x

Jacinda Ardern, mantan PM Selandia Baru. Foto: Tangkapan layar CNBC di Youtubue

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 26 Januari 2023 13:25 WIB

Nasihat Ardern untuk Para Pemimpin: Tahu Kapan Harus Berhenti

Pidato perpisahan Ardern merupakan bentuk pengakuan tentang adanya keterbatasan alamiah pada setiap pemimpin: keterbatasan energi fisik, pikiran, emosional, dan sebagainya. Bahkan juga terkandung pengakuan bahwa orang lain harus diberi kesempatan untuk memimpin, bahwa sangat mungkin ada orang lain yang sanggup memimpin masyarakatnya dengan lebih baik dan adil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jacinda Ardern telah memberi teladan bahwa seorang pemimpin harus tahu saatnya berhenti, dan saat itu melampaui hasrat untuk terus berkuasa. Perdana Menteri Selandia Baru ini mengundurkan diri setelah lima setengah tahun memimpin negeri Kiwi itu melewati masa-masa sukar, termasuk masa pandemi Covid-19, serangan teror terhadap dua masjid di Christchurch, serta letusan gunung berapi di White Island.

Kutipan pidato pengunduran diri Ardern, yang dimuat di media massa, menggambarkan kualitas karakter kepemimpinan perempuan ini. Begini cuplikannya:

“Saya harap saya meninggalkan warga Selandia Baru dengan keyakinan bahwa Anda bisa menjadi baik tetapi kuat, berempati tetapi tegas, optimistis tetapi fokus. Dan bahwa Anda bisa menjadi pemimpin bagi diri Anda sendiri, yang tahu kapan waktunya untuk pergi,” kata Ardern.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Saya pergi karena dengan pekerjaan istimewa seperti ini ada tanggung jawab besar. Tanggung jawab untuk mengetahui kapan Anda adalah orang yang tepat untuk memimpin dan kapan Anda tidak. Saya tahu kapan saya memiliki cukup sisa energi untuk melakukannya dengan adil," ujar Ardern.

Kunci penting dari pidato itu ialah ‘tahu kapan waktunya untuk pergi’, ‘Tanggungjawab untuk mengetahui kapan Anda adalah orang yang tepat untuk memimpin dan kapan tidak’, dan ‘Saya tahu kapan saya memiliki cukup sisa energi untuk melakukannya dengan adil.’

Memang, pemimpin yang berbeda bisa saja menafsirkan frasa-frasa Ardern itu secara berbeda. Misalnya, ‘tahu kapan waktunya untuk pergi’ mungkin saja dimaknai sebagai ‘sekarang belum waktunya saya pergi’. Lalu frasa kedua ditafsirkan sebagai ‘saya masih orang yang tepat untuk memimpin’. Dan fasa terakhir ditafsirkan sebagai ‘saya masih memiliki cukup energi’. Dan tafsir-tafsir individual ini lantas dijadikan alasan untuk berkuasa lebih lama lagi.

Tafsir yang berbeda itu memperlihatkan ketidakjujuran, sedangkan pidato Ardern itu sebaliknya dan merupakan bentuk pengakuan tentang adanya keterbatasan alamiah pada setiap pemimpin: keterbatasan energi fisik, energi pikiran, energi emosional, dan sebagainya. Bahkan juga terkandung pengakuan bahwa orang lain harus diberi kesempatan juga untuk memimpin, bahwa sangat mungkin ada orang lain yang sanggup memimpin masyarakatnya dengan lebih baik dan adil.

Nah, kata adil yang disebut oleh Ardern itu juga merupakan kunci kepemimpinan yang sejati, sebab bertindak adil merupakan tantangan terbesar yang harus mampu diatasi oleh seorang pemimpin. Keberhasilan seorang direktur perusahaan, perdana menteri, gubernur, juga raja dan presiden diukur dari keberhasilannya menunaikan tugas dan kewajibannya secara adil—kata adil inilah yang kerap terlupakan. Dan Ardern mengingatkan tentang hal ini, mungkin ada pemimpin yang merasa masih sanggup mengabdi puluhan tahun lagi, tapi mampukah menunaikannya secara adil? Semakin lama seseorang berkuasa, semakin tidak mudah baginya untuk bersikap adil di mata masyarakatnya. >>

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler