x

Pekerja memantau pengoperasian fasilitas pencairan gas alam di Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat, 21 September 2015. Tangguh LNG merupakan bisnis utama British Petroleum di Indonesia. ANTARA/Muhammad Adimaja

Iklan

Richard Kalilago

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Mei 2023

Rabu, 17 Mei 2023 08:57 WIB

Kolonialisme Industri Ekstratktif Sumber Daya Mineral Vs Krisis Sosio-Ekologi Masyarakat di Teluk Bintuni

Pembangunan dan industrialisasi di wilayah Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat melahirkan sejumlah dilema. Industrialisasi dapat menjadi pilihan mempercepat penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan. Tapi juga melahirkan proses marginalisasi dan kerusakan ekologis. Kawasan ini dihuni oleh 7 suku besar, yakni suku Wamesa, Sebyar, Aranday, Soub, Irarutu, Kuri dan Sumuri yang sebagian mungkin ikut menikmati dan menjadi bagian dari proses industrialisasi. Tapi, tidak jarang penduduk setempat dalam beberapa hal menjadi korban situasi dan terpaksa harus menanggung akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral yang lepas kendali. Penulisan artikel ini berangkat dari pengalaman 14 tahun bekerja sebagai pegawai kontrakkan BP LNG Tangguh Teluk Bintuni, sejak 2002 – 2016. Dalam menjalankan tugas sebagai pegawai kontrakan itu banyak bersinggungan dengan masalah sosio-ekologis yang belum terungkap ke publik sebagai akibat ekstrasi sumber daya mineral. Tujuan penulisan artikel sederhana ini agar semua pihak memperoleh gambaran mengenai proses masuknya perusahaan Migas dan berdampak langsung pada krisis air bersih dan sumber-sumber pangan masyarakat yang ada di sekitar area operasi LNG Tangguh di Teluk Bintuni, namun kami mengemas kedua issue ini dalam judul yang lebih luas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekilas Sejarah Perkembangan Perusahaan Migas di Papua

Alkisah, industri migas di Papua berawal ketika NNGPM menemukan cadangan minyak potensial di Klamono, Sorong, pada 1921. Kemudian NNGPM membangun infrastruktur penunjang di Maladum (Kota Sorong saat ini).

Konon, dahulu pusat pemerintahan Belanda berada di Dom, sebuah pulau di depan kota Sorong. Dari sana, ketika NNGPM menemukan cadangan minyak bumi di Klamono dan membangun infrastruktur penunjang di Maladum, pusat pemerintahan dipindahkan ke Maladum. Pada saat itulah nama Maladum diganti menjadi Sorong yang merupakan kependekan dari Seismic OnderSub Oil Nieuw Guinea (Sorong).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepopuleran Babo dibandingkan daerah lain tidak terlepas dari fungsinya sebagai ibu kota pemerintahan dari salah satu resort di onderafdeeling Nieuw Guinea Barat (Rahman, Abd. dkk, 2008: 22 23). Dengan dibetuknya Babo sebagai pusat pemerintahan, maka kota ini mengalami banyak perubahan secara fisik. Inilah awal perubahan sosial budaya di kawasan Teluk Bintuni.

Perubahan sosial budaya di kawasan itu signifikan hingga pada 1997 ketika ARCO, salah satu perusahaan explorasi minyak dan gas, menemukan cadangan potensial di kawasan ini.  Dari Arco kemudian dialihkan ke BP Tangguh untuk mengekstrak gas alam cair dari perut bumi Teluk Bintuni dan mulai eksploitasi pada November 2009, setelah pabrik dibangun dan siap beroperasi.

Kehadiran industri minyak di kawasan Teluk Bintuni bergeliat sejak masa kolonial. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa peninggalan yang masih tersisa hingga kini, seperti tangki minyak, gudang logistik, bangunan sekolah, rumah pegawai, sumur minyak, dan mesin pompa (Mene, 2011: 8495).  Kepopuleran Babo dibandingkan daerah lain tidak terlepas dari fungsinya sebagai ibu kota pemerintahan dari salah satu resort di onderafdeeling Nieuw Guinea Barat (Rahman, Abd. dkk, 2008: 22 23).

 

Ekstrasi Sumber Daya Mineral

Sejak mendapat pengalihan dari ARCO, BP Tangguh mulai melakukan aktifitas, seperti pembebasan hak ulayat tanah. Hal itu dilakukan untuk pembangunan pabrik, pembangunan kampong, dan yang utama konstruksi sumur bor di laut. Aktifitas lainnya yang penting juga adalah pembangunan pemukiman masyarakat kampong Tanah Merah Lama yang dipindahkan ke lokasi kampung Tanah Merah saat ini.

Dengan demikian proyek pemindahan kampong Tanah Merah berstatus relokasi, dan berjalan sesuai mekanisme dan aturan Bank Dunia, karena BP Tangguh meminjam dana dari Bank Dunia, ketika itu.  Salah satu aturan Bank Dunia adalah, ketika sebuah kampong direlokasi, maka kampung tetangga juga harus dibangun minimal sama dengan kampung yang direlokasi. Dalam penerapan di lapangan, relokasi kampong Tanah Merah, maka kampong Saengga sebagai tetangga kampong Tanah Merah juga dibangun, minimal sama dengan kampong Tanah Merah.

Dalam pemindahan kampung Tanah Merah, sebagian penduduknya ingin kembali ke ulayat tanahnya di Onar, maka kampong Onar Baru dibangun. Maka kampung tetangganya, yaitu kampung Onar Lama juga harus dibangun minimal sama dengan Onar Baru. Namun karena ketika itu, masyarakat kampong Onar Lama merupakan tempat cari makan, maka pembangunan perumahan di kampong Onar Lama statusnya menjadi Community Project.

Krisis Sosio-Ekologis Masyarakat

Berangkat dari operasi perusahaan migas sejak dahulu di Teluk Bintuni, permasalahan utama adalah masalah ketersediaan air bersih bagi penduduk dan perusahaan itu sendiri. Ketika BP Tangguh hadir di Teluk Bintuni, air bersih bukanlah masalah utama, karena masyarakat hanya meminta perumahan layak huni saja yang perlu dibangun. Hanya di Kampung Tanah Merah, Onar Baru, Onar Lama dan Saengga saja LNG Tangguh membangun instalasi air bersih. Namun beberapa kampong di sebelah utara seperti kampong Weriagar, kampong Mogotira, kampong Taroi, kampong Tomu, kampong Ekam, kampong Arandai, dan kampong Babo, tak ada instalasi air yang dibangun. Masyarakat hanya menunggu air bersih dari hujan.

Krisis sosio-ekologis dialami suku Sumuri di Kampung Tanah Merah, ketika Proyek LNG Tangguh masuk di wilayah ini. Masyarakat Kampung Tanah Merah harus meninggalkan tanah leluhurnya, tanaman, rumah-rumah, bahkan tulang-belulang tete-nene moyang dan sanak keluarga. Juga ikut ditinggalkan sumber air dan pemandangan di kampong yang lama. Masyarakat harus belajar hal-hal baru, seperti menjaga mesin pompa air, menjaga sumur air, dan lain-lain yang membutuhkan waktu yang lama.

Dengan ditutupnya akses masyarakat ke sumber pangan, yakni hutan rawa sagu di sebelah timur LNG Site, praktis masyarakat diajak mengalihkan mata pencaharian hidup utama sebagai pemburu-peramu dan menangkap ikan menjadi masyarakat petani. Mereka juga ada yang jadi pekerja di LNG Site. Karena selain akses ke hutan sagu ditutup, fishing ground pun ditutup.

Maraknya pembangunan di kampong ini menyebabkan sedimentasi wilayah perairan yang dulunya merupakan habitat berbagai kerang dan moluska. Dua hal yang menjadi sumber makanan masyarakat itu hilang, karena habitat lumpur di laut dan pantai telah berganti menjadi pasir putih dengan salinitas air laut yang berubah setiap saat. Menurut pemikiran liar kami, salinitas air laut yang berubah itu sedikit-banyak akan mempengaruhi pertumbuhan bakau di Teluk Bintuni.

Dapat dibayangkan, dengan krisis ekologi sebagaimana diuraikan secara sekilas di atas, akan berdampak terjadinya krisis sosial budaya masyarakat kampong Tanah Merah. Krisis hubungan sosial-budaya itu, antara lain, hubungan-hubungan sosial-budaya yang dulunya akrab karena pertalian darah dan budaya, kini menjadi hubunganyang bersifat kontraktual. Hubungan semaca ini dominan dilandasi oleh nilai uang. Karakter gotong royong yang menjadi ciri khas kampong, ikut terbawa arus pergeseran sosial-budaya masyarakat Sumuri.

Sementara hubungan masyarakat kampong Tanah Merah dengan sesama suku Sumuri di Kampung Tofoi misalnya, serta hubungan sosial-budaya masyarakat kampong Tanah Merah dengan suku Sebyar dan Irarutu, muncul kecemburuan. Sebabnya, ada pembangunan rumah mewah di kampong Tanah Merah.

Dikhawatirkan di masa depan kecemburuan ini muncul dan mengancam operasi LNG Tangguh. Sementara itu, managemen LNG Tangguh tidak memahami krisis sosio-ekologis yang terjadi saat ini. Sebabnya, dalam setiap permasalahan yang timbul di masyarakat, uang menjadi jawaban terakhir menyelesaikan semua permasalahan tersebut. Padahal isu-isu krisis sosio-ekologis ini akan berlangsung terus dari generasi ke generasi.

Apa yang Perlu Dilakukan?

Menurut hemat kami setelah menganalisis berbagai krisis yang terjadi sehubungan dengan beroperasinya Tangguh LNG di Teluk Bintuni, maka kami mengusulkan beberapa hal yang di bawah ini, sebagai berikut ;

1. Kantor pusat Tangguh LNG sebaiknya di bangun di Teluk Bintuni atau di Manokwari, sementara kantor pusat di Jakarta hanya sebagai kantor penghubung (Tangguh Liasson Operation). Hal ini dimaksudkan untuk mendorong perkembangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di kawasan Teluk Bintuni dan Papua Barat, tetapi juga sekaligus mengurangi biaya transportasi karyawan LNG Tangguh.

2. Membuka akses masyarakat kampong Tanah Merah untuk ke dusun sagu dan berburu di luar wilayah operasi BP Tangguh tentunya dengan aturan dan mekanisme yang di atur oleh LNG Tangguh. Hal ini termasuk juga membuka akses bagi satwa buruan yang saat ini tertawan dalam pagar LNG Site. Hal ini dimaksudkan agar identitas masyarakat kampong Tanah Merah sebagai seorang pemburu-peramu

3. Departement Progam Sosial LNG Tangguh sebaiknya terdiri dari para pekerja dengan latar belakang disiplin ilmu social, karena akan memiliki analisa social yang lebih baik dibandingkan dengan ahli ilmu eksata yang di-sosialkan. Saat ini, beberapa pekerjaan social di Tangguh LNG, lebih banyak dikontrakkan ke beberapa universitas di luar Papua, sementara beberapa universitas di Papua hanya sebagai penonton saja.

4. Masyarakat di Teluk Bintuni dan Papua pada umumnya, sebaiknya menyadari dan melepaskan ketergantungan terhadap LNG Tangguh. Hidup seperti biasanya, pergi ke dusun untuk meramu sagu dan berburu adalah nadi kehidupan kita, jangan tinggalkan identitaskan itu.

Ikuti tulisan menarik Richard Kalilago lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler