x

Jamu merupakan minuman berkhasiat dari Indonesia sebagai minuman kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan berbagai penyakit.

Iklan

Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Kamis, 12 Januari 2023 19:54 WIB

Peran dan Faktor Pemilihan Jamu Sebagai Obat Tradisional Dulu, Kini dan Nanti

Jamu disajikan dengan berbagai jenis, mengingat di Indonesia memiliki tanaman herbal berjumlah cukup banyak. Setiap daerah mempunyai jenis Jamu yang berbeda, menyesuaikan dengan tanaman herbal yang tumbuh didaerahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

     Jamu memang sudah dikenal luas dan diracik sejak zaman pra-sejarah. Hal ini terbukti dari adanya penemuan peralatan batu dari zaman Mesolitikum dan Neolitikum berupa lumpang yang biasa digunakan untuk meracik jamu. Bahkan, kebiasaan meracik jamu, pemeliharaan kesehatan dan minum jamu juga ditemukan pada relief Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh dan Tegalwangi, yang dibangun pada masa Kerajaaan Hindu dan Buddha. Di Candi Sukuh ada relief orang menumbuk jamu.

     Pada abad 17, masa Kerajaan Hindu Mataram, putri-putri keraton kerap meminum jamu untuk menjaga kesehatan dan kecantikan diri supaya terlihat awet muda dan cantik jelita. Sedangkan istilah ‘jamu’ berasal dari bahasa Jawa Kuno ‘jampi’ atau ‘usodo’ yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian. Istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno zaman Jawa Kuno seperti pada naskah Gatotkaca Sraya, yang diubah oleh Mpu Panuluh pada jaman Kerajaan Kediri, di masa pemerintahan Jayabaya pada tahun 1135-1159 M. Kemudian pada abad pertengahan, sekitar 15-16 Masehi, istilah usodo jarang digunakan. Sebaliknya, istilah jampi yang lebih populer dan digunakan di kalangan keraton. Nama jamu merupakan bahasa Jawa Tengah yang digunakan oleh masyarakat umum, diperkenalkan oleh dukun atau tabib-tabib pengobat tradisional.

    Relief pada candi Borobudur, yang didirikan pada tahun 772 M, menggambarkan perawatan kesehatan bagian luar tubuh dengan pemijatan dan penggunaan ramuan jamu dan dalam tubuh dengan minum jamu. Bukti tertulis mengenai ramuan jamu ditulis setelah abad pertengahan, antara lain Serat Centhini, yang ditulis tahun 1814 M dan Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, tulisan pengetahuan tentang Jamu Jawa, ditulis tahun 1858 memuat sebanyak 1734 ramuan jamu. Namun, pada masa tersebut, jamu masih digunakan oleh kalangan terbatas. Hingga akhirnya, banyak ahli botani yang mempublikasikan tulisan-tulisan mengenai ragam dan manfaat tanaman untuk pengobatan. Dengan demikian, jamu yang tadinya hanya merupakan milik kalangan terbatas, dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

      Di Jawa, sampai sekarang, masyarakatnya masih memanfaatkan ramuan tradisional. Ramuan tradisional Jawa masih diyakini membantu kesulitan kesehatan terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal itu terjadi karena alam pedesaan dimungkinkan masih mudah untuk mendapatkan banyak bahan tanaman yang berkhasiat obat (Mulyani, 2015:2). Lama kelamaan, begitu besarnya perhatian masyarakat pada pengobatan tradisional maka mereka yang hidup di kota besar pun juga mulai membudidayakan tanaman obat (Hartati, 2011:22). Ramuan tradisional berbahankan tanaman obat atau tumbuhan herbal digunakan untuk pengobatan. Pengobatan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia, baik dari pengobatan penyakit yang paling ringan maupun sampai pengobatan penyakit yang terberat.

      Perkembangan ilmu pengobatan mengikuti perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, semakin berkembang peradaban manusia, ternyata penyakit pun ikut berkembang pula. Faktanya, pesatnya kemajuan pengobatan hingga ditemukannya obat-obatan kimia, ternyata tidak dapat menggantikan fungsi obat herbal. Obat kimia selalu ditakuti karena efek samping yang tidak baik bagi tubuh, sedangkan obat herbal lebih aman dan nyaman digunakan oleh masyarakat. Obat herbal berbahan dasar alam atau alami itu mampu menanggulangi efek samping yang buruk (Wind, 2014: 5). Sehubungan dengan hal tersebut, maka sampai saat ini pun banyak ditulis buku-buku yang terkait dengan tanaman obat tradisional, manfaat, dan ramuan yang dapat dibuat untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu.

      Penggunaan jamu sebagai alternatif pengobatan di samping obat modern pada masyarakat merupakan bagian dari indigenous knowledge masyarakat. Pemakaian jamu dan obat tradisional lainnya yang dilakukan secara turun temurun tidak terlepas dari peran orang tua dalam melestarikan budaya. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Partini (1999) mengenai perilaku berobat pada lansia, antara lain menyimpulkan bahwa salah satu cara menjaga kesehatan yang dilakukan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (terutama wanita) adalah dengan sering mengkonsumsi ramuan jamu Jawa yang harganya relatif murah. Hasil penelitian (Partini 1999) mengenai pola hidup lansia di Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan bahwa para lanjut usia di DIY menjaga kesehatan tubuhnya dengan minum jamu dan berolah raga, sedangkan untuk kesehatan mental/psikologis dengan hidup sumeleh (menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa).

     Hasil-hasil penelitian tersebut lebih menekankan penggunaan jamu Jawa pada masyarakat umum, lansia, dan wanita. Sebetulnya, jamu dapat digunakan juga untuk anak-anak. Menurut Geertz (1961) obat tradisional bukan semata-mata hanya untuk wanita namun tersedia pula untuk laki-laki dan anak-anak. Jamu memiliki beberapa keunggulan, seperti toksisitasnya rendah dan efek samping yang ditimbulkan ringan. Berdasarkan pemikiran ini peneliti ingin mengetahui penerimaan penggunaan jamu sebagai alternatif penggunaan obat modern pada masyarakat ekonomi rendah-menengah dan atas; peran strategis dinas kesehatan dalam kebijakan jamu pada pemerintah lokal; model pengelolaan jamu untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

     Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen membeli jamu meliputi faktor pribadi, faktor bauran pemasaran dan faktor sosial, budaya dan psikologi (Mulyani 2007). Faktor pribadi adalah faktor utama dalam mengkonsumsi jamu karen hal ini didasari keinginan pribadi dari individu yang bersangkutan untuk mengkonsumsi jamu. Faktor pemasaran merupakan implikasi dari iklan yang dibuat oleh perusahaan atau pabrik pembuat jamu. Faktor sosial adalah konsumsi jamu yang dilakukan individu karena saran orang-orang yang ada di sekitarnya (keluarga-sahabat-teman-kolega dll). Aspek budaya merupakan aspek kultural masyarakat di Nusantara yang telah mengkonsumsi jamu sebagai upaya menjaga kesehatan tubuh dan menyembuhkan penyakit. Faktor psikologi adalah konsumsi jamu yang dilakukan individu karena mengalami jalan buntu (tidak sembuh) pada saat mengkonsumsi obat farmasi (obat modern) sehingga beralih atau mengkonsumsi jamu bersama obat modern. Di antara faktor yang telah disebutkan di atas, aspek budaya memegang peran penting dalam mengkonsumsi jamu. Penggunaan jamu sebagai alternatif penggunaan obat modern dapat diketahui dari seberapa besar konsumsi jamu oleh masyarakat.

      Faktor sosial (keluarga dan orang sekitar) dapat mempengaruhi individu dalam mengkonsumsi jamu. Hal ini bagian lain dari penyebarluasan jamu pada masyarakat. Jamu merupakan bagian dari budaya. Sebagai sebuah budaya jamu dikenalkan selain dari iklan juga dikenalkan dan disosialisasikan dan disarankan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Sebagian besar informan memberikan informasi bahwa mengenal, membeli jamu sebagian besar berpendapat mendapatkan pengetahuan jamu dari orang tua, dan sebagian dari tetangga. Berdasarkan informasi tersebut faktor sosial konsumen juga dipengaruhi dalam keputusan seorang individu mengkonsumsi jamu.

    Mengkonsumsi jamu merupakan suatu budaya. Budaya yang berkembang dan berubah mempengaruhi juga perilaku konsumsi konsumen jamu. Perubahan tersebut berakibat terjadinya perubahan pada faktor psikologis konsumen misalnya persepsi, sikap terhadap jamu, motivasi minum jamu, pengetahuan dan kepercayaan tentang jamu dan gaya hidup yang terkait dengan hidup sehat dari bahan alami. Hal ini tidak dapat terelakkan karena pada dasarnya manusia memang selalu berkembang dan tidak ada yang dapat dipastikan dari perilaku manusia sebagai konsumen. Selain itu budaya minum jamu yang tidak diturunkan ke generasi berikutnya akan lebih memperparah perubahan tersebut. Berdasarkan informasi dapat diketahui bahwa minum jamu sudah dibudayakan sejak dini pada beberapa keluarga khususnya pada daerah Mataraman dan Madura. Budaya mengkonsumsi jamu merupakan bagian dari kebutuhan, utamanya kalau individu tersebut sakit.

     Anggota keluarga adalah pihak utama yang membudayakan mengkonsumsi jamu. Pada saat peneliti menanyakan lebih dulu mana yang dilakukan pada saat sakit/kurang enak badan ke dokter atau beli jamu/ke toko jamu, diperoleh informasi sebagian besar informan menjawab ke dokter. Hal ini tidak dapat dipungkiri realitasnya individu mengkonsumsi jamu untuk mendampingi obat farmasi. Maknanya dokter masih dominan dalam pelayanan kesehatan pada masyarakat. Secara teori persepsi, sikap terhadap jamu, motivasi minum jamu, pengetahuan dan kepercayaan tentang jamu dan gaya hidup yang terkait dengan hidup sehat dari bahan alami juga menjadi variabel utama orang memilih mengkonsumsi jamu.

            Minum jamu adalah salah satu tradisi khas masyarakat Indonesia. Kegiatan mengkonsumsi jamu selain dipengaruhi oleh pembelajaran budaya, juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah keluarga, kelompok referensi dan faktor psikologis misalnya sikap terhadap produk tersebut (Schiffman dan Kanuk 2000).

Sikap adalah faktor psikologis yang paling dekat dengan keputusan konsumsi karena di dalam unsur sikap terdapat kecenderungan untuk berperilaku mendekat atau menjauh dari produk. Sikap positif akan mengarahkan niat konsumen pada produk dan sebaliknya sikap negatif akan mengurungkan niat konsumen.

Sikap, antara lain, dibentuk melalui evaluasi terhadap atribut-atribut produk serta kepercayaan akan produk atau merek (Simamora 2002). Produk dengan atribut yang tidak disukai akan menghasilkan sikap negatif. Sebagian besar mengatakan cocok menggunakan jamu dan jamu lebih cos pleng (lebih cepat menyembuhkan). Hal ini dapat diinterpertasi bahwa sikap positif individu akan mengarahkan niat konsumen pada produk jamu.

Sikap positif itu tercermin pada pendapat-pendapat seperti dipaparkan di atas bahwa individu informan cocok mengkonsumsi jamu dan secara psikologi dianggap lebih mampu menyembuhkan penyakit. Hal ini adalah variabel psikologis seseorang yang muncul karena stimulus konsumsi jamu.

Ikuti tulisan menarik Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu