x

Ilustrasi kegiatan pertambangan. Sumber foto: medcom.id

Iklan

Nurkholis Lamaau

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2023

Selasa, 16 Mei 2023 08:46 WIB

Ekonomi Maluku Utara Tumbuh di Atas Kerusakan Ekologi

Kita harus sepakat, bahwa pemenuhan kebutuhan baterai berbasis nikel harus mengutamakan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Ini merupakan konsekuensi logis dari ide pokok elektrifikasi kendaraan global yang menghendaki berkurangnya emisi gas rumah kaca. Sebab, produksi baterai berbasis nikel yang hanya berkiblat pada pemenuhan kebutuhan pasar dan keuntungan--tanpa memerhatikan aspek lingkungan--hanya akan menimbulkan petaka dan ketidakadilan ekologi bagi masyarakat lokal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ilustrasi kegiatan di sub sektor tambang mineral dan batu bara

Setelah dinobatkan sebagai provinsi paling bahagia di Indonesia dengan skor 76, 34 poin, Maluku Utara kembali dipuji Presiden Joko Widodo. Sebab, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mencapai 72 persen, sebuah angka yang diklaim tertinggi di dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi sepertinya kita tidak perlu terburu-buru memberi applause jika mencermati pandangan Hatib Abdul Kadir. Menurut Antropolog Universtas Brawijaya itu, kebahagiaan selalu bersifat temporal sehingga untuk mengukurnya secara kuantitatif kurang tepat.

Karena setiap individu dan atau daerah memiliki standar kebahagiannya sendiri. Hatib yang banyak meneliti masyarakat di Maluku, mengatakan setidaknya ada 6 faktor yang membuat orang Maluku Utara dipandang paling bahagia. Salah satunya adalah karena lebih dekat dengan alam.

Maluku Utara tercatat memiliki 1.474 pulau. Ini menempatkan provinsi penghasil rempah-rempah berupa tanaman cengkeh dan pala itu berada di peringkat ketiga dengan jumlah pulau terbanyak di Indonesia, setelah Kepulauan Riau dan Papua.

Lenskap kepulauan di Maluku Utara membuat jarak antara pantai dan daratan saling berdekatan. Ini yang menurut Hatib memungkinkan masyarakatnya memiliki dua model mata pencarian, yakni berkebun dan melaut.

Tapi Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan kebahagiaan masyarakat Maluku Utara berkat masuknya investasi.

Namun pernyataan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, dalam Rapat Kerja Nasional Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup awal Desember 2022 di Jakarta, seakan menampar narasi-narasi itu. "Di Maluku Utara pertumbuhan ekonomi tinggi, sebenarnya masyarakatnya tidak menikmati apa-apa," ungkap Gubernur Abdul Gani Kasuba, seperti dikutip CNN Indonesia.

Pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa statistik adalah metode terbaik menyembunyikan kepalsuan. Narasi yang dibangun seakan untuk melegitimasi ekspansi industri pertambangan ke wilayah timur Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa para elite juga adalah agen dan aktor dari proses pengakumulasian modal swasta. Peran mereka dapat ditelusuri, baik dalam mendorong penyusunan peraturan perundang-undangan-regulasi maupun perizinan investasi. Hanya saja, peran tersebut mengatasnamakan negara sehingga mengesankan etik.

Semua yang dilakukan hanyalah dengan memanfaatkan kelemahan tradisi kepolosan masyarakat. Padahal, hampir sebagian besar konsesi pertambangan memicu bencana ekologi pada sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Maluku Utara.

Tapi provinsi kepulauan berjuluk ‘the ring of fire‘ atau cincin api ini justru mengoleksi ratusan izin usaha pertambangan. Peristiwa banjir yang melanda sejumlah desa di Kabupaten Halmahera Tengah secara berulang, seakan menegaskan bagaimana alam bekerja.

Di daerah berjuluk Fagogoru itu, setidaknya terdapat tiga aliran sungai besar dan beberapa sungai kecil. Sungai-sungai itu melintasi wilayah konsesi kawasan industri pengolahan nikel seperti PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWI) dan beberapa perusahaan lain.

Tapi aktivitas pembukaan lahan di wilayah perbukitan dan hulu daerah aliran sungai (DAS) terus dilakukan secara massif. Akibatnya, terjadinya proses erosi yang signifikan. Ini membuat sendimentasi pada sungai semakin tinggi.

Banjir yang terjadi secara berulang disebabkan perencanaan yang tidak serius dalam memperhitungkan daya dukung lingkungan. Sementara, curah hujan di atas batas ideal yang menjadi pemicu adalah risiko alamiah dari perubahan iklim akibat pemanasan global.

DAS yang terbentang di wilayah konsesi seakan tak mampu menahan beban hidrologis di tanah, yang kondisi hutannya kritis. Sementara, topografi Halmahera Tengah merupakan perpaduan dataran tinggi dan rendah. Itu berarti, karakteristik wilayah yang hampir dikepung sungai harus tetap direkat pepohonan.

Peristiwa banjir di Halmahera Tengah secara berulang seharusnya membuka mata kita tentang bagaimana alam bekerja. Hutan memiliki peran penting sebagai penyedia air bersih, menurunkan pencemaran udara, pengendalian suhu dan kelembaban, juga meminimalisir bencana alam. Karena infrastruktur ekologis yang terbentuk secara alamiah berfungsi sebagai pondasi untuk menjaga ekosistem. Selain itu juga bisa memberi manfaat dari aspek ekonomi dan sosial kultur masyarakat setempat.

Presiden Jokowi harus jujur dan terbuka soal berapa presentase tutupan hutan Maluku Utara yang hilang. Karena mengingatkan kepala daerah agar lebih berhati-hati menjaga geliat pertumbuhan ekonomi terlalu gamang atas kondisi nyata yang dirasakan masyarakat lingkar tambang saat ini.

Kajian terbaru Food and Agriculture Organization, hutan alam di Maluku Utara telah hilang seluas 718.000 hektare selama 3 tahun terakhir. Aktivitas di areal konsesi Hak Penggunaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan, jadi penyebab langsung deforestasi.

Bahkan laju deforestasi di Maluku Utara mencapai lebih dari dua kali lipat jika dibandingan periode sebelumnya, yakni dari 25 ribu hektare pertahun menjadi 52 ribu hektare pertahun.

Tahun 2016, luas hutan Maluku Utara 1,51 juta hektare atau 48 persen, dan deforestasi periode 2013 – 2016 sebesar 157 hektare. Sedangkan luas daratan 3,1 juta hektare, tapi berkurang 718 hektare.

Itu berarti, Maluku Utara kehilangan hutan seluas 240 ribu setiap tahun. Ini setara dengan 42 kali luas lapangan sepak bola dalam hitungan jam. Padahal Maluku Utara adalah provinsi yang tertinggi atas presentase tutupan hutan alam atas luas daratannya.

Tapi Maluku Utara dengan luas daratan 3,1 juta hektare, sekitar 46 persen wilayahnya telah dibebani izin pengelolaan, baik itu di area berhutan maupun bukan hutan. Hanya 54 persen atau 1,7 juta hektare yang bebas dari konsesi.

Bulldozer itu Bernama Omnibus Law

Tingginya permintaan pasar global terhadap komoditi berbasis sumberdaya alam mendorong pemerintah betsikap oportunis dalam mengeluarkan banyak kebijakan sektoral. Hal itu dilakukan semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan ekonomi berciri eksploitatif.

Tentu lewat kekuasaanlah semua kebijakan berbasis proyek pro-industri ekstraktif bisa didorong. Contoh paling konkrit adalah pengesahan Omnibus Law yang seolah menjadi bulldozer baru, siap mendobrak untuk memuluskan semua rancangan atas nama ekonomi dan pembangunan.

Undang-Undang Sapu Jagat ini tidak hanya berkutat pada aspek tenaga kerja. Tapi mengatur banyak hal yang secara umum mereformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi, di antaranya menyederhanakan sistem perizinan serta memangkas regulasi yang tumpang tindih.

Padahal, kebijakan ini berkelindan dengan dampak yang kita saksikan hari ini. Paling membekas dalam ingatan kita adalah kondisi kawasan pesisir Moronopo, Desa Maba Pura, Kecamatan Maba, Halmahera Timur.

Sebelum PT Aneka Tambang bercokol, lokasi tersebut adalah daerah tangkap nelayan. Tapi suasana ini terlihat 17 tahun lalu. Kini, rumah bagi biota laut itu ditutupi lumpur setinggi pinggang orang dewasa.

Berlanjut di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, perbukitan yang dulunya hijau berganti dengan bangunan industri PT. Harita Group. Sungai hingga pesisir pantai berubah warna dari jernih menjadi keruh. Ini membuat masyarakat harus direlokasi karena lingkungannya tak memungkinkan untuk ditempati.

Tapi dampak ekologis seperti ini tak dianggap krisis lingkungan. Justru yang diprioritaskan adalah memberi kemudahan investasi lewat Omnibus Law. Masyarakat Maluku Utara hanya disodorkan ilusi-ilusi bernama "bahagia" dan "ekonomi tumbuh."

Sepertinya, logika pembangunan yang dipakai Presiden Jokowi adalah gaya developmentalisme. Presiden bersama kroni-kroninya seakan ingin mendekatkan semua saluran investasi, modal, dan pasar, ke halaman rumah rakyatnya.

Alih-alih memberikan nilai tambah ekonomi lewat investasi industri pertambangan, tapi ekspansi tersebut justru secara struktural cenderung memarjinalkan daripada memberdayakan masyarakat yang notabene nelayan dan petani.

Maksud mendorong investasi dengan orientasi utama untuk pendapatan daerah, tapi faktanya, terjadi pemiskinan. Baik secara struktural maupun kultural. Sementara, persoalan pelanggaran lingkungan hidup hanya sebatas sanksi administratif belaka. Padahal, kejahatan lingkungan bisa dikategorikan sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.

Karena merusak lingkungan hidup sama halnya menghilangkan harkat dan martabat manusia yang saling melengkapi, disamping mengabaikan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Karena cara-cara yang berujung pengrusakan alam tergolong melampaui norma hukum yang ada.

Tunduk di Hadapan Pemodal

Kita seakan mengalami satu babak penghancuran sumber penghidupan penting di Kepulauan Halmahera dalam skala ruang dan waktu yang berkali-kali lipat lebih cepat. Karena pertumbuhan ekonomi berbasis pembongkaran isi pulau.

Pemusnahan atas ruang hidup hutan, misalnya, berakibat pada penurunan debit air tanah dan macetnya fungsi kafilerin pepohonan yang berfungsi sebagai kantong air. Itu berarti ancaman kekeringan menjadi lebih besar.

Belum lagi terjadi peningkatan suhu udara sehingga banyak sungai di belantara Halmahera mengalami penurunan volume air secara drastis dalam 20 tahun terakhir. Padahal, keselamatan ruang hidup adalah alasan paling pertama yang sialnya dianggap normal.

Sebab, diskursus pembangunan yang bekerja, baik secara halus maupun dengan jalan represif, tidak lepas dari doktrin kewarganegaraan yang telah menguasai alam bawah sadar hampir semua orang. Makanya, menjadi petani dan nelayan bukan kategori pekerja oleh negara.

Dari sini datanglah investasi yang merenggut ekonomi rakyat yang subsistem itu. Dominasi pemodal yang melampaui peran pemerintah memposisikan masyarakat sipil dalam subordinasi. Pemerintah terlihat lemah di hadapan pemodal-swasta. Lalu terciptalah suatu ketergantungan.

Hukum ketergantungan ini mengakibatkan peran wakil rakyat pun ikut tereduksi. Tidak ada lagi yang menjadi instrumen politik rakyat sipil. Kuatnya peran pemodal dan lemahnya pemerintah pada akhirnya menghadirkan demokrasi semu yang menjadi krisis pemerintahan saat ini.

Dominasi sektor privat dalam proses akumulasi modal seakan menegaskan bahwa negara tidak lagi dapat mengklaim sebagai satu-satunya penjamin kesejahteraan masyarakat, tapi pemodal. Ini selaras dengan pernyataan Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, saat berkunjung ke PT IWIP pada Jumat 12 Mei 2023.

Menteri yang banyak mendapat penugasan dari Presiden Jokowi itu secara gamblang mengatakan, dalam waktu singkat IWIP mampu memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Maluku Utara hingga mencapai 28 persen.

Ini mengakibatkan munculnya mata rantai kebinggungan dalam pengelolaan negara. Karena pada gilirannya, melahirkan suatu keadaan yang kontradiktif.

Mengapa? Karena rantai suplai global memungkinkan aliran akumulasi keuntungan yang bersumber dari ekstraksi sumberdaya alam di negara dunia ketiga menuju negara maju. Tapi perlu diingat, bahwa tanpa mematuhi standar lingkungan, globalisasi elektrifikasi kendaraan hanya mempercepat krisis iklim.

Di sini kita harus sepakat, bahwa pemenuhan kebutuhan baterai berbasis nikel harus mengutamakan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Ini merupakan konsekuensi logis dari ide pokok elektrifikasi kendaraan global yang menghendaki berkurangnya emisi gas rumah kaca.

Mungkin dalam alasan tertentu kita perlu investasi untuk membangun sebuah negara. Tapi investasi di sektor pertambangan bukan sebuah prasyarat untuk pembangunan. Investasi juga tidak datang cuma-cuma. Selain menuntut imbalan, selalu punya dampak buruk terhadap lingkungan.

Sebab, produksi baterai berbasis nikel yang hanya berkiblat pada pemenuhan kebutuhan pasar dan keuntungan--tanpa memerhatikan aspek lingkungan--hanya akan menimbulkan petaka dan ketidakadilan ekologi bagi masyarakat lokal.

Conference of the Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia, yang membahas tentang perubahan iklim harusnya membuka mata dan wawasan Presiden Jokowi dan kabinet pemerintahannya, bahwa bisnis dan ideologi ekonomi dunia saat ini sedang bergerak ke jalan ketiga.

Menyimak metafora dramatis para pemimpin dunia di KTT COP26, kita bisa menyimpulkan bahwa kapitalisme telah mengoreksi dirinya sendiri atas kehancuran ekologi yang mereka ciptakan. Artinya, kemajuan ekonomi tidak akan berarti apa-apa ketika dunia berada di bawah ancaman bencana, kesehatan yang rentan, hingga ketimpangan akibat industrialisasi pertambangan.

Ikuti tulisan menarik Nurkholis Lamaau lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler