x

ilustrasi bullying

Iklan

Abiyyah Taufiqatul

Mahasiswa Studi Kejepangan, Universitas Airlangga
Bergabung Sejak: 9 April 2023

Senin, 10 April 2023 07:50 WIB

Pelajaran yang Dapat Kita Ambil dalam Dorama 三年A組:今から皆さんは人質です

Ijime "Bullying" dalam Jepang pada sebuah Dorama

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masalah Ijime, atau perundungan, dipandang sebagai masalah sosial yang cukup mengkhawatirkan dan menjadi perhatian seluruh masyarakat di Jepang. Para psikolog pendidikan telah meneliti permasalahan ini, namun hanya sedikit dari penelitian yang meninjau langsung bagaimana kehidupan di sekolah-sekolah. Mayoritas penelitian tersebut berfokus terhadap Ijimekko (Pelaku) atau Ijimerarekko (Korban).

Apa itu Ijime?

Ijime adalah sebuah kata dalam bahasa Jepang yang berarti perundungan dan kekerasan interpersonal. Berasal dari kata ijimeru (苛める) yang memiliki arti harfiah sebagai tindakan mengusik, menggoda, menganiaya dan menyakiti (Matsuura,1994:326). Kata tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah istilah sosial yang digunakan untuk menggambarkan salah satu bentuk tindakan penganiayaan (Bullying) yang terjadi dalam masyarakat Jepang.

Ijime mengandung beberapa pengertian seperti mengganggu, melecehkan, merendahkan, mengintimidasi dan menganiaya. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan waktu yang pendek. Ijime cenderung terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama, membuat korbannya selalu merasa gelisah dan terintimidasi. Ijime dapat berbentuk tindakan langsung maupun tidak langsung. Ijime langsung mencakup pelecehan fisik terhadap korbannya sementara ijime tidak langsung terdiri atas berbagai strategi yang menyebabkan korban terasing dan terkucil secara sosial (Barbara, 2001:197).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Zeng dan LeTendre (1999) melaporkan bahwa siswa Jepang mendefinisikan Ijime berdasarkan apakah korban menganggap tindakan tertentu sebagai Ijime. Sebuah survei nasional yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (2004) melaporkan bahwa sebagian besar jenis Ijime melibatkan pengucilan dari kelompok teman sebaya dan pelecehan verbal.

Ijime di Jepang

Meskipun perundungan di sekolah di Jepang, Ijime, telah menjadi topik yang menjadi perhatian publik sejak tahun 1980-an, hanya sedikit penelitian kualitatif yang dilakukan untuk meneliti sifat dan korelasinya. Melalui studi kasus terhadap 30 siswa kelas sembilan di sebuah sekolah menengah pertama di Jepang pada tahun 2004. Menemukan bahwa Ijime memiliki dinamika kelompok yang kompleks dalam permulaan dan prosesnya. Kurangnya hubungan saling percaya dalam kelompok teman sebaya juga berkontribusi pada semakin terisolasinya korban Ijime. Semua siswa yang diwawancarai memberi tahu peneliti tentang pengalaman mereka dengan Ijime, baik sebagai pelaku, korban, atau sekadar penonton. Mereka menyatakan bahwa Ijime terjadi setiap hari dan begitu meluas sehingga sudah menjadi hal yang biasa jika ada korban Ijime di kelas mereka setiap saat. (Akiba, 2004)

Yang mereka maksud dengan Ijime adalah segala bentuk pelecehan, termasuk tindakan fisik maupun psikologis. Ijime dapat berupa panggilan nama, pengucilan dari kelompok teman sebaya, atau tindakan yang sangat serius (kejahatan).

Perundungan di sekolah-sekolah menengah Jepang, Ijime, terus menerus menjadi salah satu masalah pendidikan dan sosial yang paling serius di Jepang. Meskipun angka Ijime yang dilaporkan secara resmi telah menurun selama beberapa tahun terakhir (Somucho, 2000), para peneliti berpendapat bahwa sifat tersembunyi dari Ijime tidak dapat diukur secara akurat dengan statistik yang dilaporkan oleh sekolah (Fukuzawa & LeTendre, 2001; Morita, Taki, Hata, Hoshino, & Wakai, 2001; Okano & Tsuchiya, 1999). Peningkatan angka kejahatan remaja sejak tahun 1996 terutama di kalangan usia 14-17 tahun, juga telah menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut di kalangan pendidik Jepang mengenai keseriusan Ijime yang terjadi di sekolah-sekolah (Kementerian Kehakiman, 1999).

Sebuah penelitian yang mendalam terhadap fenomena Ijime melalui sudut pandang para siswa mengungkapkan sifat dari Ijime dan konteks di sekitarnya. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara Ijime di Jepang dan perundungan di negara lain. Sama halnya dengan perundungan di negara lain (Olweus, 1996; Smith et al., 1999), Ijime pada anak perempuan cenderung berfokus pada perilaku psikologis, relasional, dan perilaku tidak langsung (panggilan nama, pengucilan, penyebaran rumor), sementara anak laki-laki cenderung berfokus pada kekerasan fisik sebagai bentuk perundungan.

Ijime dalam sebuah drama Jepang

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penulis mencoba untuk menganalisis contoh perilaku Ijime yang ada pada dorama berjudul 三年A組:今から皆さんは人質です. Atau dalam romaji ditulis 3 Nen A Gumi: Ima kara Mina-san wa, Hitojichi Desu (Selanjutnya disingkat 3 Nen A Gumi). Drama Jepang berjumlah total 10 episode itu menceritakan tentang keinginan Hiiragi Sensei untuk mengungkap siapa pembunuh dari kasus kematian Kageyama Reina. Siswi berprestasi di bidang olahraga yang merupakan salah satu anggota klub renang itu diduga bunuh diri setelah mendapat bullying dari teman-temannya. Drama tersebut berfokus pada Hiiragi Sensei yang menyandera seluruh siswa kelas A selama 10 hari sebelum upacara kelulusan berlangsung.

Dalam sepuluh episode drama tersebut, terdapat beberapa bukti tindak tutur perilaku Ijime baik oleh teman-teman sekelas, sekolah, maupun orang lain di media sosial. Salah satu tindakan yang paling menonjol dan menjadi bahasan utama dalam drama ini adalah cyberbullying.

Cyberbullying 'perundungan di dunia maya' adalah salah satu kejahatan yang muncul sebagai dampak negatif dari penyalahgunaan internet, khususnya media sosial. Pemakaian internet secara berlebihan dan memiliki tingkat pengetahuan rendah dalam berinternet (internet skill) dapat menyebabkan munculnya cyberbullying (Sutedjo dan Oetomo, 2007:12). Tindakan cyberbullying ini juga dikategorikan sebagai tindak kriminal karena pelakunya dapat dipidanakan dan terdapat undang-undang yang mengaturnya. Kasus cyberbullying sulit untuk diketahui karena tidak adanya pelaporan dari korban atau si korban enggan untuk mencari pertolongan (Schneider, dkk, 2015).

Beberapa contoh cyberbullying yang ada pada drama 3 Nen A Gumi adalah pada episode 2 ketika Hiiragi Sensei sedang menjelaskan mengenai postingan-postingan ujaran kebencian dari akun pengguna aplikasi SNS Mind Voice dengan username yarinigeX di depan kelas. Hiiragi Sensei mengatakan bahwa ujaran-ujaran tersebut ditulis untuk menyerang mental Kageyama Reina karena beredarnya video tuduhan yang memperlihatkan Kageyama Reina tengah mengkonsumsi doping di sebuah ruang ganti khusus atlet renang. Sehingga banyak postingan berapi-api lainnya yang seakan membenarkan video tersebut dan mengecam Kageyama Reina.

“Kageyama, shine” “aitsu ga kurushimu sugata wa miru kōfun suru” “Kageyama. Warauna, kimou” “kanojo mechamecha ni shite yaritai” “Kageyama nante umarete kon'na areba yokatta”. Beberapa kalimat diatas merupakan hasil postingan dari akun YarinegeX yang disampaikan oleh Hiiragi Sensei didepan kelas. Secara berurut arti dari masing-masing kalimat tersebut adalah sebagai berikut, “Kageyama, matilah kau” “melihat sosoknya menderita membuatku senang” “Kageyama. Jangan tertawa, menjijikkan” “aku ingin sekali memperkosa tubuh gadis itu” “seandainya saja Kageyama tidak terlahir di dunia ini semua akan baik-baik saja”.

Bukan hanya tindakan Harrassement yang merupakan perilaku mengirim pesan berupa pelecehan secara berulang, Kageyama Reina juga mendapat perilaku Outing and Trickery atau berarti menyebarkan sesuatu (dalam kasus ini adalah video) dari target dengan melakukan tipu daya terhadap seseorang. Dari berbagai tindakan tersebut, membuat Kageyama Reina tertekan secara mental hingga akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri.

Dapat disimpulkan, beberapa perilaku Ijime yang terdapat pada drama 3 Nen A Gumi adalah cyberbullying berupa harassement, outing and trickery yang berujung pada denigration yang berarti pembuatan atau penyebaran fitnah di jejaring sosial. Bentuk yang paling berpengaruh terhadap korban cyberbullying adalah denigration, karena dapat memicu terjadinya harassement yang dilakukan oleh banyak orang yang belum tentu mengetahui kebenarannya.

Dari berbagai keterangan yang telah disampaikan, pelajaran yang dapat kita ambil adalah untuk selalu berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Kita tidak pernah tahu kata-kata mana yang akan menyakiti perasaan orang lain sehingga membuat orang tersebut merasa tersakiti. Sama seperti kata pepatah, “Lisan bagaikan pedang bermata dua” yang berarti bisa menghasilkan efek positif dan negatif baik bagi yang mengucapkan atau bahkan kepada orang lain.

 

Source

Akiba, Motoko. "Nature and correlates of Ijime—Bullying in Japanese middle school." International Journal of Educational Research, August 2004: 216-236.

Gielen, Takashi Naito & Uwe P. "Bullying and Ijime in Japanese School." Violence in Schools, n.d.: 169-190.

Muhammad, Erik. Harapan Rakyat. December 27, 2022. https://www.harapanrakyat.com/2022/12/tragedi-ijime-di-jepang-kisah-pilu-anak-anak-korban-perundungan/ (accessed March 2023).

Nasution, Yenny Aristia. "Fenomena Kasus Bunuh Diri Akibat Ijime pada Anak SMP di Jepang." AYUMI: Jurnal Budaya, Bahasa dan Sastra Vol 7, 2020: 83-101.

Ni Kadek Rika Wijayanti, Made Ratna Dian Aryani, Ida Ayu Laksmita Sari. "Bentuk-bentuk Cyberbullying yang Terdapat dalam Drama San Nen A Gumi Karya Khogo Muto." CHIE : Jurnal Pendidikan Bahasa Jepang Vol. 9, 2021.

Yoshio, Murakami. "Bullies in the Classroom." Japan Quarterly Vol 32, 1985.

Ikuti tulisan menarik Abiyyah Taufiqatul lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu