x

Anak polos dari Nias Selatan

Iklan

Tina M

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 April 2023

Kamis, 20 April 2023 07:32 WIB

Kisah Fiberman Laia dari Nias Selatan

Fibe, si bungsu, hanya ingin meninggalkan ladang dan bersekolah seperti teamn-teman sebayanya yang lain. Tetapi terlalu lama di ladang membuatnya banyak tertinggal ketika sudah bisa masuk kelas. Pendekatan guru membuatnya pelan-pelan bisa menyusul. Kini minat belajarnya tinggi. Tetapi jika ditanya hobinya apa, tetap saja jawabnya: tidur. Selama ia masih memiliki niat untuk sekolah, di hatiku ia tetap nomor juara. Tidak ada anak yang nakal, yang ada hanya orang tua yang gagal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ciatttt.., hiyaaaa! Teriakan seperti dicekik tiba-tiba memecah suasana hening di kelas. Sumber suara berasal dari si kecil kelas III yang biasa kupanggil pudanku yang artinya bungsu dalam bahasa Batak.

Dia memang sering berteriak tiba-tiba. Huh. Bajunya selalu kotor sampai berubah warna menjadi hitam kecokelatan. Tak hanya pada musim hujan, ia selalu pakai sendal jepit di musim apa saja. Tas merahnya selalu digendong setiap jam istirahat maupun sebelum jam pelajaran dimulai.

Tas kecil bermotif Tayo bus kecil yang katanya ramah itu dipenuhi oleh peniti supaya tetap bisa digunakan meski sebenarnya sudah tidak layak pakai lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Teman-temannya memanggilnya Fibe, seperti biasa orang Nias pada umumnya, konsonan dihilangkan jika tidak diikuti oleh vokal. Fiberman Laia, anak ketiga dari 6 bersaudara. Putra dari pasangan Aperidi Laia dan Sudiamii Waruwu.

Ia lahir di Hilimbuasi pada 10 Juni 2010, saat ini usianya 9 tahun. Ia tinggal bersama kakek, nenek, paman dan kakaknya di desa Hilitalua, menyeberangi sungai jika ke sekolah. Kedua orangtua dan 3 saudaranya merantau di seberang atau di luar kepulauan Nias.

Tetapi 2 bulan terakhir ini, ia sudah 3 kali lari meninggalkan rumah di Hilitalua ke Hilimbuasi, ia bermaksud akan tinggal bersama nenek yang merupakan ibu dari ayahnya. Menarik, ia hanya membawa tubuh dan pakaian yang melekat di tubuhnya.

Setiap kali ditanya mengapa dia kabur lagi dari rumah Hilitalua, ia akan jawab, "Aku capek kali di sana, terus dipaksa ke ladang menderes padahal temanku semuanya main-main. Kalau di Hilimbuasi aku bisa belajar ke rumah guru tangan pengharapan karena dekat."

Kira-kira begitulah jawabannya dalam terjemahan Bahasa Indonesia, karena sebenarnya ia belum lancar berbahasa Indonesia.

Kebersihan dan kerapihannya berubah setelah ia tinggal di Hilimbuasi. Kotoran di mata, kotoran di hidung dan di  mulut, semuanya hilang, ia tampak segar dan bersih, jauh berbeda dari sebelumnya. Hanya saja tak sampai sebulan, ia sudah dijemput paksa oleh kakeknya yang di Hilitalua. Meski tidak senang, mau tidak mau, ia hanya bisa menurut sambil menangis.

Juli 2019, mula pertama saya mengenalnya di kelas I. Wajahnya selalu murung dan setiap hari ia tidur di kelas dengan tangan sebagai pengganti bantal. Benar saja, ia seperti tidak ada gairah melakukan apapun selain tidur, motivasi dan minat belajarnya rendah. Saat itu ia tidak bisa berbahasa Indonesia, tidak kenal huruf tetapi bisa menulis, tidak bisa baca dan tidak bisa hitung.

Uniknya, ia selalu menulis nomor 4 untuk huruf u. Saat ia tidur di kelas, saya duduk di sampingnya dan kutunggu sampai ia bangun sambil mengajari yang lainnya. Mula-mula kutanya nama, kemudian bercengkerama, tentu saja saya butuh penerjemah.

Singkatnya, ternyata ia adalah siswa kelas III yang diturunkan ke kelas I oleh seorang guru karena dianggap tidak mampu di kelas III. Entah ini harus kusebut kesombongon diri atau peduli, kupindahkan ia ke kelas III lagi, papan tulis terbagi. Tentu untuk tujuan dan jawaban bahwa selama diturunkan ke kelas I, ia merasa malu, tidak terima sistem seperti itu.

Sebulan setelah itu, ia tetap saja tiba-tiba berteriak tidak jelas dan tidur di kelas. Tetapi September 2019, ia selalu menghampiri guru ke depan sambil membawa alat tulisnya meminta diri untuk diajari. Tak peduli lonceng istirahat juga ajakan bermain sana sini, ia tetap memilih belajar dan sesekali menoleh ke luar.

50, itu nilai pertama di bukunya untuk tahun ini. Sementara temannya sudah memperoleh nilai 100 sepuluh kali, ia sudah sangat bangga untuk 50 yang ia miliki. Saya sependapat dengan pepatah yang mengatakan "ala bisa karena biasa."

Selama ini kebiasaannya tidur di kelas harusnya mendapat tegur. Dia tiba-tiba teriak tidak jelas ketika guru di depan sebenarnya ingin berkata jujur, tentang keinginannya main ini-itu  yang telah terganti oleh ke ladang sampai jemu. Guru tak boleh acuh tak acuh pada kebiasaan siswa yang seharusnya mendapat asah, asih dan asuh.

Hari ini, sampai tulisan ini selesai, dan kali ini tanpa penerjemah, ia dalam bahasa Indonesia berkata dengan wajah sumringah, "Kalau tidak ada guru tangan pengharapan, aku tidak punya teman, sekarang temanku banyak".

Dia sekarang adalah Fiberman yang motivasi dan minat belajarnya tinggi.

Nomor 6 nya tidak lagi terbalik, huruf u nya tidak lagi nomor 4, dan sudah kenal huruf apa yang ia tulis. Memang masih hanya bisa membaca dua suku kata, menghitung 0-20. Tetapi yang menarik adalah ia tak pernah lagi teriak tidak jelas dan tidur di kelas.

Tetapi tetap saja, jika ditanya hobinya apa, ia akan jawab tidur. Cita-citanya sulit untuk didefinisikan, ia hanya jawab ingin tinggal sama nenek di Hilimbuasi.

Fibe, selama ia masih memiliki niat untuk sekolah, di hatiku ia nomor juara.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Tina M lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler