkada tidak langsung juga tidak lepas dari proyek oligarki untuk memperkuat kuasanya dalam pemerintahan melalui praktik dagang sapi atau kongsi yang dapat terjadi di lingkungan DPRD. Itulah yang akan mendorong penguatan, sehingga pilkada tidak langsung justru akan mengebiri hak rakyat untuk menentukan pemimpin yang kredibel bagi pengelolaan wilayah mereka masing-masing.

Sementara itu, Formappi mengkritik wacana tersebut karena dipandang MPR beserta Wantimpres terlalu memaksakan kehendak dalam merumuskan pilkada tidak langsung dan Formappi juga mengingatkan pemerintah bahwa semangat reformasi yang paling pertama tertuju pada pelaksanaan pemilihan umum yang jujur dan adil, sehingga Pilkada langsung tetap harus dipertahankan untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan penguatan kedaulatan rakyat dalam sistem pemilu.

Perguliran wacana pilkada tidak langsung oleh MPR bukan pertama kali terjadi pada tahun ini, melainkan wacana ini telah berdengung sejak beberapa tahun lalu dengan tahun terakhir bergemanya isu tersebut terjadi pada tahun 2018. Kala itu, beberapa anggota DPR beserta Kemendagri menggulirkan wacana ini sebagai upaya untuk menekan terjadinya politik uang dan korupsi level daerah yang masih marak akhir-akhir ini dan pilkada tidak langsung pun juga menjadi alternatif bagi mereka dalam mengurangi beban KPK dalam melakukan OTT kepada para kepala daerah.

Namun demikian, kendati wacana tersebut tetap mendapatkan kritik keras dari berbagai pihak terutama dari KIPP sebagai komite non-pemerintah pemantau pemilu oleh karena wacana ini jelas tidak partisipatif terhadap penguatan demokrasi prosedural, wacana ini kembali tenggelam pada tahun yang sama dan media kembali mewartakan isu-isu terkait Pemilu 2019. Kendati demikian, wacana ini kembali digaungkan oleh elite politik yang masih bercokol di dalam lingkaran kekuasaan Jokowi sendiri dan perguliran wacana ini juga dipandang oleh Adi Prayitno sebagai kesempatan untuk menjalankan proyek politik mereka beberapa tahun kedepan.

Hal tersebut bukan tanpa alasan mengingat komposisi pemerintahan Jokowi saat ini dikuasai oleh 7 partai sebagai akibat dari kohabitasi politik yang dilakukan para elite untuk mengamankan pemerintahannya dan dengan komposisi semacam itu. Perguliran wacana apapun menjadi hal yang gampang untuk memuluskan kepentingan mereka, termausk soal pilkada tidak langsung ini..

Berkaca pada fenomena tersebut, jelas diketahui bahwa pilkada tidak langsung kembali mencerminkan sikap pragmatis elite politik dalam menjalankan kepentingannya dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa norma dan prosedur demokrasi yang terbentuk sejak era Reformasi kembali tergerus semakin dalam dibawah pemerintahan Jokowi, yang disatu sisi juga berdampak pada memburuknya kualitas sistem politik Indonesia seperti sekarang.

Hal yang sama juga berlaku pada wacana pilkada tidak langsung, dimana permasalahan sebenarnya bukan tertuju pada pilkada langsung yang menghasilkan politik uang melainkan kematangan demokrasi kita yang belum sempurna dalam memaknai pemilihan umum beserta kedaulatan rakyat dan politik uang juga merupakan warisan korupsi Orde Baru yang kemudian semakin merambah ke daerah saat desentralisasi dilangsungkan, sehingga jelas merupakan logika yang keliru apabila pilkada tidak langsung dilakukan demi menurunkan fenomena politik uang didalamnya.

Oleh karenanya, untuk menghapus keberadaan politik uang memang perlu pembenahan dari segala aspek, mulai dari sistem pemilu yang benar-benar demokratis hingga peran partai politik yang sangat sentral dalam membina kadernya untuk bersaing secara programatik. Membersihkan politik uang memang seharusnya dilakukan dengan penguatan kaderisasi politik oleh parpol dan sistem pengawasan biaya operasional pemilu yang sangat ketat, supaya para kader yang bersaing tidak harus menggelontorkan modal yang besar untuk memenangkan pemilu.

Selain itu, masyarakat dan politisi juga harus memiliki kesadaran bersama akan pentingnya pemilu yang bersih dalam meningkatkan kualitas tata pemerintahan kedepan dan praktik klientelisme hingga politik uang juga seharusnya dibasmi secara konsisten supaya para pemimpin yang menjabat nantinya ialah pemimpin yang berfokus pada kepentingan rakyatnya. Maka dari itulah, daripada pilkada tidak langsung disahkan, lebih baik pembenahan total sistem pilkada dan kaderisasi oleh partai menjadi hal utama yang harus ditekan.

 

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler