x

Iklan

pormadi simbolon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 30 Desember 2022 06:51 WIB

Meneropong Krisis Selat Taiwan

Krisis di selat Taiwan kembali memanas. China marah setalah AS mengesahkan undang-undang pertahanan bersama yang menyediakan anggaran 12 miliar dollar AS untuk Taiwan. Tulisan ini meneropong berbagai krisis di selat Taiwan yang terjadi sejak 1954 sampai dengan 2022. Seperti krisis tersebut dan apakah mungkin dicapai perdamaian?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Situasi di Selat Taiwan kembali memanas akhir-akhir ini. RRT mengerahkan puluhan jet tempur dan tujuh kapal perang ke arah Taiwan, Minggu (25/12/2022) setelah AS mengesahkan undang-undang mengenai belanja pertahanan sehingga tersedia dana hingga 12 miliar dollar AS dari Washington ke Taipei.

Belum lama ini, Beijing geram setelah ada kabar kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi ke Taiwan pada 2-3 Agustus 2022 lalu. Seperti apa krisis yang terjadi di selat Taiwan sesungguhnya? Mengapa AS terlibat?

Hubungan RRT dengan Taiwan itu unik. Tidak seperti hubungan antara Korea Selatan dengan Korea Utara, atau Jerman Barat dengan Jerman Timur. Tidak juga seperti hubungan dua etnis yang memperebutkan satu negara berdaulat. Konflik antara RRT dengan Taiwan lebih disebabkan oleh warisan perang saudara antara tahun 1927 dan 1950 antara Partai Komunis Cina (PKC) dengan Kuomintang (KMT). Taiwan juga tidak seperti daerah otonom Tibet atau Hongkong. Taiwan pernah secara de facto diakui PBB sebagai negara berdaulat yang mewakili negara RRT hingga tahun 1971.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari pencarian literatur, isu hubungan RRT dan Taiwan seperti dikatakan oleh Jin Canrong, seorang profesor Universitas Renmin Beijing bahwa selat Taiwan berada dalam observasi, tekanan, konfrontasi dan konflik. RRT selalu mengobservasi apa yang terjadi di selat tersebut. RRT juga melakukan tekanan agar Taiwan segera menyatu sebagai bagian dari dirinya. Bahkan RRT akan melakukan konfrontasi dalam menyelesaikan konflik dalam rangka reunifikasi Taiwan dengan RRT. (Lilley, 1997, hlm. 4).

Pada dasarnya, reunifikasi Taiwan ke RRT didasari pada kepentingan politik dan stabilitas kawasan. Mengapa Taiwan itu penting bagi Beijing? Pengamat di Foundation for Defence Democracies, Craig Singleton, menilai pemerintah Amerika Serikat (AS) yakin hal yang paling ditakuti RRT adalah perkembangan nilai demokrasi di Taiwan, bukan semata karena status negaranya. RRT dianggap khawatir karena keberadaan Taiwan seolah menunjukkan bahwa demokrasi dan nilai-nilainya bisa berkembang di wilayah yang hanya berjarak 160 kilometer dari RRT (CNN Indonesia online, 3 Agustus 2022).

Keterlibatan Amerika Serikat

Di tengah hubungan yang tegang antara RRT dengan Taiwan, AS hadir dan terlibat sesuai dengan kepentingannya sendiri, termasuk memaksimalkan keuntungan, memperlua kekuasaan dan menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. (Ying Zhou, 2017, hlm.27-28).

Keterlibatan AS dalam krisis di selat Taiwan dapat dilihat paling tidak dalam empat krisis selat Taiwan mulai dari tahun 1954 hingga 2022.

Krisis pertama selat Taiwan terjadi antara September 1954-Mei 1955. Konflik antara PKC dengan KMT terjadi. Kedua pihak menyimpan dendam yang kuat satu sama lain dan ingin menyatukan Tiongkok di bawah kekuasaan mereka sendiri. Sekutu setia Taiwan, AS sangat terlibat dan nyaris berperang dengan RRT. Krisis pecah pada tanggal 3 September 1954, Ketika tentaga Pembebasan Rakyat Tiongkok (Chinese People’s Liberations Army/PLA) memulai pengeboman artileri di Quemoy (juga disebut Kinmen), sebuah pulau yang terletak hanya Sembilan kilometer dari Daratan Cina dan dikuasai KMT.

Melihat ketidakseimbangan kekuatan militer Taiwan dibandingkan RRT, AS membantu Taiwan selama konflik militer dengan RRT. Sikap ini berujung pada penandatangan Perjanjian Pertahanan Bersama antara AS dan Taiwan. Penandatanganan perjanjian ini menandai berakhirnya Krisis Selat Taiwan pertama.

Kemudian krisis kedua di selat Taiwan terjadi antara tanggal 23 Agustus dan 5 Oktober 1958. Krisis ini merupakan kelanjutan langsung dari krisis pertama selat Taiwan. Selama 3 tahun (1954-1958) RRT meningkatkan kekuatan militernya di dan dekat Selat Taiwan. Pemerintahan Eisenhower memberikan bantuan sesuai dengan perjanjian pertahanan bersama. RRT pun mengumumkan penurunan tingkat pengeboman.

Krisis ketiga selat Taiwan dipicu Ketika Lee Teng-hui, Presiden Taiwan (1988-2000) yang juga sebagai ketua KMT di Taiwan, mengunjungi Universitas Cornell dan memberikan pidato bertema demokratisasi Taiwan. RRT terkejut dan geram. Tidak lama kemudian, RRT melakukan uji coba rudal di pulau Pengjia, sebuah tempat di utara Taiwan. Pasukan dimobilisasi di provinsi Fujian. Dari tanggal 15-25 Agustus 1995, RRT menembakkan satu set misil sebagai bagian dari latihan militer. RRT juga memprakarsai kampanye propaganda untuk mencela kebijakan lintas selat Lee Teng-hui.

Tak lama kemudian, AS menanggapi RRT dengan menggelar pertunjukan terbesar kekuatan militer AS di Asia sejak perang Vietnam, mengirim kapal ke selat Taiwan. Dua unit tempur kapal induk dihadirkan di kawasan selat tersebut. Pertanda, AS siap membantu Taiwan pada saat dibutuhkan.

Krisis keempat di selat Taiwan terjadi baru-baru ini. Krisis ini dipicu ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS, Nancy Pelosi yang bersikeras mengunjungi Taiwan pada 2-3 Agustus 2022, walau sudah diperingatkan RRT. RRT kembali geram. RRT mengirim 21 jet tempur ke zona identifikasi pertahanan udara pulau Taiwan. Militer RRT terlihat berpatroli di Selat Taiwan (CNN Indonesia online, 3 Agustus 2022).

Menanggapi reaksi RRT tersebut, Biden mengatakan bahwa Washington sangat menentang upaya sepihak untuk megubah atau merusak keamanan dan stabilitas selat Taiwan. AS juga sangat berhati-hati dalam menjelaskan dukungannya kepada Taiwan agar tidak terjadi konflik terbuka. AS akhirnya membuat sebuah RRU kebijakan Taiwan 2022 (Taiwan Polici Act of 2022) guna memperkuat hubungannya dengan Taiwan (The Epoch Times – Indonesia, 19 September 2022).

Penutup

Hubungan RRT dengan Taiwan dan sikap ambigu AS akan tetap berada dalam observasi, tekanan, konfrontasi dan konflik. Kita tidak tahu kapan akan berakhir. Krisis semakin diperparah dengan pengesahan undang-undang mengenai belanja pertahanan dari Washington ke Taipei.

Dunia internasional tidak menghendaki perang terbuka akibat krisis di selat Taiwan. Akibat buruknya akan merusak ekonomi dan stabilitas global. Lalu bagaimana solusi untuk menciptakan hubungan RRT dengan Taiwan ke depan?

Ada berbagai pilihan yang mungkin untuk menciptakan perdamaian di kawasan selat Taiwan. Pertama, RRT melakukan reunifikasi Taiwan melalui cara non-kekuatan dengan menggunakan pola “satu negara, dua sistem”. Hal ini sudah dilakuan Deng Xiaoping pada Hongkong dan Macau. Namun hal itu tidak mudah dari sisi Taiwan yang menghendaki kemerdekaan dan berada dalam lindungan AS. Jalan lain yang mungkin adalah mempertahankan situasi saat ini (status quo). Jalan ini berarti mempertahankan kebuntuan tanpa konflik bersenjata, tanpa reunifikasi, dan tanpa kemerdekaan Taiwan. Kebuntuan ini akan tetap berlaku selama ada keseimbangan kekuatan militer di selat Taiwan. Namun keadaan bisa berubah, jika kekuatan militer RRT bisa melampaui kekuatan AS. Apakah mungkin? Waktu akan menjawabnya.

Pormadi Simbolon, mahasiswa magister STF Driyarkara Jakarta

Ikuti tulisan menarik pormadi simbolon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu